Wakaf
Berpotensi Sejahterakan Umat
Mustafa Edwin Nasution ; Wakil
Ketua Badan Wakaf Indonesia
Sumber
: REPUBLIKA, 24 Juni 2012
Meski
diyakini potensial dalam memperbaiki sistem perekonomian, wakaf belum dipahami
secara maksimal di Indonesia, terutama seputar pengelolaannya. Demikian
dikatakan Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia, Mustafa Edwin Nasution PhD, dalam
perbincangan dengan wartawan Republika, Devi A Oktavika, di kampus FE
Universitas Indonesia, Depok, beberapa hari berselang. Pada kesempatan itu,
Mustafa membagi pandangannya tentang tahap pengenalan wakaf di Indonesia yang
masih memerlukan kerja keras, juga harapannya pada masa depan wakaf yang
menjanjikan. “Harta wakaf akan terus
berkembang dan akan semakin menyejahterakan umat manusia. Rahmatan li
al-`alamin,'' ujarnya.
Berikut
petikan lengkap wawancara dengan kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEUI
itu.
Apa sesungguhnya pengertian wakaf?
Sebelumnya
perlu kita tekankan dulu bahwa dalam Islam, segala sesuatu yang ada di alam
semesta adalah milik Allah SWT. Lillaahi
maa fi assamaawaati wa al-ardli, kepunyaan Allahlah segala apa yang ada di
langit dan di bumi (QS al-Baqarah: 284). Termasuk harta dan kekayaan kita, itu
sesungguhnya milik Allah yang dititipkan kepada kita. Disadari atau tidak, itulah
prinsip Islam tentang kepemilikan.
Karena
itu segala sesuatu, termasuk yang kita klaim sebagai harta milik kita, harus
dikelola dengan baik, dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah. Sedekah
dan zakat adalah contoh lain ketentuan Allah tentang kepemilikan tersebut, yang
selanjutnya berdampak pada perekonomian.
Nah,
istilah wakaf berasal dari kata (bahasa Arab) waqfun dengan asal kata waqafa
yang berarti `menahan'. Jadi, wakaf berarti menahan atau mengembalikan kepada
Allah harta yang dititipkan-Nya kepada manusia.
Tujuannya tentu agar dari harta tersebut diperoleh manfaat untuk kepentingan
manusia lainnya. Rahmatan lil'alamin.
Dengan
demikian, manusia yang mewakafkan sebagian hartanya, maka ia sekaligus
memisahkan dirinya dari harta itu. Dan ia, sebaliknya, mendekatkan diri pada
amal jariyah, satu dari tiga perkara yang tidak akan pernah putus mengalirkan
pahala selama harta yang diwakafkannya itu bermanfaat dan menyejahterakan umat.
Wakaf itu ketentuan Allah yang
seperti apa?
Ketentuan
itu, tentang anjuran menafkahkan sebagian harta yang kita cintai, ada dalam
surah Ali `Imran ayat 92, al-Hajj ayat
77, juga alBaqarah ayat 261 dan 267. Praktik wakaf sendiri sudah ada
sejak zaman kekhalifahan Islam. Wakaf uang, misalnya, telah dikenal sejak zaman
Utsmaniyah dan Mesir. Bahkan, dalam berbagai literatur dinyatakan, wakaf uang
sudah ada sejak awal abad kedua Hijriah.
Sebagai
perwujudan dari ketentuan tersebut, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi
dalam praktik wakaf, yakni waqif atau
orang yang berwakaf, mauquf bihi
(benda yang diwakafkan), mauquf `alaihi
(sasaran wakaf), shighat (ikrar atau
akad wakaf), dan nadzir (pengelola
wakaf).
Apa yang membedakan wakaf dari
sedekah?
Wakaf
tidak sekadar menyumbangkan sebagian harta. Sedekah adalah memberikan sebagian
harta, tanpa harus mengikuti syarat tertentu. Perbedaan terbesarnya terletak
pada kebermanfaatannya. Manfaat sedekah lebih bersifat jangka pendek, sedangkan
wakaf memberikan manfaat sepanjang hayat, bahkan hingga kiamat.
Perbedaan
lain yang tidak kalah penting adalah fleksibilitas wakaf. Tidak seperti zakat
yang telah jelas tata cara dan ketentuannya, wakaf sangat terbuka dengan
inovasi. Inovasi tersebut, misalnya, mengenai pengembangan upaya pengelolaan
harta wakaf, agar dapat diperoleh kebermanfaatan yang lebih besar dan luas.
Sayangnya,
banyak yang belum mengerti dan menyamakan wakaf dan sedekah. Seperti
pemandangan yang dapat dijumpai di sebagian masjid Indonesia saat ini, pengurus
meletakkan dua kotak berbeda; satu bertuliskan “sedekah'' dan satu lagi
bertuliskan “wakaf“. Meski dimasukkan ke dalam kotak wakaf, uang yang kita
sumbangkan tidak bisa disebut wakaf, karena tidak memenuhi semua rukunnya.
Selain pemahaman masyarakat yang
rendah, hal apa yang perlu diperhatikan mengenai praktik wakaf di Indonesia?
Yang
utama adalah soal pengelolaan mauquf bihi-nya.
Berdasarkan data Kemenag RI, potensi wakaf yang terdata di Indonesia cukup
besar, dengan jumlah tanah wakaf mencapai 403.845 lokasi. Dari jumlah tersebut,
luas tanah wakaf Indonesia lebih dari 1,5 miliar meter persegi, dengan total
aset bernilai Rp 590 triliun.
Sayangnya,
pengelolaan tanah wakaf selama ini masih tergolong kurang produktif. Selama
ini, misalnya, tanah wakaf sering kali hanya diman faatkan sebagai mushala,
masjid, atau lahan pemakaman. Padahal, wakaf dapat memberikan manfaat yang jauh
lebih besar dan produktif dari itu.
Misalnya dengan membangun sekolah, universitas, rumah sakit, peternakan, minimarket, business center, dan
perumahan.
Salah
satu contoh pengelolaan wakaf yang produktif adalah Universitas Al-Azhar yang
ada di Kairo. Sebagian asrama dan gedung perkuliahan di sana dibangun di atas
tanah yang diwakafkan ratusan tahun lalu. Dan, shighat atau akad wakafnya masih ada hingga saat ini.
Contoh
di atas tidak harus diartikan bahwa pendirian masjid atau pemakaman di atas
tanah wakaf tidak dibenarkan. Itu sah-sah saja. Hanya saja, penekanannya di
sini adalah, alangkah baiknya jika wakaf tersebut memberikan manfaat yang luas
dan berkepanjangan.
Ia
juga tidak untuk dimaknai sebagai prioritas tanah atau harta tidak bergerak di
atas harta bergerak seperti uang tunai (sebagai benda yang diwakafkan). Uang
pun dapat diwakafkan, namun tentu bukan dengan cara memasukkannya ke kotak
penghimpunan dana yang ada di masjid. Yang terpenting, sekali lagi, adalah
memenuhi rukunnya, sehingga jelas peruntukan dan pengelolaan uang tersebut.
Contoh dari wakaf uang dan
pengelolaannya?
Di
Amerika Serikat, wakaf dikelola melalui The
Kuwait Awkaf Public Foundation (KAPF). Oleh lembaga tersebut, dana wakaf
dikonversi ke dalam bentuk investasi produktif, seperti pembangunan apartemen
yang keuntungannya didistribusikan untuk kemaslahatan umat.
Di
Malaysia, beberapa Majelis Agama Islam Selangor telah mulai memperkenalkan skim
saham wakaf. Bahkan, Johor Corporation Berhad (JCorp) melalui
tiga anak perusahaannya telah mewakafkan sahamnya dengan total nilai aset
berjumlah 200 juta ringgit Malaysia di bawah pengelolaan Waqf An Nur Corporation Berhad. Dividen yang diperoleh dari saham
itu selanjutnya digunakan dan diinvestasikan kembali, serta diberikan kepada
majelis-majelis agama Islam dan untuk kegiatan-kegiatan amal di Malaysia.
Melihat perkembangan pengelolaan
wakaf di Indonesia, apakah sudah cukup menggembirakan?
Sudah
mulai menggembirakan, jadi baru tahap-tahap awal. Mengapa?
Karena pengelolaan wakaf produktif baru akhir-akhir ini tersosialisasikan.
Kalau didasarkan pada terbitnya regulasi tentang wakaf, maka tahap itu baru dimulai 2004 lalu.
Karena pengelolaan wakaf produktif baru akhir-akhir ini tersosialisasikan.
Kalau didasarkan pada terbitnya regulasi tentang wakaf, maka tahap itu baru dimulai 2004 lalu.
Namun
bagaimanapun, perlahan masyarakat mulai sadar bahwa ternyata pengelolaan benda
wakaf tidak sebatas pada pembangunan masjid atau lahan pemakaman. Beberapa
contoh upaya nadzir yang sukses
memproduktifkan tanah wakaf adalah dengan membuat peternakan kambing, minimarket, ruko yang kemudian
disewakan, dan SPBU. Itu adalah indikasi positif, harus kita perkuat dengan
sosialisasi yang berkelanjutan dan sinergis.
Bagaimana jika pada tahap
pengelolaan terjadi penyimpangan atau penyelewengan oleh nadzir?
Jelas
ada sanksi bagi mereka. Dan, hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41
tentang Wakaf. Penyelewengan harta wakaf biasanya terjadi ketika
teridentifikasi adanya mismanagement,
atau ketika nadzir menjual atau
mewariskan benda wakaf yang dikelolanya.
Penjualan
atau pewarisan harta wakaf umumnya terjadi setelah waqif dan nadzir meninggal.
Namun, UU Wakaf yang ada tidak memudahkan penyelewengan semacam itu karena nadzir perorangan yang disyaratkan
minimal berjumlah tiga orang. Kan kecil kemungkinan ketiganya meninggal
bersamaan.
Selain
perorangan, nadzir juga bisa berupa badan hukum atau organisasi. Jika harus
diganti, penggantian harus dengan sepengetahuan lembaga berwenang seperti BWI.
Untuk itulah, segala hal tentang wakaf, mulai akad hingga prosesnya harus
dilaporkan.
Bagaimana BWI menggalakkan
sosialisasi wakaf ini?
Untuk
itu saat ini Badan Wakaf Indonesia (BWI) sibuk mendirikan perwakilan BWI di
daerah. Beberapa yang sudah berdiri adalah BWI Jawa Timur, Kalimantan Timur,
Sumatra Utara, Sumatra Barat, Kepulauan Riau, juga Kabupaten Batam dan Panjang.
Sedangkan yang masih dalam proses adalah yang ada di Jawa Barat dan Sumatra
Selatan.
Selain
itu, kami juga menyosialisasikan wakaf melalui berbagai media seperti televisi,
radio, juga event seperti seminar, yang sifatnya belum bersifat masif.
Keberadaan BWI di tingkat daerah nantinya dimaksudkan untuk memaksimalkan
sosialisasi tersebut.
Apa harapan Anda bagi dunia
perwakafan Indonesia ke depan?
Saya
sangat berharap suatu saat wakaf akan menjadi tulang punggung kesejahteraan
umat. Bayangkan saja, sebagai benda atau harta yang harus dipertahankan dan
tidak boleh dijual, wakaf akan terus berkembang. Dengan kuantitas benda wakaf
dan kualitas pengelolaan yang terus berkembang, wakaf memiliki potensi yang
sangat besar untuk itu (menyejahterakan manusia).
Hal itu sekaligus menegaskan pentingnya
meninggalkan praktik ekonomi kapitalis yang fokus pada profit. Tidak seperti
ekonomi syariah yang mengindikasikan keberkahan, ekonomi kapitalis mengindikasikan
kerakusan, keserakahan. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berkeadilan, dan
wakaf adalah salah satu alat untuk menjalankannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar