Urgensi
Pemasaran Politik
Ummi
Salamah ; Kandidat Doktor, Pengajar Program Pascasarjana
Komunikasi FISIP UI KOMPAS, 30 Juni 2012
Biaya politik tinggi ternyata banyak
kasusnya. Termasuk di antaranya rencana salah satu partai politik baru memodali
calon legislatifnya Rp 5 miliar-Rp 10 miliar per orang dan bagaimana partai
politik menjadikan kadernya sebagai mesin uang.
Jelaslah bahwa partai politik ataupun
kandidatnya membutuhkan biaya relatif besar, terutama menjelang pemilihan.
Taktik klasik yang marak pada pemilu dan pilkada era pemilihan langsung adalah
membanjiri daerah pemilihan dengan spanduk dan memasang iklan di media massa
yang semua memakan biaya.
Ketergantungan partai politik dan kandidat
pada pola pembiayaan tinggi untuk mendapatkan pemilih menunjukkan belum
memadainya strategi untuk membangun konstituen.
Seperti diketahui, produk politik yang
meliputi partai politik, kandidat, program, dan kebijakan merupakan produk yang
abstrak dan tidak kasatmata. Produk ini juga padat dengan nilai-nilai dan janji
yang baru dirasakan manfaatnya jangka panjang. Dalam dikotomi barang dan jasa,
produk politik lebih menyerupai jasa sehingga pengemasannya menjadi sangat
berbeda dengan barang seperti sabun.
Langkah partai politik dan kandidat juga
menunjukkan kegagapan dalam beradaptasi dengan perubahan. Kondisi politik
Indonesia yang sudah sangat terbuka ditambah dengan kondisi partai-partai yang
secara ideologis kebijakan hampir mirip menuntut organisasi partai politik
untuk berubah dan meredefinisi hubungan dengan sumber daya utamanya, yaitu
kandidat dan anggota partai.
Pemasaran
Politik
Jawaban dari permasalahan di atas sebenarnya
adalah pemasaran politik, yaitu transfer konsep-konsep dari dunia pemasaran
oleh organisasi politik demi mencapai tujuan, yaitu memenangi pemilihan.
Dalam praktiknya, pemasaran produk politik
berbeda dengan produk komersial karena selain memenuhi kebutuhan konsumen,
produk politik juga harus memberikan visi yang mengarahkan pemilih.
Keberhasilan dari pemasaran politik dicatat
Lees-Marshment (2001) setelah mengamati perkembangan Partai Buruh Inggris.
Tahun 1983, partai ini lebih berorientasi pada produk dan empat tahun kemudian
kepada penjualan. Kedua praktik politik ini belum berorientasi kepada pemilih
yang mampu menentukan kemenangan atau kekalahan parpol atau kandidat.
Setelah mengubah praktiknya menjadi pemasaran
politik, tahun 1997 Partai Buruh memenangi pemilihan dan mengantarkan Tony
Blair menjadi perdana menteri Inggris.
Orientasi kepada produk menjadikan pemilih
sebagai target propaganda dari partai politik. Penekanan pada ideologi
mendorong partai politik memanfaatkan setiap kesempatan sebagai sarana
indoktrinasi pemilih. Sementara orientasi kepada penjualan menjadikan media
sebagai sentral dalam kampanye.
Pada tahap penjualan, riset dan segmentasi dilakukan
untuk membangun pesan yang mengikat konten iklan. Namun, tahapan ini masih
bersifat satu arah karena tidak diiringi upaya serius untuk menguji kembali
kesesuaian strategi.
Pemasaran politik lebih berorientasi pada
pasar atau pemilih. Proses yang dijalani juga lebih panjang dan rumit karena
mewajibkan setiap tahap diuji ulang agar sesuai kebutuhan pasar. Riset
digunakan tidak hanya untuk mengetahui gejala di permukaan, tetapi juga masuk
lebih dalam pada kebutuhan, motif, dan konstruksi lain yang mampu memberikan
insight lebih kaya terkait perilaku pemilih. Hasilnya adalah masukan untuk
menyusun program dan kebijakan serta positioning produk politik sehingga
strategi yang disusun lebih komprehensif untuk menyasar target yang beragam.
Perilaku partai politik dan kandidat di
kancah politik Indonesia saat ini adalah keduanya masih terpaku pada tahap
orientasi kepada penjualan. Polling kini memang menjadi menu wajib bagi parpol
dan kandidat yang akan mengikuti pemilihan, tetapi aplikasinya masih terbatas untuk
memeriksa faktor terkait tahapan kampanye, yaitu popularitas, favorabilitas,
dan elektabilitas produk.
Saat ini belum ada produk politik di
Indonesia yang secara sadar membangun karakteristik sesuai harapan pasar. Hal
ini terlihat dari pesan-pesan para politisi dalam pemilu atau pilkada yang
cenderung seragam.
Membangun
Konstituen
Kesadaran membangun, memelihara, apalagi
memperluas konstituen relatif masih terbatas jika orientasi penjualan masih
menjadi moda dominan. Untuk itu, perlu perubahan mendasar.
Kegiatan yang semula lebih banyak dilakukan
di bagian depan (front office) harus ditarik ke bagian belakang (back office).
Artinya, partai politik dan kandidat harus meracik pola kampanye yang dapat
menjawab kebutuhan bukan hanya pemilih, melainkan juga target pasar yang lebih
luas, mulai dari anggota dan ormas yang berafiliasi dengan partai politik,
penyumbang dana, media massa, dan pembentuk opini publik.
Di sinilah pengembangan sumber daya manusia
menjadi penting dalam organisasi partai politik. Caranya dengan menempatkan
orang-orang yang terampil sebagai pengurus ataupun kandidat. Kerja politik,
termasuk riset, dapat dilakukan secara internal untuk mengurangi biaya.
Output
dari riset mendalam adalah strategi dan taktik yang tepat dan mampu menjawab
persoalan. Dengan demikian, sumber daya dapat dihemat selain mengurangi bahaya
moral (moral hazard)
dari politik biaya tinggi yang selama ini ditakutkan.
Demokrasi akan berkualitas jika para politisi
memiliki keterampilan menjalankannya. Demokrasi tanpa keterampilan politik
hanya melahirkan anarki. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar