Sumbu Konflik
Myanmar
|
Hamid Awaluddin ; Dosen FH
Universitas Hasanuddin
|
KOMPAS,
22 Agustus 2012
Tanggal 10 Agustus 2012,
saya mendampingi Jusuf Kalla ketika bertemu Presiden Myanmar U Thein Sein di
Myanmar.
Presiden yang membuka jalan
demokrasi di negeri pagoda tersebut mengeluh kepada Kalla atas pemberitaan
mengenai konflik komunal di negerinya: antara etnis Rohingya dan etnis lainnya,
yang dinilainya tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya.
Presiden Myanmar menilai
Kalla adalah orang yang punya pengalaman dan rekam jejak di bidang perdamaian,
khususnya di Ambon, Poso, dan Aceh, sehingga meminta sarannya. Kalla
mengingatkan, pemberitaan memang bisa liar ke mana-mana bila kesan ketertutupan
dipelihara.
Maka, jalan keluar yang
paling baik: buka pintu informasi seluas-luasnya. Buka pintu tempat konflik itu
berlangsung. Biar syak wasangka bisa ditepis. Hari itu juga, Presiden Myanmar
mempersilakan Kalla bersama timnya berkunjung ke Provinsi Rakhine, tempat
konflik komunal itu.
Akibat konflik komunal
tersebut, lebih dari 70 orang meninggal, lebih dari 3.000 bangunan rusak, dan
hampir 60.000 orang kehilangan tempat tinggal. Maka, yang pertama harus
dilakukan adalah segera merehabilitasi bangunan, terutama rumah ibadah.
Tidak boleh ada puing-puing
yang jadi penanda dan pemicu rasa marah dan dendam. Tidak boleh ada reruntuhan
yang bisa dipersepsikan sebagai monumen kekalahan di satu pihak dan kemenangan
di pihak lain.
Setelah itu, rumah dan
tempat tinggal dibangun ulang supaya penduduk kedua belah pihak bisa kembali
hidup dengan kepastian. Bila mereka tetap di penampungan sementara, rasa
kegelisahan mengenai kepastian masa depan bisa memicu amuk dan memotivasi
perang kembali.
Langkah berikutnya,
sekolah-sekolah kembali dibangun. Dengan sekolah, anak-anak kedua belah pihak
bisa kembali menapaki masa depan mereka. Kepastian tentang eloknya masa depan
itulah yang membuat orang atau kelompok masyarakat hidup secara harmoni.
Berbarengan dengan itu,
kebutuhan utama para pengungsi: makanan, minuman, air bersih, dan masalah
kesehatan juga jadi keniscayaan. Kebutuhan dasar ini harus disiapkan agar
mereka tak merasa bahwa lantaran konflik dan kekerasan hidup mereka menjadi
penuh nestapa.
Akar Masalah: Kemiskinan
Banyak pihak mempersepsikan
konflik komunal di Myanmar kali ini adalah konflik agama: Islam versus Buddha.
Sejatinya, konflik komunal di Myanmar tidak ada kaitannya dengan agama.
Kebetulan saja etnis Rohingya menganut Islam sementara yang lain Buddha dan
Kristen.
Dalam konteks ini, konflik
komunal terjadi karena masalah kemiskinan. Provinsi Rakhine adalah provinsi
termiskin dari 13 provinsi di Myanmar.
Kemiskinan dengan mudah
menyulut api kemarahan karena sensitivitas dalam segala hal selalu terjadi.
Malah, sebenarnya, lebih ada kemungkinan pengaruh perbedaan etnis yang menjadi
sumbu konflik dibanding kemungkinan pengaruh agama.
Myanmar adalah negara dengan
tingkat kemajemukan etnis yang amat tinggi. Bahkan, tujuh provinsi di negara
itu dibangun di atas landasan etnisitas. Bukan sekadar yurisdiksi geografis.
Di sinilah urgensinya,
mengapa kita harus menahan diri untuk tidak terburu-buru bereaksi dan menyikapi
konflik komunal di Myanmar sebagai konflik agama. Penilaian tergesa-gesa bukan
menyelesaikan soal, malah acap
kali justru menambah runyam.
Untuk penyelesaian jangka
panjang, Pemerintah Myanmar harus menerima kenyataan: etnis Rohingya yang
berasal dari etnis Bengali (Banglades) adalah warga negara Myanmar yang
memiliki status yuridis, sama dengan etnis lain.
Dengan demikian, status
kewarganegaraan etnis Rohingya harus diperjelas dan dituntaskan. Status yang
tidak jelas bisa dipersepsikan sebagai tindakan diskriminatif dan melahirkan
rasa ketidakadilan.
Ketika kami meninggalkan
Myanmar menuju Tanah Air, dari atas saya melihat betapa eloknya Myanmar. Betapa
damai negeri ini dengan pepohonan rimbun, hamparan sawah yang luas, dan air
yang mengalir tenang.
Lalu, saya pun teringat
ucapan seorang raja, 2.500 tahun silam: ”Hanyalah
damai, bukan konflik dan kekerasan yang bisa berbicara tentang eloknya masa
depan.” Perspektif inilah yang seyogianya kita pakai dalam menyikapi
konflik di Myanmar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar