Khitah
Nuzululquran
Asep Salahudin ; Wakil Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya
MEDIA INDONESIA,
04 Agustus 2012
SALAH
satu upacara keagamaan yang selalu diperingati adalah Nuzululquran. Peringatan
itu diacukan ke memori kolektif yang ditarik pada peristiwa tu runnya ayat-ayat
Alquran yang dalam penelitian kaum sejarawan pertama kali di bulan Ramadan,
tepatnya tanggal 17.
Itu
diperingati sebagai bagian dari ritual keagamaan.
Secara berulang-ulang, setiap tahun di berbagai daerah dan tempat. Bahkan di negara kita, pemerintah sebagai simbol institusi formal pun tidak ketinggalan melakukan peringatan.
Secara berulang-ulang, setiap tahun di berbagai daerah dan tempat. Bahkan di negara kita, pemerintah sebagai simbol institusi formal pun tidak ketinggalan melakukan peringatan.
Bagaimanapun,
agama pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari serangkaian upacara. Boleh jadi,
hakikat agama itu sendiri terletak pada upacara. Dengan ritual yang dilaku kan
secara rutin, secara fundamental, seperti dikatakan Durkheim, setiap individu
diberi kesempatan untuk memperbarui komitmen pada komunitas, memperingatkan
diri sendiri melalui cara yang paling khidmat bahwa setiap individu memiliki
ketergan tungan yang kuat terhadap komunitas sebagaimana kelangsungan komunitas
itu banyak bergantung kepada individu (L Plas, 1996).
Dalam
melakukan sebuah ritual, manusia memiliki tujuan. Van Gennep menjelaskan semua
kebudayaan memiliki suatu ritual yang memperingati masa peralihan individu dari
status sosial ke status sosial yang lain. Ritual penerimaan, ritual inisiasi,
termasuk ritual di masa pubertas, pertunangan dan perkawinan, masa mengandung,
dan saat kelahiran bayi, serta pemakaman merupakan kesempatan-kesempatan utama
dari ritual.
Ritual
cenderung dikaitkan dengan krisis hidup individuindividu. Upacara sebagai kon
trol sosial dimaksudkan untuk mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu
demi dirinya sendiri sebagai individu atau individu bayangan (Dhavamony, 1995).
Tadarus
Nuzululquran
sebagai bagian dari ritual, dalam praktiknya, berkaitan erat dengan tradisi
tadarus yang biasa dilakukan di bulan suci ini. Umat Islam melakukan reuni
dengan kitab suci mereka.
Tadarus
dalam titik tertentu harus dibaca sebagai simbol identifikasi umat dan seluruh
konsep diri dengan kitab suci mereka. Interaksi simbolis itu tidak hanya
bagaimana me reka membaca ayat-ayat Alquran, tapi juga dalam layar bawah sadar
mereka mengendap kerinduan purba untuk merumuskan keinginan hidup selaras
dengan nilai-nilai perenial ilahiah. Diakui atau tidak, faktanya sejarah
pengalaman keseharian yang dijalani acap kali berbanding terbalik dengan
nilai-nilai itu.
Tadarus
menjadi ruang spiritual untuk kembali kepada khitah keagamaan kita: bagaimana
agama yang dalam hal ini diacukan pada sumber uta ma kitab suci menjadi haluan
yang bisa menjelaskan tujuan eksistensial dan visi hakiki dari hidup yang
dijalani.
Tadarus
pula yang berkaitan erat dengan spirit Nuzululquran. Konon katanya, dalam
tradisi kenabian untuk menjaga autentisitas Alquran, Muhammad SAW tidak hanya
melakukan tadarus seorang diri, tapi juga dengan para sahabatnya, bahkan dengan
Malaikat Jibril.
Tadarus
seperti itu yang kemudian memiliki dampak luar biasa dahsyat dalam kehidupan
Nabi. Minimal saya mencatat dua fungsi yang tidak terhindarkan. Pertama,
sebagai jembatan untuk menyuntikkan kekuatan spiritual-moral sehingga seluruh
tindakan dapat terjaga dan diacukan kepada kesadaran metafisik. Dalam kajian
filsafat moral diteguhkan bahwa tidak ada kekuatan yang lebih dahsyat kecuali
moralitas yang berba sis pada kesadaran kesadaran metafisik seperti itu.
Kedua,
menjadi ajang melakukan konsolidasi antara Nabi dan sahabatnya, antara para
sahabat satu dan yang lainnya. Dengan tidak te rasa, tadarus kolektif itu
(tadarus yang benar tidak dilakukan seorang diri, tapi secara berjemaah), pada
gilirannya menjadi pintu masuk untuk membangun kekohesifan sosial.
Dalam
tadarus, yang dimaknai tidak hanya ayat-ayat ketuhanan, tapi juga ayat-ayat
kemanusiaan. Dalam ajaran Alquran, relasi dua tema ayat tersebut tak ubahnya
gambar dalam satu keping mata uang. Itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Kebaktian kepada Tuhan dan berkhidmat kepada manusia harus berdialektika, tidak
boleh jatuh dalam kutub ekstrem.
Kata
Nabi, “Untuk berdamai dengan langit harus didahului dengan kesigapan berdamai
di bumi. Untuk mencari kasih dari Tuhan, wajib menebar kasih kepada dunia.“
Pesan Substansial
Tadarus
yang ke mudian memuncak dalam ingatan turunnya Alquran di bulan Ramadan ini
merupakan siasat untuk kembali kepada autentisitas diri. Autentisitas baik
sebagai hamba Tuhan ataupun sebagai manusia.
Bagi
umat Muhammad, autentisitas itu bukan sekadar ziarah menunjukkan diri sebagai
idea (Plato), nalar (Rene Descartes), pengalaman (Bacon), fenomena indrawi
(David Hume), rasio universal (Kant), idealisme metafisik (Hegel), fenomenologi
transendental (E Husserel), atau eksistensialisme on tologis (Haidegger),
melainkan juga pada saat bersamaan kesadaran yang tidak terhindarkan sebagai
hamba Tuhan dengan visi eskatologis dan kesadaran metaļ¬sik yang jelas.
Gerak ke haluan autentisitas yang
diinjeksikan tadarus dan dikuatkan peristiwa Nuzululquran, di satu sisi,
menyadarkan kedaifan kita sebagai makhluk di hadapan Sang Kuasa seperti dengan
bagus diilustrasikan Amir Hamzah dalam Hanyut
Aku:
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku,
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada
angin
mendingin hati.
Di sisi lain, itu mengingatkan kita sebagai
manusia yang memiliki kewajiban kreatif mencipta kebudayaan untuk mewujudkan
keadaban publik. Alhasil, pesan substansial Nuzululquran yang kita peringati
tidak lain ialah menginjeksikan keinsafan kepada setiap kita tentang gerak
kembali kepada khitah keberagamaan kita: ziarah mencari autentisitas diri yang diacukan
kepada dua jangkar utama, yakni transendensi dan humanisasi. ●
Ralat: tulisan pa Asep Salahudin tentang KHITAH NUZULULQURAN itu bukan dimuat di Republika tapi di Media Indonseia hari Sabtu 4 Agustus 2012
BalasHapusSekali lagi, terimakasih atas koreksi Anda..
Hapus