Berkuasanya
Nurani Elektrik
|
Yongky Gigih P ; Alumnus Fakultas Sastra
Universitas Jember
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Agustus 2012
“Ketulusan dan keikhlasan dari kata minal aidin wal faidzin lebih baik
kita artikan sebagai silaturahim langsung. Sebisa mungkin dan sesempat mungkin,
kita memilih untuk bertatap muka dan berjabat tangan."
`Selamat Idul Fitri... Mohon maaf lahir dan batin (Kirim ke
banyak) (Send to many)'
FENOMENA semacam itu terjadi setiap tahun. Tidak ada yang salah
dengan kata-kata tersebut. Itu bahkan menjadi hal yang sakral dan perlu
diucapkan pada saat Idul Fitri.
Bulan suci Ramadan dan Idul Fitri merupakan
kesempatan untuk memperdalam spiritualitas kepada Tuhan Yang Maha Esa. Intinya,
hal itu sangat berhubungan erat dengan hati nurani. Pengampunan dosa, mencari
pahala, dan rida Allah menjadi esensi dari sebuah peningkatan spiritualitas
manusia. Puncak kebersihan hati adalah Idul Fitri.
Saling memaafkan sesama umat manusia dilakukan secara masif pada
hari raya tersebut. Meskipun saling memaafkan bisa dilakukan setiap hari, kita
membutuhkan sebuah momen atau hari yang sakral untuk saling memaafkan
bersama-sama. Sebuah eksistensi dan pengakuan keimanan bisa terlihat di sini. Orang
berpuasa, beramal, dan mendirikan salat semakin lengkap jika mereka ikut andil
dalam pergelaran Idul Fitri dan saling memaafkan.
Di zaman yang modern ini, teknologi menjadi media untuk
mengutarakan ekspresi dan isi hati. Teknologi memang diciptakan untuk mempermudah
manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Esensinya ialah mendekatkan yang jauh.
Namun di sisi lain, ini yang kerap terjadi, menjauhkan yang dekat.
Salah satu contohnya ialah ucapan selamat Idul Fitri dan mohon
maaf lahir batin melalui layanan pesan singkat (SMS). Tanpa mengucapkan nama
yang dituju, SMS berantai pun dikirim. Itu lebih simpel, praktis, cepat, dan
instan tanpa perlu kita datang ke orang yang dituju untuk saling memaafkan.
Akan tetapi, apakah saling memaafkan sudah menemum kan hikmahnya,
yaitu ketulusan dan keikhlasan? Esensi ketulusan untuk meminta maaf dan
keikhlasan untuk memaafkan semakin buram terlihat. Kita semakin tidak bisa
melihat ketulusan dan keikhlasan dari momen tersebut. Tetangga dekat seakan
terasa jauh, teman dekat seakan terasa di ujung dunia jika kita cenderung
memilih SMS ketimbang berkunjung ke rumah teman lama atau tetangga.
Manusia versus Robot
Hal yang menarik lagi, hati kita sebenarnya telah dielektrikkan.
Kita menjadi manusia yang berhati mesin. Beda kita dengan robot ialah kita
masih punya akal dan nafsu, sedangkan robot hanya melakukan sesuatu berdasarkan
perintah atau program yang membuatnya statis. Tingkat sisi kemanusiaan manusia
ternyata tidak berbanding lurus dengan kemajuan teknologi. Semakin canggih teknologi
yang tercipta, semakin menurun esensi natural kemanusiaan.
Coba kita lihat kembali ke belakang ketika manusia melihat
matahari sebagai suatu kekuatan yang indah (Helios), bulan sebagai seorang dewi
(Selene), betapa indahnya pemandang an itu. Namun ketika manusia sudah mulai
merumuskan segala sesuatu, keindahan itu semakin luntur. Matahari dipandang
sebagai bola api panas yang mengeluarkan sinar ultraviolet (UV) yang berbahaya
bagi mata. Sinar UV juga mulai dikelompokkan menjadi UV A, B, dan C dengan tingkat
radiasi tertentu. Jarak matahari ke bumi pun bisa dirumuskan, yaitu 3 x 10^8
(m/s) x 498 (s) = 149,4 x 10^9 meter atau 149,4 miliar meter.
Jadi, seiring dengan meningkatnya tingkat rasio manusia, teknologi semakin
maju, esensi keindahan dan perasaan menjadi terpinggirkan.
Sebuah keikhlasan dan ketulusan tidak bisa diukur dengan membaca
atau mengirim sebuah SMS ucapan Hari Raya Idul Fitri. Sebuah pertemuan langsung
mempunyai kesan yang berbeda daripada menerima sebuah pesan.
Kesungguh an untuk saling memaafkan bisa dilihat dari kerelaan kita untuk
menyempatkan waktu berkunjung ke rumah saudara, tetangga, atau teman. Kontak
rohani terjalin dengan baik dan semakin merekatkan suatu hubungan.
Ketika memilih media elektronik untuk menggantikan silaturahim langsung,
kita secara sadar memberi kuasa kepada benda tersebut menggantikan posisi kita.
Yang menjadi permasalahan ialah ketika media tersebut merampas pemikiran dan
hati nurani kita. Inisiatif, keterampilan, dan keahlian dalam berhubungan
dengan sesama manusia tereduksi dengan sebuah pesan singkat.
Inisiatif dalam bersilaturahim langsung tereduksi dengan mengirim
SMS. Keterampilan kita dalam berkomunikasi dengan teman ataupun saudara tak
pernah bisa tergantikan hanya dengan berbicara melalui SMS. Keahlian dalam
berbicara dengan orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, dan teman sebaya
terkikis perlahan-lahan.
Kita secara sengaja dan sadar memberikan peran hakikat kemanusiaan
itu kepada produk teknologi tersebut. Efeknya, manusia juga semakin malas dan lebih
memilih sesuatu yang instan. Padahal, usaha yang berkelanjutan lebih baik dan
berharga daripada sesuatu yang instan.
Bergantinya Peran
Otomatisasi terhadap peran manusia telah mengurangi sisi-sisi
natural manusia itu sendiri. Misalnya saja sisi ingatan. Ketika kita mengeset
pengingat di telepon seluler tentang hari ulang tahun ayah, ibu, teman atau
sahabat, pengingat tersebut akan berdering secara otomatis pada pukul 00.01. Bahkan
produk teknologi itu bisa langsung mengirim pesan `selamat ulang tahun' kepada
orang yang dituju.
Kita cukup hanya tidur tanpa perlu berusaha mengingat apa-apa dan
pagi-pagi sudah mendapatkan ucapan terima kasih dari orang yang dituju dan
menjadi orang pertama yang mengucapkan `selamat
ulang tahun'. Sebenarnya yang ingat akan hari spesial itu kita atau telepon
pintar? Peran manusia dan sisi-sisi natural menjadi hilang jika kita melihat
kasus tersebut. Sampai kapan pun pemikiran manusia yang dinamis tidak dapat
digantikan dengan alat teknologi yang statis, kecuali jika mereka sengaja
menyerahkannya.
Fenomena tersebut juga terjadi saat mengucapkan `selamat Hari Raya Idul Fitri' melalui
SMS berantai. Kita mempunyai sisi kemanusiaan yang natural, yaitu hati nurani. Marilah
kita beranjak kembali ke sisi natural kita. Menelaah pemikiran Max Weber
tentang pesona dunia, marilah kita memandang sebuah esensi kemanusiaan secara
natural dan spiritual. Ketulusan dan keikhlasan dari kata minal aidin wal faidzin lebih baik kita artikan sebagai silaturahim
langsung. Sebisa mungkin dan sesempat mungkin, kita memilih untuk bertatap muka
dan berjabat tangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar