Rohingya
dan Gagalnya Multikulturalisme
Teuku Kemal Fasya ; Antropolog Aceh; Juli lalu diundang ke Mae Sot, Thailand,
sebagai pemateri tema demokrasi dan perdamaian untuk aktivis muda Myanmar dari
etnik minoritas
MEDIA
INDONESIA, 04 Agustus 2012
SETELAH
menghadapi tekanan dari dunia internasional, termasuk negara-negara ASEAN,
pemerintah Myanmar melalui kementerian luar negeri mereka mengeluarkan pernyataan
resmi pada 30 Juli 2012.
Dalam
pernyataan yang dirilis ASEAN Update,
pemerintah Myanmar mengatakan tak lelah-lelah mengupayakan untuk meredakan
kerusuhan di Negara Bagian Rakhine. Dalam rilis tersebut, mereka memberikan
kronologi konflik dan ‘data-data’ korban agar dunia internasional memiliki pemahaman utuh tentang konflik Rohingya.
Mereka
menyebutkan konflik dipicu kasus
perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan seorang gadis muda etnik Arakan
(atau Rakhine) di Kota Yanbye pada 28 Mei 2012. Pelakunya ditengarai tiga
pemuda muslim Rohingya. Kejadian itu melahirkan kebencian dan rasa sakit hati
dari etnik Arakan sehingga membalas dengan membunuh 10 muslim Rohingya yang
menjadi penumpang bus di Kota Taungup. Aksi saling balas yang merebak menjadi
konflik di antara dua etnik yang berbeda agama itu semakin sporadis dan massal.
Masih
dari rilis itu disebutkan, konflik kemudian meluas ke kota-kota di Negara Bagian
Rakhine, yang menyebabkan 77 orang meninggal dari kedua pihak, 109 terluka,
4.822 rumah terbakar, termasuk 17 masjid, 15 wihara, dan 3 sekolah hancur.
Untuk
meredakan situasi itu, pemerintah membuat 89 tenda pengungsian bagi 14.328
pengungsi etnik Arakan dan 30.740 muslim Rohingya. Pemerintah juga menyatakan
telah bekerja sama dengan UNHCR--lembaga PBB untuk masalah pengungsian--dan
WFP--lembaga dunia yang mengurusi masalah pangan--untuk mengurangi derita para
pengungsi selama masa transisi itu.
Pemerintah
Myanmar juga menolak politisasi kasus
itu sebagai konflik agama. ‘Perdamaian
dan stabilitas adalah hal yang sangat diperlukan untuk mengembangkan
demokratisasi dan proses reformasi di Myanmar. Myanmar adalah negara multiagama tempat Budha, Kristen, Islam, dan Hindu
telah hidup bersama dengan damai dan harmonis selama berabad-abad',
demikian akhir bunyi pernyataan resmi mereka.
Negara Rasialis
Terlepas
dari argumen dan statement yang disampaikan,
kali ini pemerintah Myanmar memakai pendekatan `kehumasan yang lebih baik'
dalam menangani kasus rasialisme tersebut. Pada kasus yang menimpa etnik
Rohingya di masa lalu, tidak ada klarifikasi resmi yang dikeluarkan pemerintah
kepada dunia luar. Pemerintahan junta militer Myanmar memang terkenal sebagai
pemerintahan yang tertutup dan membatasi akses informasi atas kasus internal
negara mereka.
Namun
statement yang disampaikan itu tidak
mengungkap masalah rasialisme, status kewarganegaraan (citizenship), dan hak atas tanah yang menjadi motif utama
penderitaan etnik Rohingya selama puluhan tahun. Mereka lebih fokus pada penyelesaian darurat kemanusiaan yang muncul
akibat konflik etnik itu.
Pemerintah
Myanmar sebenarnya dapat mengklaim tidak terlibat pada kasus itu karena posisi
mereka yang pasif. Namun jika melihat latar belakang historis hubungan
antaretnik dan agama yang buruk dan hubungan mayoritas-minoritas yang
diskriminatif selama bertahun-tahun, pemerintah
Myanmarlah yang sebenarnya menjadi `pelaku' kejahatan kemanusiaan yang
berulang-ulang itu.
Myanmar
(dulunya bernama Burma) merupakan eksemplar negara yang memiliki hubungan buruk
pada masalah etnisitas dan rasialisme sejak negara itu lahir. Sejak merdeka dari
Inggris pada 1948, negara tersebut dapat dikatakan hanya milik etnik Burma yang
merupakan populasi terbesar (70%).
Hubungan
etnik yang buruk itu melahirkan pemberontakan di
kalangan etnik minoritas-mereka lebih senang menyebutnya
‘bangsa-bangsa etnik’ (ethnic
nationalities). Ada delapan grup etnik besar di Myanmar dari 130-an
subetnik lainnya. Kelompok pemberontak bersenjata seperti Karen National Liberation Army (KNLA), The Arakan Liberation Party (ALP), Wa National Army (WNO), Pa-O
National Liberation Army, dan Chin
National Army (CAN) terus melakukan gerakan bersenjata untuk menuntut
hak-hak mereka hingga saat ini (Khin Ohmar, 2010).
Kelompok-kelompok
minoritas itu menolak sistem politik Myanmar yang hanya menguntungkan mayoritas
dan menyubordinasikan etnik minoritas dalam representasi etnik Burma. Sejak
pemerintahan militer Ne Win memimpin Myanmar melalui kudeta pada 1962,
pendekatan militeristis dan diskriminatif semakin dirasakan etnik-etnik minoritas (Martin Smith,
1999).
Munculnya
gerakan demokrasi melalui National League
for Democracy (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi ternyata tidak
bersinergi dengan gerakan etnik minoritas. Gerakan oposisi nasional memiliki
agenda gerakan sosial, sedangkan
gerakan etnik dilihat sebagai gerakan
separatisme sehingga tidak pernah menjadi aksi kolektif.
Di
sisi lain, politik diskriminatif yang diberlakukan rezim militer tidak hanya
membuat gerakan konsolidasi demokrasi semakin lemah, tapi juga memainkan
politik devide et impera di kalangan
etnik-etnik minoritas. Rohingya yang kebetulan etnik minoritas dan Islam,
berbeda dengan mayoritas Myanmar, menjadi bulan-bulanan. Mereka distigmakan
sebagai bukan etnik asli Myanmar, tidak diberi status kewarganegaraan,
mengalami pengusiran dari tanah kelahiran (kejadian monumental pada 1978, 1982,
1993, dan 2009), dan dianggap sebagai kelompok kriminal dan pengacau liar.
Politik Diskriminatif
Kasus
kerusuhan di Rakhine barat sejak awal Juni lalu merupakan buah dari kebijakan politik diskriminatif Myanmar. Maka sebenarnya,
baik kelompok etnik Buddha Arakan maupun muslim Rohingya merupakan korban dari
sistem politik yang tidak simetris menjalankan politik kesejahteraan dan
berlakunya politik penindasan selama bertahun-tahun.
Jika
dilihat dari pemantiknya, kasus di Rakhine juga pernah terjadi di Indonesia
pada awal reformasi. Apa yang terjadi di Ambon (1998), Sampit (1999), dan Poso
(2000) dimulai dari kasus `sepele' yang kemudian merebak menjadi kerusuhan SARA
yang memakan ribuan korban jiwa dan menimbulkan kehancuran yang luar biasa.
Hulu
dari semua masalah tersebut ialah tidak berjalannya politik pluralisme dan
multikulturalisme akibat pemerintahan
otoriter di masa lalu. Pendekatan Soeharto yang menawarkan politik
eksklusivisme (di masa akhir kekuasaannya ia mencoba memanjakan kelompok
Islam), keseragaman, dan pendekatan represif ketika menangani konflik telah
berbuah menjadi gemintang konflik di awal reformasi akibat kegagalan masyarakat
meresolusi konflik secara mandiri.
Namun, kalau
Indonesia telah melewati kasus kelam itu berkat belajar bersama waktu, Myanmar
masih menunggu waktu lama untuk menyelesaikan masalah internal mereka.
Sepanjang junta militer masih belum mengubah watak pemerintahan mereka menjadi
lebih adil, multikultural, dan demokratis, kasus seperti Rohingya hanya akan
menunggu waktu untuk kembali berulang. ●
Saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada Teuku Kemal Fasya yang (demi memberikan pemahaman yang lebih utuh kepada publik) telah ‘berani’ menyampaikan kronologi ‘genosida muslim Rohingya’ dan data tentang korban dan kerusakan bangunan versi pemerintah Myanmar. Walaupun informasi tersebut, sama halnya dengan informasi yang cenderung mempolitisasi kasus tersebut sebagai konflik agama, sebenarnya tetap terbuka untuk diuji dan dibuktikan sejauhmana kebenarannya. Walaupun dalam tulisan tersebut Teuku Kemal Fasya bersikukuh bahwa pemerintah Myanmar(yang rasialis dan diskriminatif)-lah yang telah menyebabkan terjadinya konflik etnis Arakan-Rohingya tersebut, bukan hal ‘sepele’ seperti “kasus perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan seorang gadis muda etnik Arakan (atau Rakhine) di Kota Yanbye pada 28 Mei 2012 lalu” yang sekadar merupakan pemicu.
BalasHapusSaya sependapat dengan Teuku Kemal Fasya bahwa masalah etnisitas dan rasialisme di Myanmar harus diselesaikan secara tuntas. Tetapi (mengingat kompleksitas permasalahan) itu adalah untuk jangka menengah dan jangka panjang. Untuk saat ini, yang diperlukan pemerintah Myanmar (dengan dukungan lembaga-lembaga internasional seperti PBB, ASEAN dan OKI) adalah fokus pada ‘penyelesaian darurat kemanusiaan’ akibat konflik tersebut dan segera padamkan bara-bara konflik yang masih tersisa. Dan saya kira, itu juga yang dulu kita lakukan untuk memadamkan dan menyelesaikan konflik-konflik yang berbau SARA di Indonesia.