Krisis Kali
Ini Beda
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
21 September 2012
Krisis ekonomi global kali
ini terasa benar berbeda dengan krisis-krisis kita sebelumnya. Pada 1998,
krisis ditandai tekanan terhadap keseimbangan eksternal, yakni kewajiban utang
luar negeri yang besar tidak dapat diimbangi oleh ketersediaan cadangan devisa.
Utang luar negeri total saat
itu 130 miliar dollar AS, sementara cadangan devisa yang dikuasai Bank
Indonesia (BI) hanya 20 miliar dollar AS. Akibat permintaan jauh melampaui
penawaran valuta asing, rupiah terdepresiasi sangat tajam, dari Rp 2.300
menjadi di atas Rp 10.000 per dollar AS. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi
berkontraksi (minus) 13,7 persen dan inflasi 78 persen.
Krisis 2008 menyajikan
cerita berbeda. Krisis 2008 terjadi karena meletusnya gelembung ekonomi dan
finansial (economic and financial bubbles)
di Amerika Serikat yang menyebabkan bursa efek amat terpukul. Karena emiten
(perusahaan yang menjual sahamnya di bursa) mengalami tekanan jual (panic selling), harga dan kinerja
perusahaan pun merosot. Selanjutnya, perekonomian tumbuh melambat atau bahkan
negatif. Implikasinya, pengangguran melesat. Namun, Indonesia beruntung.
Kinerja perusahaan tidaklah jelek sebab perekonomian masih tegak karena di
sangga konsumsi kelompok masyarakat berpendapatan menengah.
Jumlah kelompok ini mencapai
130 juta orang. Berkat daya beli mereka, sektor konsumsi masih tetap tegak.
Lebih hebat lagi, Indonesia seperti mendapat rezeki tatkala harga komoditas
primer naik (batubara, sawit, karet, timah) seiring kenaikan harga minyak
dunia. Perekonomian pun mampu tumbuh 4,5 persen ketika hampir semua emerging markets mengalami pertumbuhan
negatif. Kombinasi antara (1) fenomena kelas menengah, (2) harga komoditas
primer yang tinggi, dan (3) rendahnya eksposur perbankan kita dalam transaksi
derivatif global telah menyelamatkan Indonesia dari krisis.
Krisis 2012 dan Dinamika
Eksternal
Bagaimana dengan krisis
ekonomi global 2012? Situasinya kembali berbeda. Perekonomian Indonesia amat
terpengaruh dinamika eksternal. Pertama, harga komoditas primer kini merosot
seiring lesunya perekonomian dunia, jauh lebih rendah dari saat krisis 2009.
Akibatnya, ekspor kita melemah, bahkan dalam empat bulan terakhir menderita
defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan.
Kedua, meski harga produk
primer merosot, harga minyak dunia terus meningkat. Akibatnya, nilai impor
minyak kita juga melejit seiring kegagalan pemerintah mengerem laju konsumsi
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pemerintah masih asyik mengimbau
masyarakat hemat BBM bersubsidi, tetapi tampaknya rakyat tak peduli. Konsumsi
jalan terus sehingga impor membengkak.
Ketiga, meski perekonomian
global tertekan, berkat fenomena kelas menengah, kredit perbankan masih terus
berekspansi. Sejauh ini pertumbuhan kredit bank mencapai 25,8 persen. Timbul
kekhawatiran BI, ini akan menyebabkan meningkatnya permintaan barang-barang modal
(capital goods) yang harus diimpor.
Ini salah satu simpul penyebab melonjaknya transaksi impor, selain melonjaknya
impor minyak mentah.
Krisis ekonomi global dipicu
oleh masih belum jelasnya efektivitas kebijakan yang dilakukan zona euro dan AS
untuk meredam memburuknya perekonomian di dua wilayah tersebut. Gejolak Yunani
untuk sementara memang bisa diredam tatkala utang Pemerintah Yunani yang
mencapai 300 miliar euro sudah ditalangi ”bandar” zona euro (Jerman dan
Perancis) sebesar 230 miliar euro. Setidaknya, utang-utang berupa obligasi
Pemerintah Yunani yang jatuh tempo dapat dibayar sehingga stabilitas pasar
finansial global dapat diselamatkan dari kepanikan.
Namun, negara yang mirip
Yunani masih ada, dengan skala lebih besar, yakni Spanyol (utang 640 miliar
euro), bahkan Italia (utang 1,8 triliun euro). Pertanyaannya, apakah kedua
negara yang skala perekonomiannya besar ini juga harus ditalangi? Apakah Jerman
dan Perancis masih kuat menalangi? Tak ada jaminan.
Sementara itu, di AS
sebenarnya telah mulai terjadi perbaikan ekonomi. Pengangguran dapat dipangkas
dari level tertinggi 10 persen (2009-2010) menjadi 8,2 persen (2012).
Pertumbuhan ekonomi dapat dijaga mendekati 2 persen, sedangkan inflasi cuma 1,2
persen. Kondisi ini menyebabkan AS berani melakukan kebijakan quantitative easing (QE), yakni mencetak
uang baru untuk dibelikan obligasi Pemerintah AS (t-bills dan t-bonds).
Sebelumnya, pada periode 2008-2010, telah dilakukan QE1 1,5 triliun dollar AS,
yang disusul QE2 sebesar 600 miliar dollar AS, sehingga totalnya 2,1 triliun
dollar AS.
Semula banyak pihak berharap
agar QE3 dilakukan tahun ini dengan jumlah yang cukup signifikan sehingga akan
menyebabkan kurs dollar AS melorot. Jika itu terjadi, sebaliknya rupiah akan
mengalami apresiasi. Kurs rupiah yang mencapai Rp 9.600 per dollar AS bisa
terdongkrak menguat, misalnya ke level Rp 9.300 per dollar AS. Namun, tampaknya
AS tak ingin gegabah memberlakukan QE3. Mereka cenderung bersikap konservatif
dalam kebijakan QE3. Jumlah uang beredar baru yang dicetak setiap bulan
ditetapkan 40 miliar dollar AS sehingga dalam setahun kurang dari setengah
triliun dollar AS.
Kebijakan yang berhati-hati
ini sempat memberi euforia pasar modal dan pasar valuta asing, tetapi hanya
sesaat. Rupiah memang menguat, tetapi hanya sampai Rp 9.500 per dollar AS.
Namun, setidaknya ini membuat BI agak sedikit lebih ”rileks” dalam
membelanjakan cadangan devisa. Posisi cadangan devisa BI hingga akhir Agustus
2012 adalah 109 miliar dollar AS. Di tengah tekanan berat defisit transaksi
berjalan, bertambahnya cadangan devisa dari semula 106 miliar dollar AS adalah
menggembirakan. Setidaknya, meski perdagangan dan transaksi berjalan tertekan
defisit, masih dapat dikompensasi masuknya modal asing, baik langsung maupun
portofolio.
Fenomena ini logis, karena
bagaimanapun juga, pada saat emerging
markets paling top mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi—China merosot dari
9,5 persen (2011) menjadi 7,6 persen (2012) dan India dari 8,5 persen menjadi
5,3 persen—Indonesia tetap membukukan perlambatan paling kecil, dari 6,5 persen
(2011) menjadi 6,3 persen (2012).
Meski begitu, ada dua hal
yang membuat kita prihatin. Pertama, ternyata pemerintah
gagal mengendalikan konsumsi BBM sehingga harus impor lebih banyak. Ini
tak boleh dibiarkan. Kenaikan harga BBM dan tarif
listrik menjadi sebuah keharusan. Apalagi selama ini telah terjadi
misalokasi subsidi energi. Berdasarkan data PLN (2012), bandara dan pusat
perbelanjaan mewah (mal) di Jakarta masih menerima subsidi. Ini tak masuk akal
dan tak boleh diteruskan.
Kedua, ketergantungan impor barang modal harus dikurangi.
Ada yang belum tepat dalam sektor manufaktur kita. Mestinya hanya mesin-mesin
yang canggih yang perlu diimpor, sedangkan mesin-mesin untuk industri sederhana
(light industry) seyogianya bisa kita
penuhi sendiri. Inilah pelajaran terpenting dalam krisis kali ini yang tak
sempat disadari sepenuhnya pada krisis-krisis sebelumnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar