Menimbang
Calon Presiden
Salahuddin Wahid ; Pengasuh
Pesantren Tebuireng Jombang
KOMPAS,
16 Juli 2012
Menarik menyimak langkah
Partai Golkar yang sigap dan sudah mendeklarasikan Aburizal Bakrie sebagai
calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2014, dua tahun sebelum pilpres itu
sendiri berlangsung.
Pada 2004, Wiranto dan
Salahuddin Wahid mendeklarasikan diri tak sampai dua bulan sebelum pilpres
berlangsung. Deklarasi Jusuf Kalla dan Wiranto (2009) juga demikian. Hal lain
yang membedakan, deklarasi saat ini hanya menampilkan capres, sedangkan
deklarasi 2004 dan 2009 sudah menampilkan dua nama: capres dan cawapres.
Cawapres Partai Golkar 2014 akan dipilih dari sejumlah nama, yaitu Sultan
Hamengku Buwono X, Jenderal Pramono Edhie, Ibas, Mahfud MD, Khofifah. Deklarasi
saat ini juga lebih semarak dibandingkan 2004 dan 2009.
Tentu wajar kalau timbul
pertanyaan mengapa deklarasi capres Partai Golkar itu harus dilakukan
tergesa-gesa, seperti ada sesuatu yang dikejar, padahal pilpres masih dua tahun
lagi. Apa sesuatu yang dikejar itu? Jawaban yang masuk akal ialah memberi waktu
yang amat panjang bagi sang capres untuk memperkenalkan diri ke seluruh pelosok
Indonesia. Jawaban yang tersembunyi (mungkin): supaya posisi capres kokoh dan
tidak mungkin diganti tokoh lain.
Belajar dari Pilpres
AS
Pemilihan presiden secara
langsung di Indonesia baru pada 2004 dan 2009. Keduanya tak banyak memberi
informasi dan pelajaran. Pilpres di AS yang sudah diadakan puluhan kali adalah
sumber informasi dan sumber inspirasi yang tak pernah kering. Tak ada salahnya
belajar dan mengacu pada pilpres AS, tetapi tentu diperlukan kejelian,
ketelitian, dan kecerdasan dalam mengambil pelajaran.
Salah satu yang sudah kita
tiru ialah membuat survei untuk mengetahui kecenderungan pilihan masyarakat.
Pada 2004, penggunaan survei yang mengacu kepada metode Gallup itu belum sebanyak sekarang. Ada dugaan (semoga tidak benar)
bahwa survei yang dilakukan di sini telah dicemari oleh intervensi yang
dikhawatirkan akan merusak kredibilitas survei yang diselenggarakan secara
benar dan betul-betul tidak memihak.
Hal lain yang juga sudah
ditiru ialah penggunaan berbagai atribut serta iklan dan juga kegiatan yang
diharapkan dapat mendongkrak popularitas dan tingkat keterpilihan sang calon,
seperti debat calon.
Namun, kita lupa mempelajari
bagaimana mengumpulkan dana dari masyarakat untuk mendukung calon yang
betul-betul baik tetapi tak punya cukup uang untuk membiayai kampanye. Selain
itu, bagaimana mendidik dan membiasakan pemilih untuk tak memilih calon berdasarkan
pemberian uang kepada pemilih.
Tokoh atau Partai?
Dalam sejarah Indonesia,
pemimpinlah yang lebih menonjol daripada partai, kecuali pada era demokrasi
liberal. Pada era itu, yang menonjol adalah ketua dan tokoh partai, seperti Ali
Sastroamidjojo, Muhammad Natsir, dan Burhanuddin Harahap. Tanpa partai,
tokoh-tokoh itu tidak punya pengaruh besar. Pak Harto bukan ketua partai tetapi
menguasai Golkar. Gus Dur lebih besar daripada PKB. PDI Perjuangan tanpa
Megawati akan mengalami kemerosotan. Jelas bahwa Partai Demokrat jadi partai
yang terbanyak pemilihnya karena nama besar Susilo Bambang Yudhoyono. Prabowo
Subianto juga lebih besar daripada Partai Gerindra dan Wiranto lebih besar
daripada Hanura.
Partai politik di Indonesia
saat ini yang betul-betul mengandalkan nama besar dan organisasi partai ialah
Partai Golkar dan PKS. Secara kebetulan atau secara otomatis (?), selama ini
kedua partai itu tidak punya tokoh yang layak jual untuk pemilihan presiden.
Menyadari kenyataan itu—atau karena ingin mewujudkan proses pemilihan capres
yang mampu menghasilkan calon yang memenuhi syarat dan memperoleh dukungan
rakyat—Akbar Tandjung menyelenggarakan konvensi untuk memilih capres Partai
Golkar pada 2004. Dalam putaran kedua, Wiranto mengalahkan Akbar Tandjung
sehingga terpilih sebagai capres Partai Golkar.
Konvensi itu tak sama dengan
konvensi capres yang diadakan di AS. Konvensi capres di AS bersifat terbuka dan
melibatkan masyarakat, sedangkan konvensi Partai Golkar bersifat tertutup,
hanya melibatkan pengurus partai. Kita tentu masih ingat ucapan Cak Nur yang
mengikuti konvensi tersebut bahwa konvensi Partai Golkar itu lebih mengutamakan
”gizi” (uang) daripada visi dan misi.
Pada 2009, Partai Golkar
tidak menyelenggarakan konvensi. Jusuf Kalla masih berharap jadi pasangan SBY
yang diyakini oleh banyak pihak akan terpilih lagi. Karena SBY cenderung tidak
memilih JK sebagai pasangan, maka JK maju sebagai capres. Saat itu juga ada
pihak di dalam Partai Golkar yang mengusulkan konvensi. Namun tidak tersedia
cukup waktu untuk menyelenggarakan konvensi, setelah kuat isyarat dari SBY
bahwa JK tidak akan dipilih menjadi cawapres.
Peluang Aburizal
Partai Golkar adalah partai
yang paling banyak pengalaman dibandingkan partai lain. Tradisi dan budaya
organisasinya cukup kuat. Setelah berhasil mengatasi situasi kritis di bawah
kepemimpinan Akbar Tandjung pasca-Orde Baru tumbang, Partai Golkar secara
perlahan mengokohkan diri sebagai salah satu partai terkuat.
Adapun yang dibutuhkan
Golkar ialah ketua umum yang punya uang sangat banyak, jaringan luas, dan
motivasi kuat. Kita masih ingat, pada Munas Partai Golkar 2010 terjadi
pertarungan antara Surya Paloh dan Aburizal Bakrie (Ical). Sebagai ketua umum
Golkar, wajar kalau Ical ingin menjadi capres dari partainya. Malah tidak wajar
kalau Ical tidak punya ambisi itu. Sejak terpilih jadi Ketua Umum Partai
Golkar, Ical melakukan kunjungan ke sejumlah daerah untuk bisa bertemu dengan
sebanyak mungkin warga masyarakat.
Gambarnya terpampang di
seluruh pelosok Indonesia. Semua survei memberi harapan bahwa Golkar akan
mengungguli partai- partai lain. Satu-dua survei memberi hasil bahwa tingkat
keterpilihan Ical juga membaik sehingga Rapimnas Partai Gokar tak ragu
mendeklarasikan Ical sebagai capres. Terlihat jelas bahwa banyak pihak di luar
dan di dalam Golkar merasa belum sreg dengan deklarasi itu. Akan lebih baik
apabila deklarasi itu dilakukan pada 2013.
Kalau berhasil memperoleh
cawapres yang bisa mendongkrak perolehan suara, walaupun amat sulit, bukan tak mungkin
Ical bisa menang. Sungguh ini prestasi luar biasa bagi tim yang menyusun
strategi pemenangan dan juga tim yang mengeksekusi strategi tersebut. Kondisi
yang memberi keuntungan kepada Ical ialah bahwa tak adanya tokoh potensial di
dalam dua partai yang diduga bisa mengajukan capres, sedangkan tokoh-tokoh yang
potensial, seperti Prabowo, JK, Mahfud MD, dan Dahlan Iskan, belum tentu akan
ada partai yang mencalonkan.
Kondisi yang ideal ialah
kalau sejumlah partai menengah mau bekerja sama untuk mencari tokoh yang layak
jual dan punya kemampuan dan karakter kuat, lalu dicalonkan bersama oleh
partai-partai tersebut. Namun, kita tahu bahwa menggalang kerja sama itu
sungguh tidak mudah. Diperlukan kelompok di luar partai yang mengambil prakarsa
dan mendorong kerja sama partai menengah itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar