Bersiasat
|
Rhenald Kasali ; Guru Besar
FE-UI
|
KOMPAS,
22 Agustus 2012
Manusia bersiasat adalah
biasa. Namun, di dunia akademis, pemimpin yang bersiasat identik dengan
”berpolitik”.
Pada tingkatan tertentu,
bersiasat mengandung arti pengkhianatan terhadap kebenaran atau bermuslihat.
Dan, dalam kepemimpinan akademis, hal seperti ini sangat tak disukai, bahkan
menciptakan kegelisahan.
Namun, ketika politik
menjadi panglima dan suara menteri menjadi sangat menentukan, sulit dihindari
calon rektor tidak ”berpolitik”. Suara menteri sangat menentukan dalam segala
hal: sejak pemilihan sampai penurunan atau saat rektor melakukan kejahatan
sekalipun.
Hubungan dengan kementerian
menentukan anggaran dan karier seorang rektor di masa depan. Orang yang
diinginkan warga kampus bisa tidak terpilih dan yang bersiasat tak bisa segera
diganti sepanjang pemerintah berpendapat lain.
Demikianlah kisruh yang
diawali dari Universitas Indonesia (UI). Seperti Merapi yang terbatuk-batuk, ia
hanya bisa menggetarkan bumi, sampai magmanya berhasil diletupkan. Selama katup
pelepasnya disumbat, ia hanya bisa meleleh dan berceloteh. Sementara mereka
yang tidak paham hanya melihat dua kubu berseberangan dan rencana kudeta, yang
seakan-akan pula bisa diselesaikan penengah dari luar.
Namun, alih-alih melepas
katup, penyumbatnya justru ditambah sehingga energi di bawah menguat dan
ledakan tak terhindarkan.
Perspektif Penengah
Suka atau tidak suka, siasat
akan berhadapan dengan siasat. Kultur akademis adalah mempertanyakan sesuatu
dan menguji hipotesis sehingga pemimpin yang bersiasat cepat terungkap. Namun,
sekali masyarakat akademis dipimpin oleh rektor yang bersiasat, penyelesaiannya
menjadi rumit. Yang satu berpolitik, yang lain menguji dan membongkarnya.
Maka, para wali amanah dan
penguasa perlu mereposisi perspektif. Dari perspektif pecundang menjadi
perspektif pemenang, merebut hati dan pikiran warga kampus yang muak pada
kultur bersiasat.
Seorang rektor yang berkuasa
dengan pola pikir ”bersiasat” akan menempuh banyak cara untuk menghindari
kontrol dan tata kelola. Padahal, tata kelola adalah prasyarat bagi
terbentuknya universitas kelas dunia yang diabdikan untuk kepentingan rakyat
dan bangsa. Tanpa tata kelola yang baik, universitas hanya menjadi menara
gading. Perubahan berorientasi pada bangunan fisik, sementara sumber daya
berubah menjadi beban dan prestasi menjadi prestise. Seperti kerajaan ”kebenaran” Yunani yang beralih menjadi
ortodoks, lalu berevolusi menjadi heresies
(juragan kebenaran).
Kepemimpinan berbasiskan
”siasat” di kampus akan menyesatkan dan mengadu domba. Arah dan tujuan tidak
konsisten. Kemarin bersekutu dengan kelompok mahasiswa beraliran keras, tetapi
saat kedudukan terancam, beralih kepada kelompok moderat yang punya pandangan
lebih humanis. Akan tetapi, ini hanyalah skenario pertahanan yang tidak
didasarkan karakter. Sama halnya dalam menghadapi pemerintah. Dulu membela
otonomi, tetapi begitu kedudukan terancam, otonomi ditukar satuan kerja
kementerian.
Lantas, bagaimana penengah
yang didatangkan dari luar? Rektor yang bersiasat tak akan membiarkan penengah
menemukan kebenaran. Di UI, Majelis Wali Amanat (MWA) yang mewakili masyarakat
bukanlah hadir karena kehendak mereka. Sebagian besar hadir karena ”ada
kelompok berkepentingan yang membawa”, baik calon rektor maupun yang ingin
mempertahankannya. Sampai di sini para anggota MWA tentu perlu melakukan
refleksi: siapa yang membawa saya ke sini dan apa yang dituntut orang itu dari
saya?
Apakah saya telah ikut menjadi bagian dari masalah dan ikut bersiasat
atau menjadi solusi dengan memperbaiki perspektif?
”Siapa yang membawa”
membentuk perspektif dan gambaran penyelesaian. Bila perspektifnya status quo, dapat dipastikan sama-sama
bersiasat memadamkan pemberontakan. Bila perspektifnya adalah tata kelola,
dapat dipastikan arahnya adalah penyelesaian. Jadi, sudah tepatkah
perspektifnya dan sudah diujikah kebenarannya?
Bukan Kekuasaan
Banyak orang berpikir
kekuasaan adalah sumber korupsi. Saya tidak menyanggahnya. Namun, Aung San Suu
Kyi mengatakan, ”Bukanlah kekuasaan yang membuat seseorang korup, melainkan
rasa takut. Takut mempertanggungjawabkan perbuatan membuat seseorang takut
kehilangan jabatan.”
Warga UI tentu tak ingin
kekisruhan berumur lama seperti penderitaan Suu Kyi. Namun, pjs rektor utusan
pemerintah yang baru mulai bekerja punya banyak pilihan. Mempertahankan
kekisruhan dengan perspektif mereka yang takut ”kehilangan” atau dengan
perspektif kebenaran dan mengembalikan tata kelola.
Jika ingin mengembalikan
kultur akademik, menghentikan kisruh, mengembalikan UI sebagai kampus rakyat
kelas dunia, ”dengarkanlah” dari para pendidik berdedikasi yang sehari-hari
menyaksikan kepemimpinan yang bermasalah. Mereka adalah akademisi yang jauh
dari ambisi jabatan, tidak suka bersiasat, selain ingin berkarya dan
menciptakan impak. Mereka tahu apa yang harus diperbaiki. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar