Perdagangan
dan Ketidakseimbangan Global
A Prasetyantoko ; Ekonom; Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik Atma Jaya,
Jakarta
KOMPAS,
16 Juli 2012
Minggu lalu, kita kedatangan
banyak tamu penting. Mulai dari Presiden Ceko Vaclav Klaus, Direktur Pelaksana
Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde, Kanselir Jerman Angela
Merkel, dan jangan lupa pejabat tinggi Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawati.
Kedatangannya tidak sekadar bersilaturahim sebagai mantan menteri, tetapi juga
sebagai petinggi Bank Dunia.
Di tengah perekonomian
global yang terus bergejolak, posisi Indonesia semakin penting dan
diperhitungkan. Tentu saja agenda kedatangan para petinggi negara dan pejabat
organisasi multilateral tersebut beragam, tetapi mereka menyatakan komentar
yang lebih kurang sama: perekonomian Indonesia cukup kuat dan prospektif. Lalu,
apa implikasinya? Indonesia adalah pasar yang menggiurkan bagi siapa pun,
terutama negara-negara maju. Kita pun mengakui fakta tersebut. Kita selalu
menyebut perekonomian Indonesia selamat karena permintaan domestik yang kuat.
Ini ditandai oleh jumlah penduduk besar (sekitar 240 juta jiwa), kelas menengah
yang terus tumbuh (sekitar 134 juta jiwa), dan stabilitas makroekonomi. Daya beli
terus meningkat, pertumbuhan pasar tetap terjadi. Bahkan, dibandingkan dengan
China dan India sekalipun, prospek ekonomi kita masih lebih baik karena tingkat
kontraksinya relatif rendah.
Dalam konteks global,
sekarang ini sedang terjadi gejala meningkatnya ”ketidakseimbangan global” (global imbalances). Kesenjangan muncul
karena negara maju terlalu banyak mengonsumsi, dengan dibiayai penerbitan surat
utang, sementara negara berkembang terlalu banyak berproduksi dan menabung.
Krisis 2007/2008 merupakan bagian dari koreksi terhadap ketidakseimbangan
tersebut sehingga menuntut proses penyesuaian menuju keseimbangan baru.
Ketidakseimbangan akut telah
memunculkan persoalan krusial di negara maju: meningkatnya utang publik hingga
rata-rata melebihi 100 persen dari produk domestik bruto (PDB) serta defisit
fiskal yang umumnya mencapai lebih dari 10 persen. Padahal, untuk kasus
negara-negara di zona euro, salah satu prasyarat agar mata uang mereka stabil
adalah disiplin fiskal: utang tidak boleh melebihi 60 persen dan defisit
maksimal 3 persen terhadap PDB.
Sekarang ini, salah satu
solusi untuk mempertahankan perekonomian negara maju adalah mendorong ekspor
untuk meningkatkan devisa. Dengan begitu, mereka bisa menutup utang publik dan
defisit anggaran. Sekarang ini, mereka tengah melakukan politik dagang tingkat
tinggi (high profile trade policy)
untuk mendorong peningkatan ekspor. Karena itu pula, negara-negara maju sangat
sensitif dengan isu proteksionisme di negara berkembang.
Itulah mengapa kebijakan
perdagangan dan investasi kita mendapat sorotan cukup tajam. Misalnya, terkait
dengan penerapan bea keluar sebesar 20 persen untuk 65 komoditas tambang di
luar batubara. Juga pembatasan pintu masuk impor hortikultura yang membuat
Amerika Serikat (AS) mengancam akan mengadukan Indonesia ke Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO).
Fakta lain mengenai potensi
defisit neraca perdagangan dan bahkan neraca transaksi berjalan juga cukup
merisaukan. Dua bulan berturut-turut neraca perdagangan kita mengalami defisit:
pada April sebesar 641,1 juta dollar AS dan Mei 485,9 juta dollar AS. Sejak
krisis global terjadi, kita mengalami tiga kali defisit dagang, April 2008,
Juli 2008, dan Juli 2010. Tahun ini, untuk pertama kalinya, kita mengalami
defisit dua bulan berturut-turut.
Meski diyakini pada
bulan-bulan mendatang neraca perdagangan akan membaik, hal itu tetap saja
merisaukan. Jika negara maju semakin lama pulih, ketidakseimbangan global akan
semakin dalam. Dampaknya, permintaan terhadap produk ekspor dari negara
berkembang akan menurun, sementara desakan untuk menerima produk-produk mereka
akan semakin kuat. Secara alamiah, kebijakan protektif juga akan meningkat.
Dulu ketika terjadi resesi
1929, banyak negara juga cenderung protektif guna melindungi produksi dan pasar
domestik mereka sendiri. Diyakini sikap protektif bersifat prosiklus:
memperparah dan membuat krisis jadi lebih panjang. Oleh karena itu, dalam
pertemuan G-20 yang lalu, Direktur Jenderal WTO Pascal Lamy cukup keras
memperingatkan agar semua pihak menghindari kebijakan protektif.
Perdagangan dunia akan
mengalami kontraksi cukup tajam dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Jika pada 2010 pertumbuhan perdagangan dunia mencapai 13,8 persen dan tahun
2011 tumbuh 5 persen, pada 2012 perdagangan global diprediksi hanya akan tumbuh
3,7 persen. Sangat mungkin realisasinya akan lebih rendah lagi mengingat
penurunan pertumbuhan ekonomi global juga lebih cepat daripada yang
diperkirakan.
Pada triwulan I-2012, China
tadinya diharapkan bisa tumbuh di atas 8 persen, tetapi realisasinya hanya 7,6
persen. Itu pun masih ada keraguan apakah data tersebut valid. Kemungkinan
pertumbuhan riilnya lebih rendah lagi. Perekonomian India juga melambat
sehingga permintaan ekspor dari negara berkembang, termasuk Indonesia, juga
berkurang drastis.
Gejala tersebut sudah
tecermin dalam neraca perdagangan kita. Ekspor nonminyak dan gas bumi
(nonmigas) Indonesia ke China pada Mei berkurang senilai (-193,1) juta dollar
AS dibandingkan dengan April. Penurunan ekspor ke India pada periode yang sama
lebih tajam lagi, yaitu (-298,4) juta dollar AS. Kontribusi ekspor ke China
sepanjang Januari-Mei tahun ini lebih kurang 13 persen dan ke India sekitar 8
persen. Sementara rapor minus juga terjadi pada ekspor Indonesia ke Jerman,
Singapura, dan Malaysia.
Menghadapi situasi global
yang rumit, dipastikan ekspor juga semakin sulit. Sementara laju impor
diprediksi akan semakin deras, baik dalam bentuk barang jadi maupun bahan baku
dan penolong. Peningkatan impor bahan baku merupakan indikasi paling baik
peningkatan investasi domestik. Dengan demikian, skenario optimistisnya dalam 12-24
bulan ke depan ekspor nonmigas akan terdorong naik dengan peningkatan aktivitas
industri domestik.
Meskipun begitu, jangan lupa
pula bahwa selain kelesuan, perdagangan global juga dibayang-bayangi menguatnya
ketidakseimbangan global. Dengan demikian, kecenderungan menempatkan negara
berkembang sebagai pasar produk negara maju sulit dihindari. Proses itu
sebenarnya juga diperlukan dalam tarap tertentu dalam rangka menciptakan
keseimbangan baru yang lebih berkelanjutan. Namun, jangan sampai kita terlalu pasif
menjadi korban dari konstelasi global. Maka, agenda kita, bagaimana menyiasati
prinsip-prinsip non-tariff measures yang diatur WTO
dalam rangka melakukan proteksi produksi serta konsumen domestik. Agenda lain,
membenahi masalah klise: koordinasi dan komunikasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar