Agama dan
Instrumen Negara
|
Komaruddin Hidayat ; Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KOMPAS,
18 Agustus 2012
Kualitas keberagamaan dan
moralitas seseorang tidak bisa diraih tanpa dilandasi kesadaran dan kebebasan
dalam menentukan tindakannya. Al Quran menegaskan, tak ada paksaan dalam
beragama. Ketulusan dan keikhlasan beragama akan hilang jika dilakukan di bawah
ancaman dan paksaan.
Puasa Ramadhan yang dijalani
umat Islam terkandung pendidikan karakter yang sangat kuat agar seseorang mau
menderita dengan menolak makan dan minum serta berbagai tindakan tercela karena
setia pada hati nuraninya yang merasa dekat dan dilihat Allah.
Di situ tak ada unsur
paksaan dan berlangsung proses pembentukan pribadi jujur dan merdeka di mana
seseorang berbuat baik disertai penderitaan secara sukarela, tanpa pengawasan
dari siapa pun kecuali oleh kesadaran dirinya sendiri.
Bulan Ramadhan adalah bulan
untuk melakukan perjalanan ke dalam diri (inner journey) untuk mengenali dan
memberdayakan modal jati diri seseorang yang fitri yang senantiasa mengajak
pada kejujuran, kebaikan, dan kedamaian.
Oleh karena itu, menjadi
sangat paradoksal ketika umat Islam Indonesia yang sedemikian meriah dan
bersemangat melaksanakan ritus agama, seperti puasa, shalat, dan haji, tetapi
perilaku sosialnya jauh dari sikap jujur dan damai. Pasti terdapat kesalahan
yang fatal, mengapa terjadi kesenjangan antara ritus, pesan moral agama, dan
realitas perilaku sosialnya yang korup.
Reformulasi
Dalam jargon keagamaan,
hidup ini ibadah, semuanya tertuju hanya untuk Allah. Namun, implementasi dan
konsekuensi mengabdi kepada Allah adalah juga mencintai dan melayani manusia.
Jadi, siapa yang ingin dekat kepada Tuhan haruslah hatinya juga dekat dengan
manusia. Siapa yang ingin bersih di hadapan Tuhan haruslah bersih di hadapan
manusia.
Itulah sebabnya Al Quran
secara tegas mengkritik, orang yang rajin melakukan ritual keagamaan, tetapi
kalau tidak peduli terhadap agenda perbaikan sosial, seperti menyantuni orang
miskin dan yatim, mereka dianggap mendustakan agama. Pura-pura beragama.
Para penceramah agama selalu
mengatakan bahwa Islam harus menjadi rahmat bagi semesta. Jika disempitkan
lagi, ekspresi dan implementasi keislaman kita harus membawa rahmat bagi
masyarakat dan bangsa Indonesia. Islam harus ikut memperkuat pilar peradaban di
Nusantara.
Jadi, dengan banyaknya
masyarakat Indonesia melakukan umrah, haji, puasa, dan shalat, mestinya ada
korelasi positif dengan peningkatan etika sosial dan bernegara. Jika ini tidak
terjadi, justru korupsi marak di mana-mana, mesti ditinjau ulang formulasi
pemahaman dan praktik keberagamaan kita.
Janganlah ritual agama
diposisikan sebagai mekanisme penghapus dosa sosial mengingat dosa vertikal (sin) dan dosa horizontal (crime) masing- masing memiliki mekanisme
tersendiri dalam penyelesaiannya. Betapapun rajinnya seseorang beribadah, dia
tak akan terbebas dari utang penyelesaian kasus perdata dan pidana yang
melilitnya.
Ketika kita merayakan Idul
Fitri, salah satu pesan dasarnya adalah bagaimana memberdayakan kefitrian
seseorang untuk diaktualkan dalam perilaku sosial sehingga aktivitas ritualnya
membuahkan kontribusi positif bagi upaya membangun masyarakat dan kehidupan
bernegara yang juga fitri dan berkeadaban.
Kalau tidak, maka berlaku
sindiran Al Quran: meski lahiriahnya tampak beragama, tetapi masih
dikategorikan sebagai pendusta agama. Jadi, perlu kita kritik formula pemahaman
keagamaan yang keliru, bukan ajaran dasar agamanya, mengingat formula dan
konstruksi pemikiran agama akan memengaruhi keyakinan dan perilaku agama
seseorang.
Instrumen Negara
Mengingat agama merupakan
pedoman dan seruan moral, sulit terwujud dalam perilaku sosial kalau tidak
dibantu implementasinya oleh perangkat negara yang memiliki legalitas dan
otoritas mengatur wilayah publik.
Jadi, sebaik apa pun ajaran
agama yang berkembang di Indonesia, misalnya ajaran antikorupsi, tanpa lembaga
eksekusi pemerintah yang bertanggung jawab menciptakan pemerintahan bersih,
ajaran agama hanya berhenti pada himpunan normatif dan imbauan moral.
Maka, sungguh tidak fair
menyalahkan lembaga agama dan kalangan tokoh agama atas terjadinya berbagai
korupsi dan tindak kekerasan di Indonesia. Lembaga agama tidak memiliki
kewenangan dan keahlian untuk melakukan pemberantasan korupsi dalam ruang
publik dan negara. Paling jauh hanya imbauan, seruan, petisi, atau turut
berdemonstrasi turun ke jalan.
Agama dan negara saling
mengisi dan membutuhkan, bahkan dalam negara yang disebut sekuler sekalipun.
Agama memberikan acuan dan seruan moral-spiritual, negara memberikan
perlindungan bagi semua warganya apa pun keyakinan agamanya serta mengeksekusi
pesan-pesan moral agama.
Sekalipun masyarakat
Indonesia disebut religius, jika pemerintah, khususnya penegak hukum, lemah,
pesan moral agama untuk kebaikan publik sulit terwujud. Sebaliknya, sekalipun
masyarakatnya tidak beragama, jika pemerintahan sebuah negara tegas dan adil
dalam melaksanakan hukum, korupsi bisa ditekan serendah mungkin.
Oleh karena itu, tidak
mengherankan justru banyak negara sekuler yang lebih tertib dan rendah
korupsinya dibandingkan Indonesia.
Dengan modal kefitrian
setelah sebulan berpuasa, mari kita hentikan olok-olok bahwa Indonesia sebagai
bangsa dan masyarakat yang religius, tetapi korup dan senang kekerasan. Rasanya
ada formulasi pemahaman keagamaan yang keliru. Di sini peran pendidikan sangat
penting dan instrumen negara harus berperan secara optimal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar