Minggu, 05 Agustus 2012

Kami Tak Menyerah meski Terus Digusur

Kami Tak Menyerah meski Terus Digusur
Madina Nusrat ; Wartawan Kompas
KOMPAS, 30 Juli 2012


Sekolah Darurat Kartini kembali akan digusur. Sekolah yang memberikan pendidikan bagi anak-anak miskin dari kolong tol, pinggir kali, dan lapak sampah di Jakarta Utara ini akan dijadikan stasiun dan pergudangan. Para orangtua murid pun menjadi resah.

Sekolah ini paling nyaman dibandingkan yang sebelumnya di kolong tol. Jauh dari keramaian. Meski agak berdebu karena dekat pergudangan,” kata Narti (38) saat mengantarkan anaknya, Salsa (6), masuk sekolah, Jumat (20/7).

Sekolah Darurat Kartini yang dikelola dua saudara kembar berusia 63 tahun, Sri Rossyati dan Sri Irianingsih, ini berada di pinggir rel kereta, sekitar kawasan pergudangan di Kampung Bandan, Pademangan, Jakarta Utara. Untuk menjangkaunya bisa melalui kolong Tol Pluit di pinggir Jalan Lodan Raya.

Sejak tahun 1996, sekolah ini setidaknya sudah empat kali digusur dan berpindah-pindah lokasi. Sebabnya tak lain karena sekolah ini selalu mendekati lokasi permukiman kumuh, yang biasanya menempati area lahan negara yang beberapa tahun sekali selalu digusur pemerintah.

Kali ini Sekolah Darurat Kartini digusur oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Sesuai surat pemberitahuan yang beredar, semua bangunan di kawasan sekitar pergudangan di Kampung Bandan, meliputi gubuk-gubuk yang dihuni warga, termasuk Sekolah Darurat Kartini, akan digusur pada 9 September mendatang. Rencananya, menurut beberapa warga setempat, kawasan itu akan dijadikan stasiun dan pergudangan untuk kontainer.

Sri Rossyati menanggapi dingin surat pemberitahuan penggusuran itu. Tak juga bersikap pasrah, tetapi tak juga menyerah. Rossy, demikian sapaannya, bersama saudara kembarnya, Sri Irianingsih, mulai dengan kembali membangun Sekolah Darurat Kartini di lokasi lain. ”Kami kembali lagi ke kolong Tol Pluit seperti tahun 1996,” katanya.

Diakui Rossy, kolong Tol Pluit kurang nyaman untuk belajar dibandingkan lokasi sekolah saat ini. Apalagi ada larangan mendirikan bangunan di kolong tol sehingga tak dapat dibangun dinding sekolah sebagai pembatas ruas belajar bagi anak-anak.

Tetap Bersemangat

Kegelisahan Rossy dan para orangtua murid ini tak lantas menyebabkan proses belajar dan mengajar di sekolah ini terganggu. Malah sebaliknya, para murid di sekolah ini tetap bersemangat untuk belajar.

Rohema (10) bibirnya berkomat-kamit, jemari tangan kirinya naik turun menghitung sesuatu. Dahinya berkerut seraya berpikir keras, menyelesaikan lima soal perkalian bilangan ratusan. ”Ketemu hasilnya,” ujar Rohema.

Tekad Rohema untuk belajar begitu besar meski dia berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Orangtuanya hanya berdagang kopi di pinggir Jalan Lodan Raya. Namun, anak ketiga dari tiga bersaudara ini bertekad ingin sekolah setinggi mungkin agar bisa jadi dokter.

Optimisme untuk belajar tak hanya ada pada Rohema. Semangat itu juga ditemukan hampir pada setiap anak di Sekolah Darurat Kartini.

Bahkan, dibandingkan lingkungan tempat tinggal mereka yang berada di tengah kawasan kumuh, anak-anak ini memiliki sikap dan pandangan hidup yang optimistis. Aji (6), yang sejak jam pertama belajar dimulai tak juga bisa duduk diam, dengan mantap mengatakan ingin sekolah terus biar menjadi anak pintar.

Bahkan, Winel, bocah yang masih berusia 3 tahun, dengan tekun menyimak pelajaran berhitung yang disampaikan Sri Irianingsih. Dengan dibantu ibunya, Ulan (26), bocah ini menggambar benda yang digunakan sebagai soal berhitung.

Layaknya anak balita, Winel pun tergoda untuk bermain-main sejenak dengan pensil di genggamannya. Melihat tingkahnya, Ulan pun mengancam anak balita bertubuh montok ini, ”Mau belajar atau mau main?” Dengan segera Winel menjawab, ”Mau belajar.” Bocah ini segera menggunakan lagi pensilnya untuk mengerjakan soal berhitung.

Fahmi (18), yang sejak kecil hingga saat ini bersekolah di Sekolah Darurat Kartini, mengakui tak hanya ilmu pelajaran formal yang dia peroleh. Di sekolah itu dia juga memperoleh pendidikan karakter dan pola pikir yang mengubah pandangan hidupnya agar tetap optimistis untuk mengenyam pendidikan setinggi- tingginya.

Seperti saat ini, dia berobsesi melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah lulus ujian Paket C tahun ini. Untuk membiayai kuliah, dia mengaku telah memiliki tabungan yang cukup dari gajinya bekerja hampir dua tahun sebagai office boy pada salah satu apartemen di Jakarta Utara.

Diakui Fahmi, semangatnya ini juga karena dipacu oleh beberapa seniornya di Sekolah Darurat Kartini yang kini berhasil di dunia kerja. Menurut dia, ada beberapa seniornya yang kini bekerja sebagai polisi di Polda Metro Jaya.

Namun, PT KAI memiliki alasan terkait penggusuran di kawasan pergudangan di Kampung Bandan. Kepala Humas PT KAI Daerah Operasi 1 Mateta Rijalulhaq mengatakan, saat ini perusahaan melakukan penataan di sejumlah lokasi, termasuk di lahan yang dipakai sebagai sekolah.

”Tanah yang digunakan merupakan tanah perusahaan. Sekolah ini juga berada di area Stasiun Jakarta Gudang. Ke depan, stasiun ini akan kami optimalkan sebagai sentral kereta barang,” ujar Mateta.

Sri Irianingsih, yang biasa disapa Ibu Rian, mengakui, pemerintah memang memiliki hak untuk mengelola lahan negara demi kemajuan negara. Namun, pemerintah juga harus memperhatikan hak pendidikan anak-anak miskin yang tinggal di kolong tol dan pinggir kali. Bukan malah meminggirkan mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar