Merumahkan
(Kembali) Pancasila
Trisno
S Sutanto ; Koordinator Penelitian Biro
Litkom PGI
KOMPAS, 30 Juni 2012
Mungkin ironis, kalau bukan tragis, bahwa
Pancasila hanya dilirik saat bulan Juni tiba, lalu dilupakan kembali.
Apalagi hampir semua praktik kekuasaan, dari
presiden sampai kepala daerah, justru menafikan butir-butir yang terkandung di
dalamnya. Terlalu panjang jika mau disebut satu per satu bagaimana setiap butir
Pancasila diingkari. Dan praktik pengingkaran ini, kalau dibiarkan
terus-menerus, sudah menggerus alasan dasar mengapa Indonesia, sebagai entitas
negara-bangsa, didirikan dan patut dipertahankan.
Pancasila tak lain adalah seni mengelola
kemajemukan. Jika butir-butirnya dinafikan, bahkan sengaja diingkari, jelas
Indonesia sebagai negara-bangsa ”tempat kemajemukan suku, budaya, bahasa,
agama, keyakinan, dan adat tumbuh subur” sudah tak punya alasan untuk berdiri.
Ada contoh bagus untuk itu. Beberapa waktu
lalu saya menghadiri peluncuran buku karya Pastor Neles Tebay dan diskusi
”Jalan Damai Papua”. Seorang peserta mengajukan pertanyaan yang mengentak
nurani. Kata anak muda dari Papua itu, sampai sekarang ia tidak tahu apa alasan
Papua harus jadi bagian dari Indonesia, dan apakah memang benar bahwa Papua
merupakan bagian utuh dari Indonesia.
Pengalaman seumur hidupnya mengajarkan: Papua
tak pernah mendapat untung apa-apa, malah terus-menerus jadi ladang pembantaian
dan eksploitasi besar-besaran sumber daya alam.
Saya kira, ketika mengajukan pertanyaan itu,
pemuda dari Papua sedang mempersoalkan seluruh konstruk tentang keindonesiaan
kita dan membuat frase ”Persatuan Indonesia” dalam Pancasila problematis. Apa
landasan persatuan kalau seluruh pengalaman empiris justru menafikannya?
Seperti sebuah keluarga, untuk apa terus mempertahankan keutuhan apabila
pengalaman memperlihatkan persatuan justru menyengsarakan? Bukankah jalan
perceraian pilihan yang lebih masuk akal?
Rumah
Bersama
Sengaja saya membahasakan ulang pertanyaan
itu dengan merujuk pada keluarga sebab Pancasila sering disebut sebagai ”rumah
bersama” tempat tiap kelompok, apa pun latar suku, agama, adat, kepercayaan,
warna kulitnya dapat menemukan tempat dan betah tinggal di situ.
Namun, dalam sejarah negeri ini banyak
penghuni rumah itu merasa makin tersingkir, bahkan selalu ditempatkan di luar
rumah bersama itu, menjadi orang yang (di)asing(kan). Kita dapat menemukan gema
pertanyaan pemuda Papua itu pada banyak kelompok: Ahmadiyah, Syiah, para
penghayat tradisi dan kepercayaan lokal, kelompok etnis dan agama minoritas,
sampai kelompok yang (di)marjinal(kan) lainnya, seperti LGBTQ. Rumah bersama
itu kian tak mampu mengayomi mereka.
Soalnya memang mendasar. Seperti sebuah
keluarga, yang diikat lebih oleh rasa saling percaya dan saling menerima, dan
bukan sekadar ikatan darah, begitu juga suatu bangsa sebagai ”komunitas
terbayangkan”. Orang, komunitas, atau kelompok menjadi bagian utuh dari suatu
bangsa karena dalam pengalaman riil mereka merasa diterima, diberi tempat,
diperlakukan setara, dan ikut dilibatkan mengurus kepentingan bersama, dan ini
pada gilirannya, semakin memperkukuh serat-serat pengikat suatu bangsa.
Saya kira, serat-serat ini yang sekarang
sedang tercerai-berai setelah 14 tahun reformasi berjalan. Ruang-ruang politik
yang terbuka makin lebar pascalengser Soeharto Mei 1998 membuat
kelompok-kelompok dengan berbagai ideologi dan kepentingan bebas tampil ke
permukaan. Dan dalam demokrasi elektoral, ketika jumlah suara (satu-satunya)
tolok ukur, maka berlaku diktum klasik bahwa the winner takes all. Di situ
kelompok (di)marjinal (kan) lalu dianggap tak ada, suara mereka tak perlu
didengar, eksis- tensinya bisa dimusnahkan.
Menurut saya, persis di situlah tantangan
paling serius terhadap Pancasila sebagai seni dan cara mengelola kemajemukan:
bagaimana menjadikannya fungsional, bukan sekadar lampiran pidato pejabat yang
hanya ditengok saban Juni tiba. Itulah agenda strategi kebudayaan kita ke
depan.
Kecambah
”Civic Pluralism”
Ada sisi lain yang perlu diteroka karena
mungkin dapat menjadi titik tolak bagi agenda strategi kebudayaan itu. Di
tengah masifnya penyingkiran kelompok- kelompok yang (di)marjinal(kan) dan
pengabaian negara, justru muncul suara dan gerakan tandingan dari civil society
yang merebut kembali makna Pancasila.
Memang benar, suara dan gerakan ini masih
sporadis, malah cenderung terfragmentasi. Namun, saya kira gejala ini memberi
secercah harapan karena di situ Pancasila tak diperlakukan sebagai ideologi
yang hanya dilirik saban Juni tiba, tapi selaku diskursus tandingan terhadap
arus penyeragaman. Dan ini bertitik pangkal dalam perjumpaan konkret
lintas-batas, baik agama, keyakinan, etnis, sampai orientasi seks. Pada tiap
titik perjumpaan itu serat-serat yang makin tercerai-berai kembali dirajut.
Kali ini: tanpa tangan kuat negara!
Bagi saya inilah kecambah baru civic pluralism
yang lebih kasih harapan ketimbang pidato para politisi. Bentuk dan situs
pertarungannya bisa beragam, dari aksi Little Monsters yang kecewa Lady Gaga
gagal tampil sampai kelompok lintas agama pembela hak-hak beribadah GKI Yasmin,
HKBP Filadelfia, Jamaah Ahmadiyah, Syiah. Kampanye kultural BedaIsMe yang
diadakan merayakan kemajemukan sekaligus Hari Pancasila adalah contoh par
excellence perebutan makna itu.
Perjumpaan konkret lintas batas itu
menyediakan laboratorium tempat kemajemukan diterima-dihargai-dirayakan.
Pancasila menjadi kerangka bersama. Kali ini bukan sebagai ideologi dominan
paksaan rezim otoriter seperti Orba, tapi hasil eksperi- mentasi merumahkannya
lagi, menjadikannya betul-betul rumah bagi setiap orang. Semoga saya tidak
sedang bermimpi! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar