Menanam
Pohon Cermin Harkat Manusia
Bedjo Santoso ; Direktur
Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Kementerian Kehutanan
Sumber
: MEDIA INDONESIA, 23 Juni 2012
HARKAT
martabat manusia akan semakin tinggi apabila kebajikan yang dibuatnya selama
hidup di dunia bermanfaat bagi sesama makhluk hidup maupun lingkungannya.
Kebajikan yang dimaksud adalah bentuk-bentuk kegiatan yang bermanfaat baik bagi
manusia yang lain maupun alam.
Pada
awal peradaban manusia hingga abad ke-19, pandangan antroposentrisme menjadi
ciri yang menonjol hubungan manusia dengan lingkungannya. Pandangan
antroposentrisme menempatkan manusia sebagai pusat atau penentu bagi
lingkungan. Akibatnya sering dijumpai manusia dengan seenaknya mengeksploitasi
lingkungan secara berlebihan. Dengan demikian, tanpa disadari pandangan
antroposentrisme membuat lingkungan rusak yang berakibat manusia sulit
mempertahankan kehidupan secara layak.
Oleh
karena itu, pada abad ke-20 sekarang telah bergeser suatu pandangan baru yang
bernama ekosentrisme, yang memandang perlu adanya etika lingkungan dalam
tatanan kehidupan yang berimbang dalam kehidupan di alam semesta.
Pada
teori ekosentrisme menempatkan alam sebagai satu kesatuan sejajar dalam
kehidupan manusia. Nilai atau har kat manusia bukan saja kebajikannya dengan
Sang Pencipta, melainkan juga terhadap makhluk ciptaan-Nya termasuk alam
semesta.
Mencermati
berbagai kisah masa lalu kita dapat memahami pandangan ekosentrisme seperti
kisah Nabi Nuh AS, yang mengumpulkan seluruh hewan untuk dinaikkan ke bahtera
yang dibuatnya untuk kelangsungan generasi hewan-hewan tersebut.
Selanjutnya
kisah seorang Nabi Sulaiman AS yang mengerti bahasa hewan. Untuk menghormati
hewan yang bernama semut, beliau dengan cepat menghentikan langkah balatentaranya
agar tidak menginjak-injak semut tersebut.
Cerita-cerita
ini memberikan pesan kepada manusia agar melakukan kebajikan yang dapat
mengangkat harkat manusia, baik kepada Sang Pencipta maupun kepada sesama
ciptaan-Nya, baik manusia, hewan, tumbuhan, maupun lingkungan. Salah satu
kebajikan yang ingin kita angkat adalah menanam pohon.
Sewaktu
kecil penulis sempat bertanya kepada ibu, mengapa kita menanam pohon mangga,
rambutan, kelapa dan lain-lain yang semuanya berumur panjang dan mustahil
buahnya dapat kita petik dalam waktu dekat? Padahal rumah dan pekarangannya
yang ditempati adalah milik dinas (bukan rumah sendiri) yang dalam jangka waktu
kurang dari dua tahun harus ditinggalkan untuk pindah tugas di tempat lain. Ibu
hanya menjawab nanti jika hasilnya dimanfaatkan orang lain, pahalanya akan
mengalir kepada kita yang menanamnya.
Harkat Manusia
Sekarang
baru penulis mengerti bahwa menanam pohon adalah salah satu bentuk kebajikan
terhadap seluruh makhluk dan lingkungan alam. Menanam pohon merupakan suatu aktivitas
yang mencerminkan harkat manusia karena di dalam agama, menanam pohon adalah
salah satu pahala yang terus mengalir jika pohon-pohon yang kita tanam tadi
terus memberikan manfaat, walaupun kita telah tiada (wafat).
Dari
sebatang pohon banyak ilham-ilham yang telah tumbuh. Salah satu istilah adalah
banyak pohon banyak rezeki, yaitu istilah yang telah banyak dibuktikan benar
adanya. Semisal hutan rakyat di Pulau Jawa telah membuktikan dengan menanam
pohon telah dapat meningkatkan kehidupan ekonomi mereka untuk membiayai anak
sekolah, biaya hajatan, bahkan banyak mendapat julukan haji sengon, haji jati, atau haji
jabon.
Di
samping itu, menanam pohon secara tidak langsung juga merupakan cerminan dari
rasa cinta lingkungan. Menanam pohon telah membuat suatu areal tandus menjadi
hijau, meningkatkan kualitas lingkungan, memperbaiki tata air, dan memperbanyak
penyerapan karbon. Sungguh banyak dampak positif yang diperoleh dari menanam
pohon yang tadinya hanya sebatas untuk memperbaiki ekonomi.
Menaman
pohon adalah bentuk etika lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai
ekosentrisme. Allah SWT menurunkan manusia sebagai khalifah, bukan sebagai
penguras sumber daya, melainkan pengelola sumber daya. Artinya menikmati sumber
daya dengan tetap menjaga kelangsungan sumber daya tersebut. Satu pohon yang
kita tanam sangat berarti bagi kelangsungan generasi berikutnya. Bayangkan jika
yang ditanam seratus bahkan seribu pohon.
Program-program
yang sekarang sedang digerakkan pemerintah terkait penanaman pohon adalah
bentuk kegiatan moral yang secara tidak langsung ikut meningkatkan harkat
rakyat Indonesia. Bentukbentuk pesan moral tersebut memang cukup sederhana,
tapi jika kita renungkan amatlah berarti bagi hidup dan kehidupan di bumi ini.
Kemaslahatan Bersama
Bayangkanlah
jika tidak ada keinginan kita untuk menanam pohon, bagaimana generasi kita ke
depan. Allah SWT memang telah menciptakan bumi ini dengan keseimbangan yang
alami. Namun kita sebagai khalifah tetap dituntut menjaga apa-apa yang telah
Dia ciptakan untuk kita demi kemaslahatan bersama.
Mari
kita lihat sebuah ilustrasi sederhana. Seorang petani mangrove di wilayah
terpencil, tanpa listrik sehingga tidak dapat menonton televisi, namun dia giat
menjaga lingkungan dengan menaman bakau untuk kelangsungan hidupnya dalam
mencari hasil laut. Secara tidak sengaja dia telah menorehkan nilai kebajikan
dan pahala yang banyak karena apa yang dia lakukan bukan hanya bermanfaat
baginya saat itu, tapi juga bagi orang lain dan bagi generasi yang akan datang.
Walau dia tidak berdasi dan bersafari, bahkan tidak beralas kaki, cerminan
nilai/harkatnya sebagai manusia sangat berarti, tak dapat ditukar dengan sebuah
Ferarri.
Lalu
bagaimana kita dalam aktivitas penanaman pohon? Kita harus bersyukur sebagai
bangsa Indonesia. Karena sejak dahulu kala nenek moyang telah memberikan contoh
kearifan dalam menanam pohon. Dalam cerita Babat
Alas Jawa, masyarakat khususnya di Pulau Jawa membuka hutan alam lalu
menanami kembali dengan tanaman yang lebih produktif, yakni pohon jati (Tectona grandis).
Dalam
memahami kegiatan babat alas saat itu, paling tidak terdapat 2 (dua) maksud
utama yaitu pertama perluasan tempat tinggal yang merupakan ke butuhan hakiki
manusia yang tidak bisa diabaikan. Kedua, peningkatan nilai tambah lahan yang
dalam perkembangan pemenuhan kebutuhan manusia merupakan keniscayaan.
Oleh
karena itu, saat sekarang pemerintah memiliki kawasan hutan tanaman jati di
Jawa, dan masyarakat memiliki budaya menanam pohon sebagai topangan kehidupan
dalam meningkatkan harkat martabat secara nyata dan lebih baik. Sekarang,
berdasarkan kenyataan tersebut, Indonesia melalui Inpres Nomor 24 Tahun 2008
menetapkan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional, serta telah
memiliki program nasional berupa Gerakan Penanaman Pohon yang selama tiga tahun
terakhir ditargetkan 1 miliar pohon per tahun.
Dengan
demikian dalam mewujudkan harkat martabat bangsa masa kini maka tanpa atau
dengan campur tangan bantuan luar negeri pun Indonesia tetap menanam pohon.
Mari
kita sama-sama lestarikan hijaunya alam yang telah dianugerahkan kepada kita. Kita
pertahankan biodiversitas flora yang ada di negara ini dengan menggiatkan
gerakan menanam pohon. Bukan untuk kita sekarang, melainkan untuk generasi kita
yang akan datang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa
lagi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar