Rabu, 01 Agustus 2012

Dua Polisi dan Duit di Kulkas


Dua Polisi dan Duit di Kulkas
Djoko Pitono ; Jurnalis dan Editor buku
JAWA POS, 01 Agustus 2012


KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin menggeledah Kantor Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri di Jakarta untuk mencari bukti-bukti dugaan kasus korupsi miliaran rupiah terkait pengadaan simulator SIM. Irjen Djoko Susio, yang telah dimutasi ke lembaga lain, jadi tersangka dalam kasus tersebut. 

Beragam laporan lengkap dengan analisis dan komentar para pakar, aktivis LSM, dan anggota DPR. Sejumlah ide online pasti segera mengikutinya. Saya pun jadi teringat kisah dua jenderal polisi di Hongkong terkait dengan jutaan dolar uang di berbagai rekening internasional. Menariknya, juga bergebok-gebok dolar di dalam kulkas. 

Kisah ini bermula pada 1973 di Royal Bank of Canada di Vancouver, Kanada. Dalam pemeriksaan rutin, ditemukan rekening atas nama Peter Fitzroy Godber berisi sejumlah besar uang, tapi rekening gendut itu sudah lama tidak aktif. 

Kemudian diketahui, Godber adalah pemegang paspor diplomatik di Hongkong. Bank itu pun kemudian meminta penjelasan dari Kemlu Inggris, apakah Godber masih aktif dan uangnya akan diapakan. 

Penelusuran pun berujung di Hongkong dan petugas dengan mudah menemukan "diplomat yang hilang" itu. Peter Godber di koloni Inggris itu adalah petinggi polisi berpangkat chief superintendent yang menjabat kepala Satuan Lalu Llintas Hongkong dan hampir pensiun. 

Persoalan itu sampai ke sang kepala, Komisioner Charles Sutchliffe. Sang komandan sempat gamang. Godber tidak hanya kolega seniornya, tetapi perwira yang terkenal prestasinya, terutama berjasa meredam kerusuhan terkait politik di Hongkong pada 1967. Nama Godber tidak sembarangan. 

Namun, Sutchliffe memantapkan diri melangkah. Kepala polisi itu terkenal karena integritasnya, penyandang gelar Commander of British Empire dan pemegang medali kepolisian dari Ratu Inggris serta beragam tanda jasa dari Perang Dunia II dan Afrika. Di Inggris, medali-medali itu jelas karena prestasi; tak bisa diraih dengan main mata. 

Pada akhir sebuah rapat pagi harian para perwira senior pada 3 Juni 1973, seorang pejabat membacakan sebuah pesan ketikan di depan semua peserta, termasuk Godber. Dalam pesan alias instruksi tersebut, Godber diminta memberikan penjelasan tertulis tentang kekayaannya yang sangat besar tersebut. Dia diberi waktu satu minggu. 

Sembari menunggu penjelasan Godber, aparat menggeledah kantor dan rumahnya. Mereka akhirnya menemukan 400.000 dolar Hongkong (sekitar Rp 480 juta) tunai di kulkas. Sebuah jumlah yang luar biasa besar saat itu. Pelacakan lain menemukan duit 4,3 juta dolar Hongkong (sekitar Rp 5,1 miliar) di berbagai rekening beberapa kota dunia. Pokoknya, tak masuk di akal bila polisi dengan pengalaman 19 tahun itu bisa punya uang halal sebanyak itu. 

Sadar dirinya dalam bahaya, Godber pun kabur. Sang istri diminta memesan dua tiket untuk pulang ke London. Keduanya melenggang tanpa pemeriksaan petugas di bandara karena berstatus diplomat dan pernah menjadi pejabat polisi yang membawahi kawasan bandara Hongkong. 

Kegemparan meledak di seantero Hongkong saat diketahui Godber kabur. Pak Kepala Polisi Sutchliffe pusing. Tapi, setelah hampir satu tahun, melawati beragam prosedur birokrasi, Godber akhirnya dapat diterbangkan ke Hongkong untuk diadili. 

Dalam pengadilan dramatis yang berlangsung beberapa pekan, Godber akhirnya divonis hukuman penjara 31 bulan. Juga disita asetnya berupa vila di pantai sebelah tenggara Inggris, serta denda sekitar 25.000 dolar Hongkong (sekitar Rp 30 juta). 

Ringan? Orang boleh kecewa karena kekayaan Godber yang berjuta dolar di berbagai rekening kemudian tak jelas justrungnya. Golber sendiri, setelah bebas pada 1977, kemudian lenyap. Kabarnya dia tinggal di Spanyol. Dia mungkin masih bergaya sekaya Paman Gober di komik Donal Bebek minus nama baik. 

Momentum Antikorupsi 

Warga Hongkong memang banyak yang kecewa atas vonis tersebut. Tetapi, akibat bagusnya, kasus Godber memicu semangat pembersihan besar-besaran korupsi di Hongkong. Korupsi di koloni tersebut (yang kembali ke pangkuan Tiongkok pada 1997) memang luar biasa, melekat di semua lembaga dan sektor kehidupan masyarakat. Ada pelukisan, petugas PMK tak akan menyemprotkan air ke rumah yang terbakar sebelum disuap. Jururawat pun tak bakal mau menyuntik sebelum diberi "uang teh". Lembaga paling korup adalah kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. 

Berdirilah kemudian Independent Commission Against Corruption (ICAC) alias KPK di Hongkong, dengan pionirnya adalah Charles Sutchliffe, sang kepala polisi. Dia melancarkan pembersihan besar-besaran di lembaga yang dipimpinnya itu. Reaksi keras sempat dihadapi, bahkan ancaman pembunuhan. Tetapi, Sutchlife tidak gentar. Dia tetap bersikap tegas dan keras. 

Namun, dia pun meminta pemerintah (dan berhasil meyakinkan) menaikkan gaji polisi beberapa kali lipat dan memperbaiki kondisi hidup mereka. Dia juga mengkritik para hakim yang menghukum ringan para kriminal. 

Pak Sutchlife, yang pensiun pada 1974 dan meninggal di Kanada pada 2005 dalam usia 89 tahun, jelas tidak punya "rekening gendut" seperti Godber koleganya. Integritas dirinya tidak memungkinkan hal itu terjadi. 

Orang-orang sejagat, terutama para penegak hukum dan khususnya polisi, kini dapat membanggakan dirinya. Dia pun mewariskan ICAC yang kesohor reputasinya. Dia juga mewariskan Hongkong yang bersih korupsi, ranking 13 di dunia. Bandingkan dengan peringkat Indonesia yang pada 2010 di atas nomor 100. 

Hongkong bisa mengambil hikmah dari kasus bos polisi lalu lintas itu. Mabes Polisi Hongkong juga tak membela membabi buta perwira sejawatnya yang korup. Sebaiknya, pimpinan Polri juga menjadi "Pak Suchlife" dalam kasus Korlantas. Ketahuilah, rakyat tak butuh pejabat benalu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar