Surat Terbuka
untuk Gubernur
Yonky Karman ; Pengajar
di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS,
16 Oktober 2012
Jakarta punya pasangan gubernur yang
betul-betul baru, bukan produk birokrasi Jakarta dan juga bukan representasi
kekuasaan, benar-benar pilihan rakyat. Itu bukan kemenangan suatu kelompok
masyarakat, melainkan kemenangan mimpi Indonesia dalam skala ibu kota negara.
Anda berdua pemimpin Indonesia, bukan
karena Jakarta ibu kota negara, melainkan karena Anda terpilih oleh idealisme
yang melampaui pragmatisme politik dan primordialisme. Sosok dan rekam jejak
Anda membangkitkan harapan baru. Anda telah memenangkan hati pemilih.
Pemimpin Indonesia
Kemenangan Anda berarti juga pengakuan
bahwa Kota Solo ataupun Kabupaten Belitung Timur adalah bagian dari
Indonesia. Tak ada salahnya kini Anda memimpin bagian Indonesia yang lain.
Warga Jakarta pun memberi Anda panggung politik dengan harapan Anda menjaga
integritas sebagai pejabat publik, tetap bersahaja, rajin turun ke lapangan
untuk menyapa dan mendengarkan keluhan warga. Kepemimpinan Anda nyambung
dengan realitas di lapangan.
Seorang pemimpin Indonesia tak
terkotak-kotak sentimen primordial. Anda adalah pemimpin seluruh warga
Jakarta tanpa kecuali, yang sama hak dan kedudukannya di depan hukum. Anda
harus memperjuangkan hak hidup warga tak peduli apa pun agama atau sukunya,
terutama kepentingan pihak yang lebih lemah, sekalipun untuk itu Anda
berhadapan dengan pihak yang lebih kuat.
Pemimpin Indonesia di segala level
seharusnya mengartikulasikan empat pilar kebangsaan: Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pemimpin menghardik angkara murka primordialisme dengan Sila Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab. Pemimpin menghardik kerakusan kapitalisme dengan Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Indonesia sedang berjalan tanpa arah.
Demokrasi dimaknai sebagai totalitarianisme massa yang berujung anarki. Demokrasi
dimaknai sebagai totalitarianisme kapital yang berujung pemiskinan dan
kemiskinan. Pilkada Jakarta kali ini memberi kontribusi penting bagi
perjalanan demokrasi Indonesia. Demokrasi sejatinya adalah takhta untuk
rakyat. Utang Anda bukan kepada partai pendukung dan donatur besar kendati
andil keduanya.
Malam setelah pencoblosan putaran kedua,
tukang sate keliling langganan saya dengan bangga mengaku memilih Anda sambil
mengipas-ngipas bara arang. Saya rasa, mimpinya bukan alih profesi sebab
pekerjaan itu terbukti menghidupinya selama 15 tahun di Jakarta, melainkan
mimpinya adalah kemudahan akses kesehatan dan pendidikan bagi anaknya. Jangan
lupa memperhatikan nasib para korban kebakaran yang dengan susah payah masih
berusaha memakai hak pilih mereka. Jika terbukti efektif, realisasikan di
semua permukiman kumuh Jakarta keberadaan alat pemadam kebakaran pada tahap
dini yang pernah Anda sumbang.
Orang ke Jakarta demi kehidupan yang lebih
baik. Namun, realitas Jakarta hari ini adalah siapa melanggar, dia untung.
Siapa kuat, dia menang. Kekumuhan, kesemrawutan, dan hukum yang tidak tegak
membuat kota ini semakin kehilangan integritasnya. Penegak hukum dan penguasa
bermain mata dengan premanisme yang kian merajalela. Keadaban publik runtuh. Jakarta
pun menjadi salah satu dari sepuluh kota yang paling dihindari di dunia.
Daripada peremajaan kota, pembangunan
infrastruktur dan pemanfaatan teknologi modern bagai gincu yang tak dapat
menyembunyikan kerut wajah Jakarta yang semakin tua. Pelajar sering tawuran
hingga menelan korban jiwa, dalam suatu insiden yang hanya beberapa puluh
meter dari pusat penegakan hukum (Mabes Polri, Kejaksaan Agung). Angka
kecelakaan di jalan raya amat tinggi. Begitu murah nyawa di Jakarta.
Pilkada kemarin adalah pemberontakan warga
menolak bayang-bayang kota kematian. Ruang publik harus ditata. Kota ini
sesak dengan baliho, spanduk, dan bendera yang bertebaran merebut perhatian
warga. Pamer kekuatan modal. Pamer kekuatan massa primordial. Warga direduksi
menjadi konsumen ekonomi dan ideologis, tanpa peduli keamanan pengendara
motor jika bendera atau spanduk di tepi jalan jatuh.
Politik ruang seharusnya memulihkan
martabat warga kembali kepada fitrahnya sebagai manusia beradab. Karena itu,
tertib pemanfaatan ruang publik amat mendesak demi keindahan kota dan
keamanan warga. Jalan-jalan tak boleh dikuasai preman. Yang jelas bertanda
larangan harus benar-benar steril. Kalau tidak, cabut saja rambu lalu lintas
yang tak berfungsi itu. Parkir dalam gedung di sekitar lokasi dapat dimanfaatkan.
Warga harus biasa berjalan jauh sedikit.
Birokrasi Melayani
Anda bukan tipe kepala daerah yang mudah
memutasi pegawai pemda karena bukan orang Anda, lalu memegawaikan orang Anda.
Birokrasi Jakarta sudah gemuk dan tidak lincah. Selama ini, proyek dan pungli
menjadi minyak pelumas yang menggerakkan mesin birokrasi. Birokrasi feodal
memosisikan rakyat sebagai pihak yang melayani.
Fasilitas dan kualitas sumber daya manusia
birokrasi Jakarta merupakan yang terbaik se-Indonesia. Namun, tak ada birokrasi
yang cepat dan efisien karena dihidupi oleh korupsi. Praktik korupsi telah
menjadi bagian dari kultur birokrasi di semua level sehingga pemberantasannya
pun perlu serentak dari atas ke bawah.
Aparat harus mencukupkan diri dari gajinya
yang notabene uang rakyat. Kalau bisa, persentase kenaikan gaji dilakukan
secara progresif terbalik. Semakin rendah posisi dan gaji, semakin besar
persentase kenaikannya. Dengan keberanian Anda memangkas berbagai anggaran,
mestinya tersedia ruang fiskal untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai
kecil.
Pintu bagi godaan korupsi adalah
ketertutupan untuk sesuatu yang seharusnya menjadi hak publik untuk tahu.
Kebijakan pembangunan dan anggaran yang terbuka, seperti janji Anda, akan
membiarkan Anda langsung dikawal oleh rakyat. Anggota Dewan pun tak ada
alasan untuk tak memihak aspirasi rakyat.
Namun, yang paling sulit saya kira bukan
resistensi birokrasi ataupun partai yang tak mendukung Anda selama pilkada.
Yang potensial menghambat justru partai pendukung Anda sendiri. Kedua partai
berseteru mengklaim siapa yang paling berjasa mengantar Anda ke kursi orang
nomor satu di Jakarta. Anda dianggap berutang untuk turut menyukseskan agenda
politik menuju orang nomor satu di Republik.
Jakarta bukan Solo. Persoalannya besar dan
rumit, tetapi tak mustahil untuk dibenahi. Calon petahana bukan tanpa
prestasi, hanya saja ekspektasi masyarakat jauh lebih tinggi. Persis Anda
dalam bayang-bayang ekspektasi itu. Jangan heran jika kritik kepada Anda akan
lebih keras. Untuk itu, tak perlu defensif karena Anda memang abdi rakyat.
Dengan segala kekurangan dan kelebihan Anda, jangan coba-coba mengkhianati
kepercayaan rakyat. Sekali rakyat mengendus kongkalikong Anda dengan
kepentingan kekuasaan atau modal, rakyat akan meninggalkan Anda. Pertarungan
berat dalam pilkada hanya pemanasan untuk pertarungan sesungguhnya di jalan
pengabdian. Selamat mengabdi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar