Ukuran
Kemiskinan dan Masalah Sosial di Jakarta
Teguh
Dartanto ; Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi
dan Masyarakat,
Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia
KORAN TEMPO, 06 Juli 2012
Genderang kampanye pemilihan Gubernur DKI
Jakarta sudah ditabuh. Lima pasang calon gubernur-wakil gubernur berlomba
memoles diri menarik simpati warga Jakarta dengan berbagai cara, dari berjualan
citra, menebar janji-janji surga, hingga menawarkan berbagai program kebijakan
untuk memperbaiki Kota Jakarta. Semua pasang calon gubernur-wakil gubernur
mengangkat isu yang hampir sama, berbagai isu usang yang tak pernah kunjung
padam, seperti kemacetan, banjir, dan permasalahan sosial di Jakarta.
Dari
berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh Jakarta, isu kemiskinan masih
menjadi bahan jualan yang cukup menarik bagi para calon gubernur dan wakil
gubernur.
Marilah kita semua melihat isu kemiskinan di
Jakarta, bukan hanya kemiskinan absolut seperti yang dikeluarkan oleh Badan
Pusat Statistik tapi juga ukuran kemiskinan lainnya.
Data statistik menunjukkan
angka kemiskinan di Jakarta menurun dari 7,35 persen (2005), 4,61 persen
(2007), menjadi 3,75 persen (2011). Angka kemiskinan ini dihitung dengan
menggunakan ukuran kemiskinan mutlak di mana seorang dinyatakan miskin jika
pengeluarannya kurang dari Rp 355.480 per bulan per kapita pada 2011. Sebuah
batas yang sangat rendah untuk hidup layak di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta
boleh berbangga dan mengklaim bahwa Jakarta memiliki tingkat kemiskinan
terendah di Indonesia. Tetapi jika dibandingkan dengan keberhasilan daerah lain
dalam menurunkan angka kemiskinan, DKI Jakarta sangat tertinggal karena dalam 4
tahun (2007-2011) hanya mampu menurunkan kemiskinan sebesar 0,86 persen atau
0,21 persen per tahun.
Di sisi lain, kebanggaan dan klaim
keberhasilan menurunkan angka kemiskinan hanyalah semu belaka, karena dengan
tingkat pendapatan per kapita sekitar Rp 33,35 juta per kapita per tahun
(2005), ukuran kemiskinan mutlak seharusnya sudah ditinggalkan dan digantikan
oleh ukuran kemiskinan yang bersifat relatif maupun subyektif. Sen (1983) mengemukakan
bahwa negara (daerah) yang sudah mencapai kemakmuran tertentu sudah seharusnya
fokus pada isu kemiskinan relatif. Ukuran kemiskinan absolut/mutlak cocok untuk
diterapkan di provinsi seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua atau
daerah yang level pembangunannya masih rendah, bukan daerah seperti Jakarta.
Apa itu kemiskinan relatif? Kemiskinan
relatif adalah kemiskinan yang dihitung dengan membandingkan pendapatan
seseorang dengan rata-rata pendapatan seluruh masyarakat di suatu wilayah.
Seorang dikatakan miskin jika pendapatannya kurang dari 0,5 dari rata-rata
pendapatan seluruh masyarakat. Berdasarkan perhitungan penulis dengan
menggunakan data Susenas 2005, angka kemiskinan relatif di DKI Jakarta adalah
sebesar 41,31 persen, sebuah angka kemiskinan relatif terbesar di Indonesia.
Terlihat jelas dengan menggeser ukuran kemiskinan dari ukuran mutlak menjadi
ukuran relatif, angka kemiskinan DKI Jakarta melonjak dari 7,37 persen menjadi
41,31 persen. Ukuran kemiskinan relatif dapat dijadikan salah satu indikator
ketimpangan pendapatan dalam masyarakat dan juga indikator hidup layak seperti
warga lain di lingkungan sekelilingnya.
Isu kemiskinan relatif ini sangat penting
karena berkaitan langsung dengan isu masyarakat inklusif (inclusive society)
dan isu kerentanan sosial. Dua isu ini sangat penting bagi wilayah yang
memiliki keragaman etnis, sosial, budaya, dan ekonomi seperti DKI Jakarta.
Seorang yang miskin secara relatif akan tersingkir (teralienasi) dari pergaulan
dalam masyarakat, sehingga akan menimbulkan kecemburuan sosial dan pada
akhirnya mendorong kerentanan dan kerusuhan sosial. Sebagai contohnya, seorang
yang berpenghasilan Rp 2 juta per bulan dan tinggal di wilayah yang rata-rata
memiliki penghasilan Rp 5 juta per bulan, maka orang tersebut akan merasa lebih
miskin dan tersingkir dari pergaulan dengan lingkungan sekitar karena tidak
memiliki kecukupan finansial. Kondisi ini mampu menciptakan ruang bagi
seseorang yang tersisih dari lingkungan pergaulan, karena permasalahan finansial
mengambil jalan pintas yang bertentangan dengan norma hukum, seperti pencurian,
korupsi, dan penggelapan.
Perhitungan penulis menunjukkan bahwa tingkat
kemiskinan relatif berkaitan erat dengan tingkat kriminalitas di suatu daerah.
Satu persen kenaikan angka kemiskinan relatif akan meningkatkan risiko
kriminalitas sebesar 11 per 100 ribu penduduk. Data kepolisian tahun 2009
menunjukkan angka risiko kriminalitas di Jakarta adalah dua kali lebih besar
daripada rata-rata risiko kriminalitas di Indonesia. Kombinasi kemacetan, stres
warga ibu kota, ketimpangan sosial, dan kriminalitas merupakan racikan dahsyat
bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu di Jakarta.
Tantangan
Siapa pun yang akan terpilih menjadi Gubernur
DKI Jakarta pada Pilkada 2012 akan menghadapi kompleksitas permasalahan
perkotaan, seperti kemacetan, banjir, isu lingkungan, serta isu sosial, seperti
400 ribu warga Jakarta yang berada di bawah garis kemiskinan dan setengah dari
warga miskin tersebut berada dalam status rawan pangan.
Di lain pihak,
permasalahan kemiskinan relatif yang sangat masif akan mudah menyulut
kecemburuan dan friksi sosial di antara warga masyarakat. Kombinasi kerawanan
pangan, kemiskinan dan kecemburuan sosial, serta tingginya risiko kriminalitas
di Jakarta pada akhirnya akan mengurangi keamanan, kenyamanan, dan keindahan
Jakarta sebagai ibu kota dan wajah Indonesia di mata dunia. Jakarta akan bangga
dengan gubernur yang bersahaja, mampu bekerja keras tanpa banyak citra dan kata
mewujudkan Jakarta aman, nyaman dan ramah buat semua. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar