Kami
Tak Menyerah meski Terus Digusur
Madina Nusrat ; Wartawan
Kompas
KOMPAS,
30 Juli 2012
Sekolah Darurat Kartini
kembali akan digusur. Sekolah yang memberikan pendidikan bagi anak-anak miskin
dari kolong tol, pinggir kali, dan lapak sampah di Jakarta Utara ini akan
dijadikan stasiun dan pergudangan. Para orangtua murid pun menjadi resah.
Sekolah ini paling nyaman
dibandingkan yang sebelumnya di kolong tol. Jauh dari keramaian. Meski agak
berdebu karena dekat pergudangan,” kata Narti (38) saat mengantarkan anaknya,
Salsa (6), masuk sekolah, Jumat (20/7).
Sekolah Darurat Kartini yang
dikelola dua saudara kembar berusia 63 tahun, Sri Rossyati dan Sri Irianingsih,
ini berada di pinggir rel kereta, sekitar kawasan pergudangan di Kampung
Bandan, Pademangan, Jakarta Utara. Untuk menjangkaunya bisa melalui kolong Tol
Pluit di pinggir Jalan Lodan Raya.
Sejak tahun 1996, sekolah
ini setidaknya sudah empat kali digusur dan berpindah-pindah lokasi. Sebabnya
tak lain karena sekolah ini selalu mendekati lokasi
permukiman kumuh, yang biasanya menempati area lahan negara yang beberapa tahun
sekali selalu digusur pemerintah.
Kali ini Sekolah Darurat
Kartini digusur oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Sesuai surat pemberitahuan
yang beredar, semua bangunan di kawasan sekitar pergudangan di Kampung Bandan,
meliputi gubuk-gubuk yang dihuni warga, termasuk Sekolah Darurat Kartini, akan
digusur pada 9 September mendatang. Rencananya, menurut beberapa warga
setempat, kawasan itu akan dijadikan stasiun dan pergudangan untuk kontainer.
Sri Rossyati menanggapi
dingin surat pemberitahuan penggusuran itu. Tak juga bersikap pasrah, tetapi
tak juga menyerah. Rossy, demikian sapaannya, bersama saudara kembarnya, Sri
Irianingsih, mulai dengan kembali membangun Sekolah Darurat Kartini di lokasi
lain. ”Kami kembali lagi ke kolong Tol Pluit seperti tahun 1996,” katanya.
Diakui Rossy, kolong Tol
Pluit kurang nyaman untuk belajar dibandingkan lokasi sekolah saat ini. Apalagi
ada larangan mendirikan bangunan di kolong tol sehingga tak dapat dibangun
dinding sekolah sebagai pembatas ruas belajar bagi anak-anak.
Tetap Bersemangat
Kegelisahan Rossy dan para
orangtua murid ini tak lantas menyebabkan proses belajar dan mengajar di
sekolah ini terganggu. Malah sebaliknya, para murid di sekolah ini tetap
bersemangat untuk belajar.
Rohema (10) bibirnya
berkomat-kamit, jemari tangan kirinya naik turun menghitung sesuatu. Dahinya
berkerut seraya berpikir keras, menyelesaikan lima soal perkalian bilangan
ratusan. ”Ketemu hasilnya,” ujar Rohema.
Tekad Rohema untuk belajar
begitu besar meski dia berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan.
Orangtuanya hanya berdagang kopi di pinggir Jalan Lodan Raya. Namun, anak
ketiga dari tiga bersaudara ini bertekad ingin sekolah setinggi mungkin agar
bisa jadi dokter.
Optimisme untuk belajar tak
hanya ada pada Rohema. Semangat itu juga ditemukan hampir pada setiap anak di
Sekolah Darurat Kartini.
Bahkan, dibandingkan
lingkungan tempat tinggal mereka yang berada di tengah kawasan kumuh, anak-anak
ini memiliki sikap dan pandangan hidup yang optimistis. Aji (6), yang sejak jam
pertama belajar dimulai tak juga bisa duduk diam, dengan mantap mengatakan
ingin sekolah terus biar menjadi anak pintar.
Bahkan, Winel, bocah yang
masih berusia 3 tahun, dengan tekun menyimak pelajaran berhitung yang
disampaikan Sri Irianingsih. Dengan dibantu ibunya, Ulan (26), bocah ini
menggambar benda yang digunakan sebagai soal berhitung.
Layaknya anak balita, Winel
pun tergoda untuk bermain-main sejenak dengan pensil di genggamannya. Melihat
tingkahnya, Ulan pun mengancam anak balita bertubuh montok ini, ”Mau belajar
atau mau main?” Dengan segera Winel menjawab, ”Mau belajar.” Bocah ini segera
menggunakan lagi pensilnya untuk mengerjakan soal berhitung.
Fahmi (18), yang sejak kecil
hingga saat ini bersekolah di Sekolah Darurat Kartini, mengakui tak hanya ilmu
pelajaran formal yang dia peroleh. Di sekolah itu dia juga memperoleh
pendidikan karakter dan pola pikir yang mengubah pandangan hidupnya agar tetap
optimistis untuk mengenyam pendidikan setinggi- tingginya.
Seperti saat ini, dia
berobsesi melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah lulus ujian Paket
C tahun ini. Untuk membiayai kuliah, dia mengaku telah memiliki tabungan yang
cukup dari gajinya bekerja hampir dua tahun sebagai office boy pada salah satu
apartemen di Jakarta Utara.
Diakui Fahmi, semangatnya
ini juga karena dipacu oleh beberapa seniornya di Sekolah Darurat Kartini yang
kini berhasil di dunia kerja. Menurut dia, ada beberapa seniornya yang kini
bekerja sebagai polisi di Polda Metro Jaya.
Namun, PT KAI memiliki
alasan terkait penggusuran di kawasan pergudangan di Kampung Bandan. Kepala
Humas PT KAI Daerah Operasi 1 Mateta Rijalulhaq mengatakan, saat ini perusahaan
melakukan penataan di sejumlah lokasi, termasuk di lahan yang dipakai sebagai
sekolah.
”Tanah yang digunakan
merupakan tanah perusahaan. Sekolah ini juga berada di area Stasiun Jakarta
Gudang. Ke depan, stasiun ini akan kami optimalkan sebagai sentral kereta
barang,” ujar Mateta.
Sri Irianingsih, yang biasa
disapa Ibu Rian, mengakui, pemerintah memang memiliki hak untuk mengelola lahan
negara demi kemajuan negara. Namun, pemerintah juga harus memperhatikan hak
pendidikan anak-anak miskin yang tinggal di kolong tol dan pinggir kali. Bukan
malah meminggirkan mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar