Rohingya,
Di Mana Su Kyi?
Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi,
Dosen Komunikasi di
Universitas Paramadina, Jakarta
INILAH.COM,
03 Agustus 2012
Pada Jumat (3/8) berduyun-duyun orang di Jakarta turun ke jalan, menuntut
dihentikannya pembantaian Muslim Rohingya. Itu protes wajar, mengingat tragedi
kemanusiaan terhadap suku Rohingya di Myanmar (Burma) belakangan ini belum juga
reda.
Juga belum ada tindakan nyata yang signifikan
dari masyarakat dunia. Padahal aktivis hak asasi manusia (HAM) dunia telah
menyatakan bahwa pihak berwenang di Myanmar nyaris tidak berbuat apa-apa untuk
mencegah munculnya kekacauan sejak awal. Malah aktivis kemanusiaan juga dicegah
masuk, bahkan ditangkapi saat hendak membantu warga tak-berwarga-negara (stateless) itu.
“Angkatan bersenjata Myanmar telah membunuh,
memperkosa dan menangkapi Muslim Rohingya, setelah kericuhan komunal pada Juni
lalu,” tulis laporan organisasi HAM Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di
New York, Rabu 1 Agustus.
Laporan itu diterbitkan seminggu setelah
penyerangan dan pembakaran di wilayah Rakhine, belum lama ini. Didasarkan pada
57 interviu dengan orang-orang Rakhine dan Rohingya, laporan itu dimaksudkan
mencari penjelasan mengenai konflik yang lama terpendam di tengah masyarakat,
dan menagih kejelasan janji-janji kemanusiaan pemerintah sipil Burma sejak
mereka berkuasa pada 2011.
“Pihak keamanan Burma gagal melindungi
orang-orang Arakan (Rakhine) dan Rohingya dari pertikaian (satu sama lain), dan
kemudian membiarkan terjadinya kekerasan dan aksi massal terhadap orang-orang
Rohingya,” kata Brad Adams, Direktur HRW Asia.
Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa mereka
bertekad menghentikan konflik etnis dan kesewenang-wenangan yang ada, tetapi
kejadian-kejadian terakhir di wilayah Arakan menunjukkan bahwa kekejaman dan
diskriminasi yang disponsori negara terus berlangsung.
Menilik itu semua, banyak yang mempertanyakan
komitmen Aung San Su Kyi, wanita Burma yang menjadi simbol perjuangan HAM
paling terkenal di dunia.
Mempertanyakan Su Kyi
Tak heran bila banyak aktivis yang dulu
mendukung Su Kyi pun kemudian menuduhnya telah membisu terhadap pelanggaran HAM
paling berat itu. Selama lebih delapan minggu ia diam saja.
Mengecewakan. Mungkin Su Kyi memang dalam
posisi sulit, “Tetapi banyak orang kecewa karena ia tak kunjung bicara lebih
keras,” kata Anna Roberts, direktur eksekutif organisasi Burma Campaign, di
Inggris.
Brad Adams juga menyayangkan mengapa Su Kyi
tidak memanfaatkan kesempatan mempermasalahkan soal ini secara lebih serius.
Sejauh ini, maksimal yang dilakukan Su Kyi
hanya bicara di parlemen Burma. Itu pun dalam bahasa yang ambigu.
Dalam pidato pertama di parlemen, Su Kyi
menekankan pentingnya melindungi hak-hak minoritas, tetapi hal itu lebih
ditujukan kepada kelompok mayoritas Budha seperti Karen dan Shan – dan bukan
Rohingya.
Maka tak salah bila orang seperti Maung
Zarni, akademisi Burma yang pernah duduk dalam panel yang sama bersama Su Kyi
di universitas London School of Economics
Juni lalu, mengatakan bahwa, ‘Su Kyi telah sangat menolak berkomitmen dalam
masalah Rohingya.’
Sebagaimana dikutip Alex Spillius (The Telegraph), Zarni
mengatakan bahwa sebagai orang yang juga pernah menjadi korban rezim militer
Burma, Su Kyi, yang kini berusia 67 itu, hanya menunjukkan ‘show’ yang
mengejutkan lewat prasangka rasisnya terhadap orang-orang Islam.
“Kelompok pro-demokrasi juga seolah terputus
oleh adanya fabrikasi ideologi rasis” yang sama dengan pemerintah militer.
Banyak laporan menunjukkan bahwa para biksu Budha di Rakhine telah menyebarkan
pampflet agar masyarakat memboikot pedagang dan toko-toko Muslim.
Seharusnya, sebagai sebuah ikon kemanusiaan,
Su Kyi bisa membawa pengaruh opini publik jika ia lebih aktif dalam masalah
ini.
Memang boleh jadi ada tujuan politik lain
yang disasar Su Kyi. Sebagai pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy) Myanmar,
mungkin sekali Su Kyi kuatir jika dukungan terhadap minoritas Muslim kelak akan
mengganggu mulusnya jalan baginya menghadapi pemilu 2015.
Itu sebabnya, di parlemen Rabu 25 Juli lalu
itu Su Kyi hanya bicara sepintas – dan tidak tegas.
Pemenang Nobel Perdamaian itu minta agar
pemerintah Myanmar melindungi hak-hak sipil kelompok minoritas. Su Kyi antara
lain mengatakan, perlindungan hak-hak etnik diperlukan, lebih dari sekadar menjaga
bahasa dan budaya mereka, dan bahwa kelompok berbagai minoritas masih berada
dalam tingkat kemiskinan di bawah rata-rata.
“Saya meminta seluruh anggota parlemen
mendiskusikan penegakan undang-undang yang dibutuhkan untuk melindungi hak yang
sama terhadap kelompok-kelompok etnis,” kata Su Kyi.
Tetapi Su Kyi tidak menyebut secara spesifik
nasib etnik Rohingya itu – dan seolah buta bahwa belakangan ini ada lebih 650
Muslim Rohingya Myanmar terbunuh,1.200 hilang dan 80 ribuan mengungsi.
Myanmar, yang dulunya disebut Burma, memang
memiliki beragam etnik dan agama, tetapi sekitar 800.000 orang Rohingya sama
sekali tidak diakui sebagai salah satu kelompok etnis di Myanmar.
Sementara, tetangga Myanmar, Bangladesh,
tidak menerima mereka para pengungsi Rohingya, dan mengembalikan perahu-perahu
yang hendak berlabuh di Banglades.
Meski pun PBB menyebut Muslim Rohingya
sebagai Palestina di Asia Tenggara, dan salah satu minoritas paling teraniaya
di dunia, pemerintah Myanmar tidak peduli.
Presiden Myanmar Thein Sein mengatakan bahwa
pemerintahnya hanya bertanggungjawab terhadap generasi ketiga Rohingya, yang
keluarganya datang ke Myanmar sebelum kemerdekaan 1948, dan bahwa tidaklah
mungkin untuk menerima mereka yang masuk ‘secara illegal’ ke Myanmar.
Maka ia merekomendasikan agar badan PBB untuk
pengungsi, UNHCR, mengurusi mereka yang ada di sejumlah kamp pengungsian atau
‘menempatkan mereka secara permanen’ di negara ketiga.
Tapi itu sulit. Kepala UNHCR Antonio Guterres
menukas, bahwa pihaknya hanya bisa mengurus pengungsi yang lari dari sebuah
negara ke negara lainnya.
Walhasil, kita miris melihat nasib Muslimin
Rohingya. Kebencian etnis Rakhine terhadap minoritas Rohingya di situ sudah
lama berurat berakar. Apalagi karena kebencian itu menular, dan dibiarkan
menjalar oleh penguasa.
Tak cukup begitu. Pemerintah Myanmar malah
mendeklarasikan ‘keadaan darurat’ di Rakhine, sehingga secara mudah mereka
dapat menggunakan alasan ‘situasi genting’ itu untuk menutupi berbagai
pelanggaran dan ketidakadilan.
Kini Myanmar dan Suu Kyi, bersama Presiden
Thein Sein, berada dalam sorotan dunia.
Memang konsesi kebaikan, atau tepatnya
‘keadilan’, kepada orang-orang Rohingya mungkin tidak popular di mata rakyat
Myanmar, namun perlakukan buruk terhadap mereka sesungguhnya membawa risiko
kemarahan dunia.
Kita ingin melihat seberapa serius dunia,
khususnya para pentolan demokrasi dan HAM di Barat, bertindak dalam hal ini.
Kita juga ingin melihat pemerintah Indonesia, sebagai negara dengan penduduk
Muslimin paling besar di dunia, bersikap lebih tegas terhadap Myanmar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar