Kekerasan
Geger Riyanto ; Alumnus
Sosiologi Universitas Indonesia
Sumber
: KORAN TEMPO, 24 Juni 2012
Di masa Orde Baru, orang-orang menanti
tibanya hari seperti yang kita jalani setiap hari sekarang ini. Tak ada sosok
tunggal yang mana kekayaan di seluruh Indonesia dengan gampang terjatuh ke
bawahnya, dan warga hanya dapat menonton dengan pasrah dari balik penjagaan
tentara. Tak ada sesosok Paman Gober yang mana uang ibarat dicetak hanya untuk
mengalir kepadanya.
Dan, benar, inilah eranya. Kemakmuran tidak
lagi digenggam bulat-bulat oleh satu sosok. Namun sekarang, siapa yang tidak
punya kawan yang tak pernah menghela napas sambil merindukan ketenangan hidup
di masa sebelumnya? Saat melangkah ke era ini, kita dengan polos mendambakan
keadilan dan gagal melihat bahwa kekerasan juga turut akan terbagi-bagi dengan
"adil" ke tengah-tengah masyarakat. Tahu-tahu saja kekerasan menjadi
bahasa baru yang menyergap kita. Menengadah ke atas, kita hanya akan menemukan
negara yang membatu di hadapan kekerasan kekuatan-kekuatan masyarakat terhadap
warga. Dan yang tersisa tinggal apa yang ada di belakang kita.
Masa lalu yang sudah kita lampaui itu terasa
sangat tenteram. "Lebih enak hidup
di zamanku, toh?" kata potret Soeharto tersenyum dalam gambar rekaan
yang menyebar dari telepon seluler ke telepon seluler. Ya, di masa itu, apa-apa
harus berurusan dengan aparat. Aparat, aparat, dan aparat begitu keluhan
terbanyak pada masa itu. Dan pada hari-hari tergelap era ini, mayat-mayat para
preman bergelimangan di jalan. Mereka diubah menjadi seonggok daging tak
berharga semata untuk menyampaikan pesan, inilah yang mampu dilakukan negara
terhadap para pengganggu keamanan.
Kendati terasa tabu untuk kembali dibicarakan
di ruang terbuka, tak hanya satu-dua orang yang menganggap pembantaian
sistematis Orde Baru tersebut tindakan yang bisa dibenarkan hari ini.
Kekerasan-kekerasannya tak jarang kini dianggap ibarat ketegasan yang perlu
dilakukan seorang bapak agar keluarganya tidak berantakan; kekerasan yang
merupakan keputusan bijak untuk mengakhiri semua kekerasan lainnya.
Akan tetapi kekangenan seperti ini tak lain
berasal dari penglihatan yang kabur, terburu hasrat mencari pegangan model
masyarakat ideal. Pegangan itu, bagi para pendambanya, tak perlu jauh-jauh di
luar negeri atau masyarakat utopia yang mengawang. Ia ada di masa lalu kita
sendiri yang saban hari masih kita tinggali. Pandangan semacam ini bukannya
menggambarkan sejarah kita, malah, boleh dikatakan, ahistoris pada tingkat yang
sangat ekstrem. Sejarah, toh, adalah sesuatu yang benar-benar terjadi dan bukan
sekadar apa yang ingin kita bayangkan pada saat ini.
Logika sederhananya, bahwa di negara Orde
Baru yang cengkeramannya nyaris total itu sampai terbentuk lapisan masyarakat
yang disebut dengan gali (gabungan anak-anak liar) sebelum akhirnya dilibas
dengan penembakan misterius pada 1980-an. Berarti kelompok-kelompok yang punya
kapasitas melakukan kekerasan dan lazimnya hidup dengan memeras masyarakat
setempat ini pernah berkembang. Seizin negara, tentunya.
Permasalahannya, saat ini berkembang idiom
bahwa negara membiarkan kekerasan, dan ini menyimpan kekeliruan mendasar.
Dengan begitu, kita memandang negara sebagai pihak yang pasif, tak bergerak,
takluk terhadap para pelaku kekerasan. Orang-orang melihat Presiden saat ini
sebagai sosok yang menyikapi persoalan dengan imbauan tanpa tindakan nyata,
sampai-sampai ada lelucon untuk mematikan televisi, SBY mengimbau televisinya
untuk mati sendiri, bukan beranjak mematikannya. Dengan membayangkan bahwa
kekerasan sipil adalah kekacauan yang merebak lantaran ketidaktegasan negara,
selanjutnya terciptalah kehausan massal akan pemegang otoritas yang berani
menyediakan rasa aman bagi warganya.
Padahal, berbicara tentang aparatus keamanan
negara adalah berbicara tentang pihak yang kapasitas, keorganisasian, kekuatan,
dan persenjataannya disokong oleh uang pajak serta penerimaan negara lainnya
yang begitu masif. Ditambah lagi hanya lembaga ini yang dengan wewenang
konstitusionalnya dapat secara leluasa mengembangkan teknik-teknik preventif
dan koersif yang efektif untuk menegakkan ketertiban. Pertanyaannya, mengapa leviathan
sebesar ini mesti takut terhadap segelintir pengganggu keamanan?
Tengoklah juga wajah kekerasan di sekitar
kita dengan saksama; aktivitas dalam kelompok-kelompok yang biasa
mengatasnamakan ideologi atau etnisitas, yang wilayah pergerakannya jelas,
pemilihan sasaran ditimbang-timbang secara rasional. Sebagai kekerasan yang
katanya digerakkan oleh impuls membela keyakinan, ini, ganjilnya, terlalu rapi.
Tak masuk akal untuk mengatakan keleluasaan
kelompok-kelompok masyarakat mengorganisasi kekerasan di wilayah di mana
kekerasan dimonopoli oleh negara semata disebabkan keabaian aparat. Semuanya
baru jelas ketika kita dengan terpaksa mengakui: memang, kekerasan punya harga
untuk dikelola oleh berbagai pemegang kekuatan bersama-sama. Dengan mengkritik
negara gemetar dan lepas tangan terhadap ledakan-ledakan di masyarakat sipil,
sayangnya kita sebenarnya melindungi mereka dari kenyataan bahwa tak mungkin leviathan
ini tidak terlibat dalam pengembangbiakan kekerasan tersebut.
Ketakutan kita sebagai warga adalah mangsa
paling pertama kekerasan. Kuasa melakukan kekerasan yang dimiliki oleh
kekuatan-kekuatan lokal memungkinkan mereka mengekstraksi berbagai pungutan
yang kalau kita hitung-hitung jumlahnya sekurangnya sebanding dengan usaha
tingkat menengah. Andaikan kita pemilik sebuah kios kecil di Jakarta dan
sekelompok pria berpembawaan angker tiba-tiba datang meminta sumbangan, kita
tak mau membayangkan apa yang akan terjadi bila mereka tak memperoleh apa yang
mereka inginkan, bukan?
Sebagian besar dari kita tak pernah menjadi
korban kekerasan ini secara langsung. Namun cukup sekali melihat citra-citra
kekerasan sipil dari televisi dan koran, kita sudah menjadi bagian dari lahan
pendapatan mereka yang akan digarap dengan jauh lebih sistematis dari dugaan
kita. Pernahkah terlintas pada kita untuk melaporkan praktek-praktek yang
melanggar wewenang negara ini kepada aparat? Kemungkinan besar tidak.
Kemungkinan besar, terpikir, melapor hanya buang-buang energi; tak mungkin
negara tak tahu-menahu adanya kekuatan yang menjadikan kewenangan di wilayahnya
ambigu. Dan kalau kita membatin lebih jauh lagi: tak mungkin negara tak
terlibat. Bayangkan praktek ini berlarut-larut di negara sebesar ini sebesar
apa manfaat yang bisa diambil pengelolanya?
Akan tetapi agaknya kita tak kuat untuk
lama-lama berpikir bahwa kita seterjebak itu. Mengapa setelah melihat aparat
negara berpihak kepada pelaku kekerasan dalam peristiwa penyerangan terhadap
satu kelompok minoritas, kita masih berpikir bahwa ini dikarenakan negara
gentar, bukan lantaran mereka beraliansi dengan satu pihak? Agaknya, kita ingin
membayangkan bahwa masih ada jalan keluar dari sergapan potensi-potensi
kekerasan bahwa apa yang terjadi semata disebabkan oleh kelemahan
pribadi-pribadi yang mungkin untuk diubah selama kita berpegangan pada nilai
integritas yang jelas.
Dan ujung-ujungnya, pengharapan yang seperti
ini akan dijemput dalam pemilihan umum oleh sosok-sosok yang citra tegasnya
dipoles dengan uang miliaran rupiah atau, seperti yang sudah terjadi, dihibur
dengan kerinduan terhadap masa lalu (atau, tepatnya, apa yang kita angankan
sebagai masa lalu kita).
Karenanya, mesti kita camkan, suka-tidak
suka, dari waktu ke waktu, kekerasan akan terus menjadi sesuatu yang
menggiurkan untuk dikelola. Mengurainya sama sekali bukan sebuah pekerjaan yang
sesederhana mencoblos figur-figur gagah atau mencari-cari era idaman di halaman
masa silam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar