Catatan Awal
Sukardi Rinakit ; Peneliti
Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
|
KOMPAS,
16 Oktober 2012
Ini guyonan Moeslim Abdurrahman seminggu
sebelum meninggal. Katanya, Indonesia akan adil dan makmur kalau tanah Jawa
dipimpin perempuan. Misalnya, Banten oleh Ratu Atut, Jawa Barat oleh Rieke
Diah Pitaloka, Jawa Tengah oleh Rustriningsih, Yogyakarta oleh Gusti
Pembayun, dan Jawa Timur oleh Khofifah Indar Parawansa. Untuk keseimbangan,
khusus untuk Jakarta biarlah dipimpin oleh laki-laki, yaitu Joko Widodo.
Sekali lagi, itu hanyalah guyonan politik.
Jangan dianggap serius. Mendengar itu, saya langsung menimpali bahwa akan
lebih adil dan makmur kalau presidennya juga perempuan.
Guyonan seperti itu lahir, menurut penulis,
karena Kang Moeslim melihat kejumudan politik di Tanah Air. Partai politik
sebagai pilar utama demokrasi, misalnya, sejauh ini belum beranjak dari
orientasi sempit kekuasaan dengan dijubahi karakter paternalistik dan
oligarki. Di tangan partai, jiwa dan nilai keutamaan politik justru terempas
dan putus.
Kejumudan Politik
Mencermati gerak partai politik saat ini,
secara umum mereka masih keberatan untuk melakukan reformasi internal. Para
pendiri dan pemilik modal yang menjadi politisi masih menguasai pusat
lingkaran partai dan memperlambat kaderisasi dan perekrutan kepemimpinan.
Bagi mereka, partai politik mungkin hanya
dianggap sebagai mesin yang mampu menyediakan privilese ekonomi dan politik.
Partai tidak dilihat sebagai pusat gerakan dan pusaran energi demi
tercapainya keadilan dan kemakmuran bangsa. Akibatnya, sikap partai untuk
secara tegas mengibarkan bendera oposisi pun melempem seperti kerupuk kampung
kena angin. Ini menegaskan bahwa kontestasi politik yang ada sebenarnya semu
karena sarat dengan praktik politik dagang sapi.
Padahal, sejarah Republik menunjukkan bahwa
para bapak bangsa dengan kesadaran penuh menjadikan partai politik sebagai
alat perjuangan nasionalisme dan perwujudan demokrasi sosial. Bagi mereka,
partai bukanlah ranah untuk melakukan korupsi dan bukan pula ujung tombak
untuk menikmati kebun mawar kekuasaan. Dengan sikap seperti itulah Indonesia
ditegakkan.
Sikap asketis seperti itu memudar pada
elite politik sekarang. Fenomena yang mencuat justru sikap ogah-ogahan
melakukan reformasi internal di tubuh partai. Ini tentu berakibat fatal pada
perikehidupan bangsa.
Tawuran pelajar ataupun antarkampung,
kekerasan atas nama agama, konflik antarlembaga negara, kemiskinan, korupsi
yang merajalela, untuk menyebut beberapa contoh, sejatinya dilahirkan dari
perilaku politisi yang, sadar atau tidak, merasa benar dan kuasa sendiri (kemingsun).
Mereka gagal membaca kebatinan rakyat.
Hal itu berkaitan dengan posisi partai
politik sebagai pintu utama, jika tidak boleh disebut satu-satunya pintu,
bagi seseorang untuk menggapai kekuasaan. Mereka melek pada figur yang
mempunyai kekuatan dana serta kibaran popularitas dan buta terhadap tokoh
yang mempunyai kebajikan dan cita-cita politik.
Hasilnya bisa dilihat kini. Kepemimpinan
menjadi lemah dan raja-raja kecil tumbuh tanpa kesetiaan pada partai dan
cita-cita kerakyatan.
Sehubungan dengan kejumudan politik
tersebut, pernyataan Megawati Soekarnoputri pada Rapat Kerja Nasional II
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), di Surabaya, minggu lalu,
patut menjadi catatan awal. Ada dorongan dan kesadaran bahwa PDI-P harus
memimpin, tidak saja untuk menang dalam Pemilu 2014, tetapi juga mengalirkan
politik dalam arus pembentukan sejarah dan proyek ideologi. Dalam konteks
ini, politik menjadi kerja mulia untuk menyusun sendi-sendi kehidupan,
batu-batu peradaban, dan mengembangkan kemanusiaan.
Harus diakui, di antara sejumlah partai
yang ada, PDI-P termasuk sedikit partai yang masih memanggul ideologi
kebangsaan dan demokrasi ekonomi. Apabila langkah politik untuk mulai
memunculkan kader yang loyal dijalankan dengan disiplin dalam seleksi di
pemilihan umum kepala daerah (pilkada), tidak tertutup kemungkinan PDI-P akan
memenangi Pemilu 2014.
Secara politik, peluang tersebut terbuka
lebar. Keunggulan Partai Golkar dalam sejumlah hasil survei bisa merosot
apabila partai itu diterpa isu terus-menerus, seperti tipisnya dana partai
dan ada friksi internal menyangkut pencapresan Aburizal Bakrie.
Sementara pesaing lain, Partai Demokrat,
dilanda kelesuan akut karena kasus korupsi yang membelit sebagian elitenya.
Dengan demikian, soliditas PDI-P dapat menjadi sandaran kokoh dan modal
politik untuk meraih kemenangan.
Belajar dari Jakarta
Namun, soliditas PDI-P dan visi Megawati
Soekarnoputri untuk menjadikan politik sebagai proyek sejarah dan ideologi
akan tidak bermakna apabila tidak diiringi dengan keberanian melakukan
lompatan ke depan. Dalam hal ini, pengalaman pilkada di Jakarta menjadi
pelajaran berharga.
Maksudnya, kemenangan PDI-P dalam pemilu
legislatif tidak akan lengkap apabila pemilu presiden lepas dari genggaman.
Memunculkan kader yang baik, yang setia memanggul ideologi kebangsaan dan
demokrasi sosial, adalah pilihan rasional agar kekuasaan yang dicapai merupakan
representasi dari kedaulatan warga. Hanya dengan cara ini kepemimpinan
nasional dengan sikap dan karakter kenegarawanan akan lahir.
Sebagai catatan awal, mengingat karakter
bangsa ini melodramatik, yang salah satu cirinya adalah mudah bosan, tokoh
senior yang berkenan menjadi endorser
akan dimuliakan rakyat. Dialah king
maker. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar