Leopard:
Menembak Kebebasan Akademik
Saiful
Haq ; Wakil Sekjen
DPP Partai NasDem,
Alumnus Studi Pertahanan ITB dan Cranfield University UK
SINDO, 24 Juli 2012
“You
go to war with the army you have…not thear my you might want.” (Donald
Rumsfeld, 2003)
Kutipan di atas bisa diurai dalam dua makna. Pertama, secara
harfiah kutipan itu jelas mengingatkan kita, tidak akan ada suatu negara yang
bisa memenuhi secara total ambisi untuk memiliki persenjataan yang ideal.Tidak
akan pernah ada anggaran yang cukup untuk memuaskan hasrat memiliki kapabilitas
pertahanan yang modern dan superpower. Kedua,kutipan itu mengajarkan kita bahwa
negara Rumsfeld, Amerika Serikat,yang disebut adikuasa itu, pun tak semata
mengandalkan teknologi pertahanan dan mesin perangnya, tapi juga bagaimana
mengelola kekuatan yang ada dengan baik,terukur,dan rasional.
Setelah tumbang sebagai macan Asia akibat krisis,pascareformasi Indonesia mencoba kembali bangkit membenahi dan melakukan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista). Namun, persoalan anggaran seringkali menjadi hambatan besar.Kebutuhan modernisasi persenjataan dihadapkan pada kebutuhan pembangunan sosial ekonomi yang tak kalah pentingnya. Suka tidak suka, pemerintah melirik berbagai mekanisme pembelian senjata yang tak jarang tidak transparan terhadap publik.
Berbagai mekanisme ditempuh: imbal dagang (counter trade) termasuk model offset di alamnya, model pengadaan foreign military finance-foreign military sales (FMF-FMS),juga ada model kredit ekspor (KE). Model offset dan FMF menuai kritik tajam karena seringkali sarat nuansa politik. Kredit ekspor juga digugat banyak pihak karena menambahkan beban tak terlihat dalam utang luar negeri Indonesia. Pemerintah lalu terjebak ke dalam pembelian senjata tanpa perencanaan yang matang.
Masih segar dalam ingatan kita, kritik publik terhadap rencana pembelian Panser VAB bekas, produksi Renault Truck Prancis pada 2006. DPR merasa tidak dilibatkan dalam keputusan pembelian tersebut. Sementara pemerintah saat itu beranggapan, pembelian dilakukan berdasarkan kesepakatan G to G.Pembelian tetap dilakukan tanpa proses tender. Hal yang sepertinya ingin diulangi dalam proses pembelian tank Leopard.
Mata Rantai Akuisisi
Masyarakat tentu tidak menolak penguatan dan modernisasi senjata.Namun di tengah anggaran yang terbatas tentu “kengototan”Kementerian Pertahanan untuk membeli tank Leopard patut dipertanyakan, bahkan dikritisi. Persoalannya kemudian, bukanlah soal harga, spesifikasi, dan model senjata seperti apa yang akan dibeli. Tapi,bagaimana pemerintah memutuskan kebutuhan atas tank Leopard tersebut, termasuk di dalamnya soal kebutuhan pertahanan nasional.
Di tengah ketiadaan perang, teknologi, dan industri pertahanan, sepertinya pembelian 100 unit tank Leopard mengundang pertanyaan besar. Pembelian senjata atau alat perang (defense procurement) hanyalah bagian kecil dari proses besar yang disebut akuisisi sistem pertahanan (defense acquisition). Akuisisi bisa diartikan sebagai suatu daur atau lingkaran mekanisme proses kegiatan yang diawali dengan perencanaan dan penentuan kebutuhan,pengelolaan dalam proses pengadaan kebutuhan (membeli atau membuat),serta pilihan-pilihan lainnya.
Akuisisi sangat memperhitungkan kebutuhan nasional, keterbatasan anggaran, faktor pendukung, dan desain besar sistem pertahanan nasional. DalamkasuspembelianLeopard, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan tidak memiliki desain akuisisi sistem pertahanan. Akibatnya, yang mengemuka adalah persoalan pengadaan senjata yang tidak terintegrasi dalam desain besar akuisisi sistem pertahanan.
Kebebasan Akademik
Hal di atas yang jelas dikritik oleh masyarakat sipil termasuk Al Araf, seorang dosen Universitas Pertahanan yang kemudian diberhentikan sementara oleh pihak universitas karena melakukan kritik mendasar atas rencana pembelian Leopard tersebut. Jadi selain tidak mencoba mencari jalan keluar terhadap model pembiayaan alutsista. Pemerintah dalam hal ini bahkan “mengharamkan” perdebatan akademik di seputar persoalan itu. Tentu hal ini mengundang pertanyaan besar.
Bagaimana sebuah lembaga pendidikan (meskipun di bawah Kemhan) bisa melakukan tindakan sepihak hanya karena seorang staf pengajarnya melakukan kritik terhadap pembelian Sukhoi dan Leopard. Seluruh biaya pembelian, cash atau utang, tentulah menggunakan dana publik, sangat wajar jika kemudian timbul pertanyaan atau kritik. Apalagi kritik yang bersifat akademik.
Persoalan terjadi jika pengadaan tank Leopard menjadi begitu tergesa-gesa di masa damai, dan lebih aneh lagi pihak Universitas Pertahanan begitu responsif hingga mengambil kebijakan yang jelas-jelas melanggar kebebasan akademik. Tank Leopard belum tiba di Indonesia, tapi tembakannya telah memakan korban. ●
Setelah tumbang sebagai macan Asia akibat krisis,pascareformasi Indonesia mencoba kembali bangkit membenahi dan melakukan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista). Namun, persoalan anggaran seringkali menjadi hambatan besar.Kebutuhan modernisasi persenjataan dihadapkan pada kebutuhan pembangunan sosial ekonomi yang tak kalah pentingnya. Suka tidak suka, pemerintah melirik berbagai mekanisme pembelian senjata yang tak jarang tidak transparan terhadap publik.
Berbagai mekanisme ditempuh: imbal dagang (counter trade) termasuk model offset di alamnya, model pengadaan foreign military finance-foreign military sales (FMF-FMS),juga ada model kredit ekspor (KE). Model offset dan FMF menuai kritik tajam karena seringkali sarat nuansa politik. Kredit ekspor juga digugat banyak pihak karena menambahkan beban tak terlihat dalam utang luar negeri Indonesia. Pemerintah lalu terjebak ke dalam pembelian senjata tanpa perencanaan yang matang.
Masih segar dalam ingatan kita, kritik publik terhadap rencana pembelian Panser VAB bekas, produksi Renault Truck Prancis pada 2006. DPR merasa tidak dilibatkan dalam keputusan pembelian tersebut. Sementara pemerintah saat itu beranggapan, pembelian dilakukan berdasarkan kesepakatan G to G.Pembelian tetap dilakukan tanpa proses tender. Hal yang sepertinya ingin diulangi dalam proses pembelian tank Leopard.
Mata Rantai Akuisisi
Masyarakat tentu tidak menolak penguatan dan modernisasi senjata.Namun di tengah anggaran yang terbatas tentu “kengototan”Kementerian Pertahanan untuk membeli tank Leopard patut dipertanyakan, bahkan dikritisi. Persoalannya kemudian, bukanlah soal harga, spesifikasi, dan model senjata seperti apa yang akan dibeli. Tapi,bagaimana pemerintah memutuskan kebutuhan atas tank Leopard tersebut, termasuk di dalamnya soal kebutuhan pertahanan nasional.
Di tengah ketiadaan perang, teknologi, dan industri pertahanan, sepertinya pembelian 100 unit tank Leopard mengundang pertanyaan besar. Pembelian senjata atau alat perang (defense procurement) hanyalah bagian kecil dari proses besar yang disebut akuisisi sistem pertahanan (defense acquisition). Akuisisi bisa diartikan sebagai suatu daur atau lingkaran mekanisme proses kegiatan yang diawali dengan perencanaan dan penentuan kebutuhan,pengelolaan dalam proses pengadaan kebutuhan (membeli atau membuat),serta pilihan-pilihan lainnya.
Akuisisi sangat memperhitungkan kebutuhan nasional, keterbatasan anggaran, faktor pendukung, dan desain besar sistem pertahanan nasional. DalamkasuspembelianLeopard, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan tidak memiliki desain akuisisi sistem pertahanan. Akibatnya, yang mengemuka adalah persoalan pengadaan senjata yang tidak terintegrasi dalam desain besar akuisisi sistem pertahanan.
Kebebasan Akademik
Hal di atas yang jelas dikritik oleh masyarakat sipil termasuk Al Araf, seorang dosen Universitas Pertahanan yang kemudian diberhentikan sementara oleh pihak universitas karena melakukan kritik mendasar atas rencana pembelian Leopard tersebut. Jadi selain tidak mencoba mencari jalan keluar terhadap model pembiayaan alutsista. Pemerintah dalam hal ini bahkan “mengharamkan” perdebatan akademik di seputar persoalan itu. Tentu hal ini mengundang pertanyaan besar.
Bagaimana sebuah lembaga pendidikan (meskipun di bawah Kemhan) bisa melakukan tindakan sepihak hanya karena seorang staf pengajarnya melakukan kritik terhadap pembelian Sukhoi dan Leopard. Seluruh biaya pembelian, cash atau utang, tentulah menggunakan dana publik, sangat wajar jika kemudian timbul pertanyaan atau kritik. Apalagi kritik yang bersifat akademik.
Persoalan terjadi jika pengadaan tank Leopard menjadi begitu tergesa-gesa di masa damai, dan lebih aneh lagi pihak Universitas Pertahanan begitu responsif hingga mengambil kebijakan yang jelas-jelas melanggar kebebasan akademik. Tank Leopard belum tiba di Indonesia, tapi tembakannya telah memakan korban. ●
mungkin pemerintah Indonesia lupa kalo rakyat Indonesia rindu atas kesejahteraan bukan pertahanan negara walaupun disisi lain mmg kita tetap membutuhkan pertahanan nasional, Intinya utamakan rakyat tapi jangan lupa dgn pertahanan nasional
BalasHapus