Strategi
Baru Melawan Korupsi
Saharuddin Daming ; Komisioner
Komnas HAM
Sumber
: MEDIA INDONESIA, 23 Juni 2012
DALAM
catatan sejarah, Indonesia pernah di kagumi dan dipuja sebagai negeri yang
berhamparan mutiara di khatulistiwa, tiada badai, tiada bencana yang
menghampiri. Tanahnya subur, rakyatnya makmur, adil, tenteram, gemah ripah loh jinawi.
Ungkapan
tersebut kini terasa begitu hambar, kosong, dan kehilangan makna. Entah dosa
dan kesalahan siapa, nyanyian pembuluh rindu garapan Koes Plus tiba-tiba sirna
dan berganti dengan krisis multidimensional.
Mulai
bencana, aneka kriminal yang datang silih berganti, berbagai penyakit medis,
dan moral yang mewabah, hingga impitan ekonomi yang mendera kalangan papa
akibat krisis energi dan anggaran negara. Semuanya bersatu menyempurnakan
petaka di zamrud kha tulistiwa. Ibarat kaleng yang tertimpa benda keras, negeri
kita betul-betul dalam keadaan ringsek berat.
Sebagai
masyarakat religius, seyogianya kita menyikapi rangkaian persoalan tersebut
sebagai hal yang mempunyai hubungan kausalitas dengan tingkah laku kita selama
ini. Betapa tidak, Peter Drucker pernah berkesimpulan bahwa suatu negara
mengalami keterpurukan karena negara itu salah urus.
Harus
diakui bahwa meski reformasi telah bergulir lebih satu dekade, rupanya kita
termasuk kaum yang tidak amanah mengelola potensi negara dengan baik. Dewasa
ini negeri kita dikenal sebagai bangsa terkorup di dunia. Begitu parah dan
seriusnya, tindak pidana korupsi (tipikor) di Indonesia hingga menjangkau
seluruh elemen bangsa, membawa akibat sangat jauh terhadap kehidupan ekonomi,
politik, dan sosial. Tidak mengherankan jika Sang Mahapemberi menurunkan
bencana yang tak berkesudahan sebagai ujian, peringatan, dan teguran kalau
bukan hukuman.
Dalam
catatan sejarah, tipikor dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga
menyengsarakan suatu bangsa. Rezim Chiang Kai Shek di Tiongkok, Ngo Dim Diem di
Vietnam, Raja Farouk di Mesir, Raja Idris di Libia, Ferdinand Marcos di
Filipina, dan Soeharto di Indonesia adalah akibat langsung dari tipikor yang
meluas.
Aroma Kenduri
Ironisnya,
meski saat ini tengah dilancarkan gerakan antitipikor di Tanah Air, aroma
kenduri tipikor hingga kini masih saja tercium di mana-mana. Padahal kita telah
memiliki institusi pemberantasan tipikor yang berlapis-lapis, bahkan perangkat
hukum pemberantasannya telah mencantumkan ancaman yang sangat keras. Tetapi
output pencapaian hasil ternyata tidak signifikan.
Andi
Hamzah menilai ancaman pidana UU Tindak Pidana Korupsi sungguh mengerikan
(pidana mati atau seumur hidup). Namun sampai sekarang belum pernah ada pelaku
tipikor yang dijatuhi vonis seumur hidup apalagi dihukum mati.
Ini
berarti bahwa tindakan represif semata, apalagi jika dilakukan dengan sete ngah
hati dan hanya diterapkan kepada lawan politik, tidak akan ada hasilnya.
Pengalaman
membuktikan bahwa 28 tahun berlakunya UU No 3/1971, hasilnya hampir nihil. Perbaikan
perundang-undangan hanya salah satu sarana dalam mem berantas tipikor, sarana
terpenting ialah penegak hukum yang jujur, cakap, serta integritasnya terjamin
(KPK dan pengadilan tipikor) disertai political
will pemerintah.
Tidak
kurang pentingnya ialah kesadaran hukum rakyat tentang perlunya ikut serta
memerangi tipikor. Pengalaman pemberantasan tipikor di Hong Kong dimulai pada
saat pembentukan KPK. Daya ke berlakuan hukum menggunakan asas nonretroaktif,
artinya kasus artinya kasus kasus tipikor yang terjadi sebelum re formasi
diposisikan sebagai kesalahan kolektif yang harus di per tang gungjawabkan
bersama. Sedangkan kasus besar tipikor di dunia perbankan, mark up pada
proyek-proyek besar akan tetap dilakukan proses hukum.
Nihilkan peran DPR
Adapun
pengalaman pemberantasan tipikor di Thailand dimulai dengan menciptakan National Counter Corruption Commision.
Dalam hal ini intervensi DPR maupun perdana menteri dinihilkan dalam penyusunan
anggota dan pertanggungjawaban komisi, meski UU disusun oleh DPR. Di sini
kepentingan nasional berada di atas semua kepentingan kelompok dan golongan.
Harus
diperhatikan bahwa praktik tipikor telah mendunia sehingga menimbulkan reaksi
global pula untuk memberantasnya. Amerika Serikat pada 1977 telah menyusun UU
antipenyuapan kepada pihak asing yaitu Foreign
Corrupt Practices Act (FCPA) yang
diubah pada 1988.
Kemudian
sebanyak 29 negara maju bersatu dalam mengkriminalisasi penyuapan terhadap
pejabat (pemerintah) asing pada 1988, dengan nama Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Selanjutnya
negara-negara di Amerika mengadakan konvensi melawan tipikor (Inter American Convention Against Corruption).
Begitu pula PBB telah mengadopsi Konvensi tentang Antikorupsi 2003 dan Konvensi
Menentang Tindak Pidana Terorganisasi 2000 yang telah kita ratifikasi. Transparansi
Internasional di Berlin juga giat melakukan pemantauan. Salah satu hasil laporannya
menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara keempat terkorup di dunia. Bank
Dunia dan badan-badan antitipikor beserta IMF selalu mengaitkan pinjaman dengan
pemberantasan tipikor di negara peminjam, termasuk Indonesia.
Tekanan
publik ke arah terciptanya pemerintahan yang bersih sangat menonjol, misalnya
kampanye untuk tidak memilih pejabat publik dari figur yang terindikasi
korupsi. Berlainan dengan Indonesia yang justru menampilkan koruptor yang
menyewa demonstran demi mempromosikan di rinya menduduki jabatan publik.
Berdasarkan
pengalaman di mancanegara kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam memberantas
tipikor, ancaman pidana berat bukanlah faktor yang paling esensial. Sistem
manajemen negara yang rawan tipikor harus ditanggulangi lebih dahulu sebelum
mengambil tindakan represif.
Umumnya
hukum pidana materiil yang diterapkan di negara-negara itu ialah delikde lik
tipikor yang tersedia dalam KUHP tanpa mengubah ancaman pidananya menjadi lebih
berat sebagaimana dilakukan di Indonesia.
Sayangnya
pemberlakuan sistem pembalikan beban pembuktian (shifting burden of proof), yang merupakan penyimpangan dari asas
hukum pidana universal yaitu pressumption
of innocence, dalam UU Tipikor kita hanya berfungsi sebagai kosmetik hukum.
Meski
banyak kasus tipikor yang layak diberantas dengan sistem tersebut, aparat
penegak hukum sendiri yang sering mengabaikannya. Mengingat tipikor di negeri
kita sudah melintasi stadium kronis bahkan akut, terapi konvensional tidak
efektif lagi menjangkau sasaran, perlu strategi baru untuk menaklukkan tipikor
sebagai extraordinary crimes.
Kalau
KPK di Australia dan Singapura berfungsi sebagai pengisap debu (vacuum cleaner), di Malaysia dan Hong
Kong sebagai sapu ijuk dalam rumah, di Thailand sebagai sapu lidi di
pekarangan, KPK di Indonesia harus berfungsi seperti buldoser karena tipikornya
sudah menggunung.
Karena
itu, tekad untuk memberantas tipikor tidak dapat dilakukan tanpa sistem yang
jitu, objektif, berani dan berkeadilan, lepas dari dendam yang membabi buta.
Pengalaman yang bermanfaat dari mancanegara dalam memberantas tipikor
semestinya dipelajari, dikaji, diadopsi yang baik dan telah terbukti efektif,
memperbaiki yang kurang.
Keadaan
objektif di lapangan sangat berbeda. Karena terlalu jauh menyimpang dari jalur
hukum selama bertahuntahun, banyak jenis perbuatan yang sudah termasuk tipikor
justru dirasakan oleh banyak orang sebagai hal biasa, bukan tipikor.
Parahnya
lagi karena aparat penegak hukum justru sering membebaskan atau meminimalkan
hukuman kepada pelaku tipikor berdasarkan independensi dan interpretasinya
maupun karena koneksi dengan mafia peradilan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar