ESQ Power Idul
Fitri
|
Bambang Satriya ; Guru Besar Stiekma
dan Dosen Universitas Machung
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Agustus 2012
“KEBAHAGIAAN bergantung pada
apa yang dapat Anda berikan, bukan pada apa yang dapat Anda peroleh,“ (Mohandas Gandhi).
PERNYATAAN Gandhi tersebut sebenarnya mengajari kita tentang
kehidupan bermasyarakat dan beragama. Kebahagiaan hidup bisa kita peroleh
manakala hidup yang dijalani mampu memberikan yang terbaik bagi orang lain,
bukan meminta yang terbaik dari orang lain untuk memenuhi dan memuaskan
kepentingan kita.
Saat Lebaran, tidak sedikit orang berhablun minannas pada kita atau setidaknya berelasi di mana pun kita
berada. Mereka minta dimaafkan atas segala kesalahan yang pernah diperbuat di
masa lalu, yang kemudian kita bisa memberikan pengampunan dengan hati ikhlas.
Apa yang kita berikan kepada orang lain itu tentulah sangat membahagiakannya. Pasalnya,
kita berhasil memosisikannya sebagai subjek demokratis dan humanistis.
Hati yang merelakan atau memberikan pengakuan dan pengampunan
kepada orang lain layak digolongkan sebagai ESQ
(emotional spiritual quotient) power Idul Fitri (Lebaran). Lebaran
sejatinya bukan sekadar bisa salaman atau berangkulan, melainkan juga kesediaan
menempatkan kemenangan sifat agung (berbudi) atas adigang-adigung, animalisme,
atau pola-pola hidup ketidakberadaban di masa lalu.
Ada dialog Nabi Muhammad SAW dengan sahabatnya. “Di manakah Allah itu? Di bumikah atau di
langitkah?“ Nabi menjawab, “Di dalam
kalbu (hati) hamba-Nya yang beriman.“
Sahabat Nabi bermaksud menanyakan keberadaan Tuhan (Allah SWT).
Jawaban Nabi menunjuk pada kalbu manusia yang beriman, disebut sebagai
tempat-Nya. Apa maksud dialog itu? Benarkah bahwa hati setiap orang yang
beriman merupakan tempat Tuhan? Mengapakah Tuhan memilih hati orang yang
beriman sebagai tempat-Nya?
Kebersihan Hati
Logis saja jika manusia ingin mengetahui tempat Tuhan. Itu
keinginan yang sangat layak jika di antara kita tebersit pertanyaan tentang keberadaan
Tuhan yang kita sembah. Namun ketika Nabi memberikan jawaban bahwa tempat Tuhan
ada di kalbu setiap orang yang beriman, tentulah kita perlu memahami esensi
kalbu manusia.
Kalbu sering diartikan sebagai hati. Dari hatilah, kekuatan
digital yang menggerakkan semua komponen dalam raga manusia sebenarnya
berpusat.
Itu ibarat adagium yang menyebut, “Jika
hati manusia bersih, bersihlah dunia ini. Jika hati manusia kotor, hancurlah
dunia ini. Jika hati manusia tetap suci, sucilah kehidupan seluruhnya. Jika
hati manusia rusak, rusaklah kehidupan seluruhnya.“
Kalbu menjadi tolok ukur pertaruhan hidup manusia dan bangsa. Jika
kalbu membuka ruang kecenderungan menuntut pemenuhan (diberi dan diberi), kalbu
demikian bisa ternoda oleh noktah bernama pementingan hedonisme berbasis
permisifisme.
Ketika ada seseorang berbuat zalim, keji atau biadab, salah satu
pertanyaan yang meluncur di antara kita ialah masih punya hatikah dia, mengapa
dia sampai berbuat begitu kejam layaknya binatang? Ketika di negeri ini banyak
pemimpin berlaku dehumanis, itu menandakan hati mereka belum sampai ke tahap
fitri.
Kalbu ibarat sebuah mesin canggih, yang serbadigital dan mampu
menggerakkan anatomi tubuh manusia. Dari pergerakan anatomi tubuh manusia,
bergeraklah unsurunsur, akar, ruas-ruas, dan ranting-ranting kehidupan.
Pergerakan tersebut akan menjadi objek bacaan yang bisa diselaraskan dengan kondisi
kalbu. Ketika pergerakan hidup manusia sarat dengan nilai-nilai kebajikan,
mesin digitalnya sedang bekerja secara normal, bersih dari kotoran.
Sifat Tuhan
Ketika cahaya spiritualitas atau kekuatan iman membingkai hati
manusia, logislah jika Tuhan menjadikan ia sebagai tempat sejati-Nya. Cahaya
keimanan ialah cahaya pembersih dan penguat diri manusia sehingga dalam
kebersihan, kesucian, atau kefitriannya, manusia mampu menyuguhkan pikiran, sikap,
dan perilaku yang berkolaborasi dengan sifat-sifat Tuhan, yang di antaranya
menghendaki kesucian, kebersihan, kebaikan, dan keadilan.
Jika sifat-sifat demikian itu berlabuh subur di tengah masyarakat,
tentulah kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan hidup bukan menjadi barang
mahal lagi. Pilar-pilar negara tidak akan sampai terseret mengeroposkan
konstruksi rakyat dan negeri ketika di dalam diri mereka ada ESQ power. Sinergi kekuatan spiritualitas
dan emosional (ESQ power) mampu
menjadikan mereka sebagai fondasi penting negara yang tidak gampang digoyahkan
kekuatan manapun. Allah S W T berfirman, “Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di
situlah wajah Allah. Sesungguh nya Allah Mahaluas (rahmatNya) lagi Maha
Mengetahui,“ (QS Al-Baqarah: 115).
Dalam buku berjudul ESQ
Power (2006), yang mengutip ayat tersebut, kita diajak memahami bagaimana
hidup berselancar (surfing) yang
benar di samudra kehidupan yang penuh gelombang. Bagaimana kita mampu
senantiasa hidup daring dengan
pusat-pusat kehidupan hakiki, berkomunikasi secara mudah, dan langsung dengan
Sang Pencipta.
Bagaimana kita senantiasa hidup inline dengan garis orbit kehidupan yang sesungguhnya, berkarya
positif dalam kehidupan nyata, dan memahami konsekuensi logis apabila kita offline atau tidak berpusat pada kiblat
yang benar dan tidak beredar di lintasan garis orbit dalam kehidupan ini.
Kalbu dapat ditafsirkan sebagai pusat orbit, tempat Tuhan
menyertai manusia yang beriman. Tuhan hanya menjatuhkan opsi pada manusia yang
beriman, sosok yang menyatukan pikiran, keyakinan, dan perbuatannya hanya
kepada-Nya. Ia (kalbu) tidak akan ditempati Tuhan ketika manusia membiarkan
kalbu dilumuri atau `dinajisi'
berbagai bentuk penyakit yang membuat cahaya spiritualitas tidak berpijar.
Imam KH (2007) mengatakan sangatlah berbahaya bagi kehidupan
manusia ketika cahaya ilahiah tidak lagi berpijar atau kalbunya sedang
diselimuti kabut gelap. Apa yang diucapkan dijadikan sebagai sikap dan
dibentuknya sebagai gerakan. Akhirnya, itu hanya melahirkan atau menghadirkan
suasana gulita, orde kegelapan, atau zaman kebingungan. Orde pencerahan yang
diharapkan bisa hadir akhirnya menjauh dan menghilang.
Kepentingan Duniawi
Itu berarti manusia yang beriman punya tugas besar untuk menjaga
mesin digital yang dimilikinya. Kekuatan mesin digital itu akan menentukan
konstruksi hubungan vertikal dan horizontalnya. Kesalahan yang diperbuat dalam
bentuk mengabaikan mesin digital bekerja sendirian secara liar akan berakibat
fatal bagi kelangsungan atau keberlanjutan hidup manusia dan peradabannya.
Manusia beriman merupakan deskripsi dari sosok pelaku sosial yang
bisa mendesain dirinya dalam ranah keharmonisan relasi hati dan perilaku. Hati
(kalbu) bisa diberi tempat mengarahkan dan mencondongkan perilakunya ke jalur fitri
kebenaran, objektivitas, dan kebertuhanan, tetapi bisa pula menggiringnya
menjauhi kefitrian ketika tak lagi ditempatkan sebagai ESQ power.
Dirinya pun tak gampang terpikat dan terjerat oleh tawaran
pemujaan kepentingan duniawi dan ‘ideologi pembangunan’ yang bermaksud
menjerumuskannya ke dalam praktik penghancuran hak publik dan pemberhalaan gaya
hidup serta kepentingan dan kepuasan instan, manakala hatinya lebih sering
diasah dengan kerelaan memberi daripada menuntut (memaksa) untuk selalu diberi
(upeti).
Kekuatan hati yang menghidupkan roh keilahiahan menjadi sumber
daya sosial yang tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya dari hatilah berbagai
dinamika kehidupan bermasyarakat dibentuk, dikonstruksi, dan disejarahkannya.
Semakin kuat kecenderungan hati fitri dalam membentuk diri manusia, semakin
besar pula peluang dalam mencerahkan masyarakat dan peradabannya.
Jika hati bisa menempatkan ESQ
power Idul Fitri, akan banyak kita saksikan gerakan cerdas dan progresif di
tengah masyarakat. Gerakan itu diikuti manusia yang suka memburu kemenangan
karena memberi banyak kepada masyarakat, bukan meminta apalagi sampai menjarah
lebih banyak dari masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar