Setelah
Kompolnas Bukan Pak Pos
Imam Syafi’i ; Wartawan,
Direktur Pemberitaan Jawa Pos TV (JTV)
JAWA
POS, 01 Agustus 2012
PEKAN lalu,
tiga komisioner Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional), yang baru dilantik SBY
pada awal Juni 2012, datang ke Jatim. Mereka yang terdiri atas M. Nasser, Logan
Siagian, dan Hamidah Abdurrachman itu membuat pernyataan mengejutkan dalam
jumpa pers di Hotel Bumi Surabaya. Mereka mendesak Polda Jatim membuka kembali
kasus dugaan keterangan palsu kelulusan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko. Kompolnas
berpendapat penyidikan kasus tersebut layak diteruskan.
Nasser menyatakan, ada petunjuk yang tidak diperhatikan secara teliti (atau diabaikan) oleh penyidik Polda Jatim. Bukti itu, antara lain, pernyataan SMP Taman Siswa yang mencabut surat Eddy Rumpoko yang bersekolah di sana dan surat izin pemeriksaan Eddy yang dikeluarkan Presiden SBY pada 28 April 2011. Eddy pernah ditetapkan sebagai tersangka saat kasus tersebut ditangani Polwiltabes Surabaya, tapi malah di-SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) ketika diambil polda. Kini Eddy pun mendaftar kembali menjadi calon wali Kota Batu ke KPUD.
Tulisan ini tidak membahas secara khusus kasus Eddy. Kinerja Kompolnas layak didukung karena kini mulai berani bersikap kritis terhadap kinerja kepolisian yang dinilai mencederai rasa keadilan. Periode sebelumnya, peran Kompolnas ibarat tukang pos atau Pak Pos. Kompolnas cuma menerima pengaduan dari masyarakat atas kinerja Polri untuk disampaikan kepada presiden.
Kasus Korlantas KPK
Peran Kompolnas yang penting juga ditunggu terkait dengan kasus penetapan tersangka korupsi oleh KPK terhadap Irjen Pol Djoko Susilo. Kompolnas perlu mencermati sikap bos-bos Mabes Polri ketika KPK menggeledah markas Korlantas Mabes Polri. Penggeledahan yang memang menggunakan unsur pendadakan itu dilawan internal Polri. Bahkan, KPK sulit membawa barang sitaan yang diperkirakan sebagai dokumen barang bukti keluar dari markas Korlantas.
Kompolnas layak mencermati pernyataan tersangka Irjen Djoko Susilo bahwa kasus itu sudah ditangani Bareskrim. Bahkan, dikabarkan, 32 saksi sudah diperiksa. Jangan sampai kasus ini menjadi impunitas bagi pembesar-pembesar yang diduga terlibat. Apalagi kalau tersangkanya tebang pilih, yakni pejabat rendahan. Saatnya pimpinan dimintai pertanggungjawaban bila terlibat, tidak ''memerintah'' bawahannya menjadi tersangka. Tak ada jalur komando untuk keadilan.
Kita masih ingat, kasus Gayus yang disidang pidana tak sampai menyentuh level jenderal. Juga, ketika diperintah Komisi Informasi Publik (KIP) untuk membuka ''rekening gendut'' milik 19 pembesar Polri, ternyata Polri tetap tak patuh. Padahal, Polri menyebut rekening-rekening itu tak bermasalah.
Kompolnas, dengan kewenangan yang kini diperkuat, layak menghidupkan semangat reformasi yang digiatkan semasa Kapolri Jenderal Sutanto. Waktu itu, Polri sendiri yang menindak para jenderal bermasalah. Kabareskrim Komjen Suyitno Landung masuk penjara karena memainkan kasus korupsi di BNI. Begitu juga bawahannya, Brigjen Samuel Ismoko, serta beberapa perwira lain. Padahal, hasil penyidikan kasus BNI oleh Bareskrim menghasilkan vonis tertinggi dalam sejarah korupsi di Indonesia. Adrian Waworuntu, otak kasus korupsi tersebut, divonis seumur hidup.
Boleh Ikut Gelar Perkara
Kompolnas baru dibentuk dalam UU Nomor 2/2002 tentang Polri. Kompolnas diatur dalam Bab VI tentang Lembaga Kepolisian Nasional pada pasal 37 sampai 40. Pasal 37 menyebutkan bahwa Kompolnas berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Lalu, menurut pasal 38, Kompolnas membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri serta memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Kompolnas menerima saran dan keluhan dari masyakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada presiden.
Peran Kompolnas diperkuat lewat Peraturan Presiden (Perpres) No 17/2011 tentang Kompolnas. Pasal 9 poin D menyebutkan, Kompolnas berhak meminta pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas pemeriksaan yang telah dilakukan satuan pengawas internal Polri terhadap anggota dan/atau pejabat Polri yang diduga melakukan pelanggaran disiplin dan/atau etika profesi. Dengan catatan, dalam satu kasus ada temuan novum (bukti baru) yang bisa digunakan untuk didalami dan dilakukan pemeriksaan.
Selain itu, ada poin E pasal yang sama. Bunyinya, merekomendasikan kepada Kapolri agar anggota dan/atau pejabat Polri yang melakukan pelanggaran disiplin, etika profesi, dan/atau diduga melakukan tindak pidana diproses sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya aturan ini, diharapkan pihak eksternal (Kompolnas) bisa ikut mengawasi internal Polri.
Kemudian, pada poin F juga disebutkan, Kompolnas dapat mengikuti gelar perkara, sidang disiplin, dan sidang komisi kode etik profesi kepolisian. Terakhir, poin G menyebutkan, Kompolnas bisa mengikuti pemeriksaan dugaan pelanggaran disiplin dan kode etik yang dilakukan anggota dan/atau pejabat Polri.
Dengan kewenangan sebesar itu, Kompolnas layak menjadi mitra reformasi Polri. Tak perlu segan karena pertanggungjawabannya langsung kepada presiden, sama seperti Kapolri. ●
Nasser menyatakan, ada petunjuk yang tidak diperhatikan secara teliti (atau diabaikan) oleh penyidik Polda Jatim. Bukti itu, antara lain, pernyataan SMP Taman Siswa yang mencabut surat Eddy Rumpoko yang bersekolah di sana dan surat izin pemeriksaan Eddy yang dikeluarkan Presiden SBY pada 28 April 2011. Eddy pernah ditetapkan sebagai tersangka saat kasus tersebut ditangani Polwiltabes Surabaya, tapi malah di-SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) ketika diambil polda. Kini Eddy pun mendaftar kembali menjadi calon wali Kota Batu ke KPUD.
Tulisan ini tidak membahas secara khusus kasus Eddy. Kinerja Kompolnas layak didukung karena kini mulai berani bersikap kritis terhadap kinerja kepolisian yang dinilai mencederai rasa keadilan. Periode sebelumnya, peran Kompolnas ibarat tukang pos atau Pak Pos. Kompolnas cuma menerima pengaduan dari masyarakat atas kinerja Polri untuk disampaikan kepada presiden.
Kasus Korlantas KPK
Peran Kompolnas yang penting juga ditunggu terkait dengan kasus penetapan tersangka korupsi oleh KPK terhadap Irjen Pol Djoko Susilo. Kompolnas perlu mencermati sikap bos-bos Mabes Polri ketika KPK menggeledah markas Korlantas Mabes Polri. Penggeledahan yang memang menggunakan unsur pendadakan itu dilawan internal Polri. Bahkan, KPK sulit membawa barang sitaan yang diperkirakan sebagai dokumen barang bukti keluar dari markas Korlantas.
Kompolnas layak mencermati pernyataan tersangka Irjen Djoko Susilo bahwa kasus itu sudah ditangani Bareskrim. Bahkan, dikabarkan, 32 saksi sudah diperiksa. Jangan sampai kasus ini menjadi impunitas bagi pembesar-pembesar yang diduga terlibat. Apalagi kalau tersangkanya tebang pilih, yakni pejabat rendahan. Saatnya pimpinan dimintai pertanggungjawaban bila terlibat, tidak ''memerintah'' bawahannya menjadi tersangka. Tak ada jalur komando untuk keadilan.
Kita masih ingat, kasus Gayus yang disidang pidana tak sampai menyentuh level jenderal. Juga, ketika diperintah Komisi Informasi Publik (KIP) untuk membuka ''rekening gendut'' milik 19 pembesar Polri, ternyata Polri tetap tak patuh. Padahal, Polri menyebut rekening-rekening itu tak bermasalah.
Kompolnas, dengan kewenangan yang kini diperkuat, layak menghidupkan semangat reformasi yang digiatkan semasa Kapolri Jenderal Sutanto. Waktu itu, Polri sendiri yang menindak para jenderal bermasalah. Kabareskrim Komjen Suyitno Landung masuk penjara karena memainkan kasus korupsi di BNI. Begitu juga bawahannya, Brigjen Samuel Ismoko, serta beberapa perwira lain. Padahal, hasil penyidikan kasus BNI oleh Bareskrim menghasilkan vonis tertinggi dalam sejarah korupsi di Indonesia. Adrian Waworuntu, otak kasus korupsi tersebut, divonis seumur hidup.
Boleh Ikut Gelar Perkara
Kompolnas baru dibentuk dalam UU Nomor 2/2002 tentang Polri. Kompolnas diatur dalam Bab VI tentang Lembaga Kepolisian Nasional pada pasal 37 sampai 40. Pasal 37 menyebutkan bahwa Kompolnas berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Lalu, menurut pasal 38, Kompolnas membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri serta memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Kompolnas menerima saran dan keluhan dari masyakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada presiden.
Peran Kompolnas diperkuat lewat Peraturan Presiden (Perpres) No 17/2011 tentang Kompolnas. Pasal 9 poin D menyebutkan, Kompolnas berhak meminta pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas pemeriksaan yang telah dilakukan satuan pengawas internal Polri terhadap anggota dan/atau pejabat Polri yang diduga melakukan pelanggaran disiplin dan/atau etika profesi. Dengan catatan, dalam satu kasus ada temuan novum (bukti baru) yang bisa digunakan untuk didalami dan dilakukan pemeriksaan.
Selain itu, ada poin E pasal yang sama. Bunyinya, merekomendasikan kepada Kapolri agar anggota dan/atau pejabat Polri yang melakukan pelanggaran disiplin, etika profesi, dan/atau diduga melakukan tindak pidana diproses sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya aturan ini, diharapkan pihak eksternal (Kompolnas) bisa ikut mengawasi internal Polri.
Kemudian, pada poin F juga disebutkan, Kompolnas dapat mengikuti gelar perkara, sidang disiplin, dan sidang komisi kode etik profesi kepolisian. Terakhir, poin G menyebutkan, Kompolnas bisa mengikuti pemeriksaan dugaan pelanggaran disiplin dan kode etik yang dilakukan anggota dan/atau pejabat Polri.
Dengan kewenangan sebesar itu, Kompolnas layak menjadi mitra reformasi Polri. Tak perlu segan karena pertanggungjawabannya langsung kepada presiden, sama seperti Kapolri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar