Refleksi atas
Kemenangan Jokowi
Suwidi Tono ; Koordinator
Forum Menjadi
Indonesia
|
KOMPAS,
21 September 2012
Ketika berlangsung Munas
Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia di Solo, 2008, penulis bertanya
kepada ketua asosiasinya, Yusuf Serang Kasim—saat itu Wali Kota Tarakan,
Kalimantan Timur—tentang alasan memilih Solo sebagai tuan rumah acara
organisasi tersebut.
Yusuf menjawab: ”Kami, para wali kota, ingin belajar dan
melihat langsung sukses Solo dalam aneka kebijakan yang berdampak langsung
kepada rakyat.”
Jawaban itu menunjukkan apresiasi para sejawat Joko Widodo
(Jokowi) sejak ia memimpin Solo pada 2005. Pengakuan kepadanya tidak muncul
tiba-tiba. Terbangun paralel bersama dengan keteguhannya berfokus pada tugas
pokok pemerintah: memberikan pelayanan
optimal kepada publik! Konsistensi pada pemenuhan kebutuhan dasar rakyat
banyak dapat anugerah dan mengantarkannya meraih berbagai penghargaan
nasional-internasional.
Lima Petunjuk
Kemenangan Jokowi-Basuki
Tjahaya Purnama pada Pilkada DKI merefleksikan hasrat kuat rakyat Jakarta untuk
berubah. Sekaligus menjadi sumber inspirasi baru dinamika politik dan hakikat
kepemimpinan publik. Hasil pilkada ini sekurang-kurangnya mengindikasikan lima
petunjuk penting proses demokratisasi dan otonomi daerah.
Pertama, ada siklus menetap
berupa terpeliharanya sikap anti-status quo pada masyarakat Ibu Kota yang
plural-urban. Jakarta selalu terdepan dalam menggalang dan memperbesar
episentrum gerakan perubahan. Masyarakat cerdas menilai jarak antara pernyataan
dan kenyataan. Toleran bila realitasnya memang kompleks, tetapi kritis bila
mengada-ada atau tidak transparan.
Bagi warga PDI-P Jakarta dan
warga nonpartai, kemenangan Jokowi mengakhiri penantian panjang kepengapan
politik dan mampetnya aspirasi. PDI (tanpa embel-embel Perjuangan) membuat
Jakarta merah total pada Pemilu 1987, 1992, dan 1997, tetapi mendapati kenyataan
perolehan suaranya selalu di posisi buncit: kalah oleh Golkar dan PPP. Pada
Pemilu 1999, dengan atribut PDI-P, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri
unggul di DKI. Akibat kader partai banyak tersandung kasus korupsi, PDI-P tak
lagi menang di Jakarta pada Pemilu 2004 dan 2009. Fakta ini bisa dibaca sebagai
cermin sikap kritis warga Jakarta.
Pengajuan nama Jokowi oleh
PDI-P seperti memantik euforia 1999. Memang suasananya tidak segegap-gempita
waktu itu, tatkala posko-posko pemenangan hadir mencolok di sudut-sudut kota.
Harapan lama tersembul kembali. Petahana yang dianggap gagal memenuhi
ekspektasi warga pada lima problem utama Ibu Kota: banjir, macet, kumuh,
korupsi, premanisme, jadi sasaran ”penggulingan” bersama.
Kedua, kapabilitas dan
integritas figur jauh lebih berharga ketimbang partai. Jokowi-Basuki
menjungkirbalikkan prediksi yang semata-mata bersandar pada logika statistik
elektabilitas kedua partai pengusung (PDI-P dan Gerindra). Perolehan suara
kedua partai itu pada Pemilu 2009 hanya 17 persen, jauh di bawah perolehan
suara Jokowi- Basuki, baik di putaran I (42,6 persen) dan II (sekitar 52-54
persen, menurut hasil hitung cepat beberapa lembaga survei).
Hasil ini, untuk kesekian
kalinya memberikan pesan tegas kepada partai-partai bahwa mereka bukan lagi
sumber rujukan pemilih. Warga Ibu Kota sekaligus memberikan sinyal ”lampu
kuning” kepada lembaga-lembaga survei agar cermat membaca ”mata hati” dan ”mata
pikiran” mereka.
Jokowi menyebut peran besar
para ”gerilyawan”—istilahnya untuk para relawan yang bergerak masif ke seluruh
wilayah—guna memasarkan dan mengenalkan pribadi, visi-misinya. Klaim bahwa
kandidat ”mendompleng” partai tak valid. Dua kali putaran pilkada,
Jokowi-Basuki terbukti jauh ”melampaui” kapasitas mesin partai PDI-P dan
Gerindra.
Ketiga, runtuhnya politik
pencitraan. Jokowi dikesankan oleh pesaingnya hanya ”seolah-olah” berprestasi.
Asosiasi seperti itu barangkali hendak mengirim pesan kepada pemilih: Jokowi
sedang membangun politik pencitraan, sesuatu yang sekarang bikin alergi masyarakat.
Resep ini tak manjur karena bukti rekam jejak mudah dilacak dan dikonfirmasi
oleh pemilih, terutama yang berpendidikan dan memiliki informasi akurat.
Keempat, media yang memihak.
Menyimak proporsi-substansi pemberitaan media cetak, online dan elektronik, bahkan media sosial (Facebook, Twitter, BBM), sulit dimungkiri: Jokowi telah menjelma sebagai ikon baru figur publik. Media
tampaknya jengah dan jenuh dengan banjir berita birokrat dan politisi korup
dari seluruh pelosok negeri. Kehadiran peraih Bung Hatta Anti-Corruption Award 2010 ini bagai oase menyegarkan dan segera merebut
simpati.
Kelima, tersedia cadangan
sumber kepemimpinan baru. Para pemimpin daerah yang fokus umumnya memahami dan
menjalankan mantra pelayanan publik universal dengan perhatian besar pada Indeks Pembangunan Manusia. Jokowi teguh
berkonsentrasi pada layanan kebutuhan dasar: pendidikan-kesehatan-kesejahteraan. Kekuatannya terletak pada
persuasi tanpa konflik ketika berkomitmen penuh nguwongke (memanusiakan),
mengupayakan akses, memberdayakan kelompok marjinal: pedagang pasar
tradisional, kaki lima, tunawisma, tukang becak, warung-warung kecil, dan
lain-lain.
Ia menekan faktor
pengganggu, seperti pemodal besar dan pemburu rente, menata persaingan tanpa
saling meniadakan sesuai kapasitas masing-masing. Kota Solo bisa jadi contoh
bagaimana menciptakan tata ruang kota yang memberikan hak hidup dan berkreasi
bagi semua kelas ekonomi dan sosial tanpa benturan dan kecemburuan. Jokowi,
bersama sejumlah kepala daerah lain, memberikan alternatif sumber kepemimpinan
baru yang memihak tanpa reserve
kepada kelompok masyarakat marjinal.
Meritokrasi Berkualitas
Menjelang dan memasuki
kampanye putaran II, muncul pertarungan gagasan yang dikemas dalam bahasa
politik, tetapi tak disertai penjelasan seperlunya. Salah satunya disampaikan
beberapa pemuka partai dengan tema serupa: Solo beda dengan Jakarta. Pesan ini
mudah diduga tujuannya, yaitu untuk ”mengecilkan” potensi Jokowi.
Selain kurang tepat,
mewacanakan perbedaan Solo dan Jakarta secara diametral seperti mengingkari
eksistensi keindonesiaan dan sistem perundang-undangan. Bila maksud pengirim
pesan adalah rentang kendali urusan pemerintahan, jelas perbedaan pada skalanya
saja. Kalau pengertiannya tingginya bobot keragaman
SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) dan kepentingan, justru kepala daerah
dimudahkan karena kemajemukan bermuara pada penguatan kontrol dan mencegah
dominasi golongan atau kepentingan tertentu.
Idealnya, proses menuju
kursi jabatan tinggi seperti gubernur dan presiden diseleksi melalui bukti
kinerja dan integritas dari bawah. Syarat ini untuk memaksa partai-partai
mengajukan calon yang benar-benar
layak dan telah teruji di medan pengabdian kemasyarakatan, sekaligus sebagai
komitmen menegakkan meritokrasi
berkualitas. Amerika Serikat, misalnya, hampir semua presiden terpilih
berangkat dari posisi senator atau gubernur. Rakyat AS dapat menilai rekam
jejak kandidat, tak hanya disodori calon ”kucing dalam karung”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar