Hak Allah dan
Sesama Hamba
|
A Mustofa Bisri ; Pengajar di
Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah
|
KOMPAS,
18 Agustus 2012
Bahkan satu bulan—di antara
12 bulan—yang dianugerahkan Tuhan, nyaris tidak kita gunakan sebagaimana
mestinya. Rutinitas kesibukan yang tidak begitu jelas tetap saja berlangsung di
bulan yang kita sebut-sebut sebagai bulan suci.
Gegap gempita kita menyambut
bulan Ramadhan. Bahkan, untuk lebih menunjukkan penghormatan kita kepada bulan
istimewa itu, kita perlukan memasang spanduk di jalan-jalan. ”Marhaban Ya
Ramadhan. Selamat Datang, Bulan Ramadhan. Hormatilah Bulan Ramadhan!” Gegap
gempita penyambutan—kemudian disusul gegap gempita lainnya—itu tak kunjung
menjelaskan secara jelas: di mana letak kesucian atau keistimewaan bulan
Ramadhan yang kita hormati itu. Jangan-jangan sebutan kita kepada Ramadhan
”yang terhormat” itu hanyalah seperti tegur sapa kita kepada para anggota DPR.
Mestinya, anugerah satu
bulan suci ini bisa digunakan untuk iktikaf, berakrab- akrab dengan diri
sendiri, setelah 11 bulan lainnya kita hampir tak sempat berdiam diri. Sibuk
dengan berbagai kegiatan yang sering kali tidak jelas kaitannya, terutama
dengan urusan kehidupan abadi kita kelak. Namun, lagi-lagi kita lebih suka
meneruskan kesibukan duniawi kita dan dari bulan Ramadhan hanya kita ambil
suasananya dengan mengubah gaya saja. Dengan kata lain, nuansa ukhrawi dalam
kegiatan dan kesibukan itu hanyalah kemasan: sekadar menyesuaikan dengan
waktunya Ramadhan.
Pihak pengusaha dan industri
yang naluri ”nawaitu”-nya bermula dari kepentingan duniawi pun, seperti pada
hari-hari dan bulan-bulan lain, tetap lebih terasa mendominasi kegiatan ukhrawi
kita. Lihatlah kekontrasan ini: harga bahan-bahan makanan naik menjelang bulan
puasa. Ramainya pasar, mal, dan supermarket pada ‘asyrul-awaakhir, hari-hari
penting ibadah Ramadhan yang terakhir. Lihatlah pula acara-acara di televisi.
Mengiklankan kehidupan mewah duniawi.
Kesibukan para politisi dan
pengamat, sebagaimana diberitakan pers, pun masih kesibukan yang itu-itu saja.
Pamer benar dan pamer pintar. Tetap tidak tergerak mempergunakan bulan
perenungan ini bagi mereformasi diri sendiri.
Kaum Muslimin sendiri pada
bulan yang sering mereka sebut sebagai bulan perenungan, beriktikaf, dan
tafakur itu ternyata lebih mengekspresikan keislaman mereka dengan kegaduhan.
Perhatian mereka terhadap diri sendiri dalam rangka perbaikan dan peningkatan
kedekatan kepada Allah masih kalah dengan perhatian terhadap pihak lain yang
mereka anggap keliru. Namun, ketika mereka sedang ’mensyiarkan’ agamanya,
mereka justru seperti tidak memperhatikan pihak lain.
Dua Hak yang Tak
Boleh Dilupakan
Kini bulan anugerah
Allah—dengan suasana yang amat kondusif untuk merenung dan memikirkan
peningkatan kualitas kehidupan kita sendiri—itu sudah beranjak pergi. Kita
sudah akan merayakan hari yang sering kita sebut Hari Kemenangan: Idul Fitri!
Hari Kemenangan? Kemenangan dari apa? Apakah kita kemarin baru saja berperang,
berlaga, atau berlomba? Melawan siapa atau apa? Apakah karena kita telah berhasil
sebulan menahan diri tidak makan-minum di siang hari? Bukankah itu telah kita
balas dengan melipatgandakan makan-minum di malam hari? Atau setidaknya itu
hanya mengubah jadwal makan kita? Atau kita telah berhasil memperlihatkan
kedekatan kita kepada-Nya? Ataukah kita telah berhasil menang atas musuh kita
yang terbesar: diri kita sendiri?
Apa pun dan bagaimanapun,
kita—khususnya kaum Muslimin—telah berhasil melaksanakan kewajiban berpuasa
pada bulan Ramadhan dan tentunya berharap Tuhan menerima amal ibadah kita dan
mengampuni dosa-dosa kita. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW telah bersabda, ”Man shaama Ramadhaana iimaanan wahtisaaban
ghufira lahu maa taqaddamaa min dzanbihi.” (Hadis sahih muttafaq ‘alaih dari sahabat Abu
Hurairah). Bahwa ”Barangsiapa berpuasa di
bulan Ramadhan semata-mata karena iman dan mencari pahala, akan diampuni
dosa-dosanya yang sudah-sudah.”
Tuhan memang Maha Pengampun
dan suka mengampuni. Lembaga pengampunannya banyak sekali. Enaklah kalau kita
berhubungan dan bergaul dengan-Nya. Di samping pemurah, pengasih, dan
penyayang, Ia juga syakuur. Menerima amal ikhlas hamba-hamba-Nya seperti apa
pun bentuknya dan mengampuni kekurang-kekurangan mereka.
Namun, ada satu hal yang
tidak boleh dilupakan: di hadapan kita ada dua hak. Hak Allah dan hak sesama
hamba. Kemurahan Allah dan kemudahan-Nya mengampuni itu bila hal itu berkaitan
dengan hak-Nya. Apabila menyangkut hak sesama hamba, keadilan-Nya menentukan
bahwa Ia tak akan mengampuni sebelum di antara sesama hamba itu menyelesaikan
urusan mereka. Artinya, apabila kita punya kesalahan kepada sesama hamba, Allah
tak akan mengampuni sebelum hamba yang bersangkutan memaafkan kesalahan kita.
Ada hadis sahih (riwayat
imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah) yang menggambarkan kebangkrutan
sementara umat Muhammad SAW kelak pada hari kiamat. Mereka yang bangkrut itu
ialah mereka yang datang pada Hari Kemudian membawa sekian banyak amalan-amalan
shalat, puasa, dan zakat; tetapi semasa hidupnya suka berbuat buruk kepada
sesama: mencaci ini, menuduh itu, memakan hartanya ini, melukai ini, memukul
itu. Nanti pahala-pahala amal mereka diambil dan diberikan kepada orang-orang
yang pernah mereka zalimi. Apabila pahala-pahala amal mereka habis, padahal
masih banyak orang yang haknya belum terpenuhi, dosa orang-orang yang
bersangkutan akan diambil dan ditimpukkan kepada mereka. Akhirnya mereka pun
dilemparkan ke neraka. Na’udzubillah!
Mentradisikan Tradisi
Kita sering berpikir
terbalik. Terhadap Allah kita begitu bersitegang menyikapi hak-hak-Nya. Soal
kiblat shalat kurang miring sedikit, ribut. Soal wudunya orang yang telanjur
bertato, ribut. Soal beda awal Ramadhan atau awal Ied, ribut. Sementara
terhadap sesama manusia yang umumnya mudah kesal dan marah, pembenci, dan sulit
memaafkan, kita malah sembrono. Anggap ringan. Begitu gampang melukai dan
menyakiti sesama. Begitu enteng merampas hak dan memakan harta sesama. Bahkan,
ada yang karena bersitegang membela ’hak-Nya’ sampai harus menginjak hak
sesama. Seolah-olah tahu persis kehendak dan sikap-Nya.
Kalaupun kita tak ekstra
hati-hati terhadap sesama manusia yang perangainya relatif sulit, setidaknya
sama hati-hatinya dengan sikap kita terhadap Tuhan kita yang Pemurah. Orang
yang saleh ialah orang yang baik kepada Tuhan-nya sekaligus baik kepada sesama
hamba-Nya.
Dari sini, kita tahu betapa
arifnya para pendahulu kita yang mentradisikan tradisi khas kita. Tradisi
halalbihalal. Saling menghalalkan antara sesama. Bagi para pemimpin dan
tokoh-tokoh publik boleh jadi agak sulit untuk memohon maaf dan meminta halal
bila kesalahan dan perampasan hak dilakukan kepada banyak pihak. Namun, demi
keselamatan di kemudian hari, kiranya sesulit apa pun perlu diupayakan. Pers
dan media massa kiranya bisa membantu. Selebihnya dan selanjutnya diperlukan
kehati-hatian.
Selamat
Idul Fitri. Mohon maaf segala kesalahan lahir dan batin. Kullu ‘aamin wa Antum
bikhair! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar