Paradoks
BBM di Indonesia
Joko Tri Haryanto ; Pegawai Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Doktor
Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
SUMBER : REPUBLIKA,
1 Juni 2012
Berdasarkan
laporan Pertamina disebutkan bahwa Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu pro
vinsi pengguna terboros di dalam konsumsi BBM bersubsidi. Hingga Mei 2012,
konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta sudah melampaui 36 persen dari kuota 1,5
juta kiloliter yang ditetapkan.
Borosnya
konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta disinyalir akibat melambungnya jumlah
kepemilikan kendaraan bermotor, khususnya kendaraan roda dua. Secara nasional
konsumsi BBM bersubsidi hingga April 2012 diperkirakan mencapai 7,1 persen di
atas kuota 40 juta kiloliter yang ditetapkan dalam APBN-P 2012. Berkaca dari
fakta tersebut, banyak hal yang dapat disimpulkan.
Pertama,
borosnya konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta merupakan dam pak dari buruknya
manajemen transpor tasi umum. Problem tersebut menyebabkan transportasi di
Jakarta belum dapat menjamin efisiensi, keadilan, tingkat ke selamatan pengguna
jalan, serta memperburuk kondisi lingkungan.
Tidak
efisien karena, menurut data Menko Perekonomian, waktu bergerak di jalan hanya
40 persen, sementara 60 persen adalah waktu hambatan dengan ke cepatan rata-rata
lalu lintas 20,21 km/jam. Tidak adil karena lalu lintas di Jakarta didominasi
oleh kendaraan pribadi, dengan perincian sepeda motor 8.244.346 unit dan mobil
pribadi sebesar 3.118.050 unit.
Kepemilikan
motor menduduki peringkat pertama, baik di Jakarta Selatan (9,90 persen),
Jakarta Timur (6,78 per sen), Jakarta Utara (5,20 persen), Jakarta Barat (10,92
persen), maupun Jakarta Pu sat (8,21 persen). Jumlah panjang ja lan di Jakarta
hanya 7.650 km, luas ja lan 40.1 km atau sekitar 0.26 persen da ri luas wilayah
Jakarta, dengan pertumbuhan panjang jalan setiap tahunnya sekitar 0,01 persen.
Pengguna
kendaraan umum terdiri dari 52,27 persen pengguna bus dan dua persen
menggunakan kereta api. Pengguna kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki
adalah pihak yang paling dirugikan karena tidak ada fasilitas yang memadai.
Jika pun ada, harus berebut dengan motor dan pedagang kaki lima.
Memperburuk
kondisi lingkungan sebab 25 dari 33 stasiun pengamatan kualitas udara di
Jakarta menunjukkan kadar PM10 yang sudah diambang batas. Penurunan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) serta tata kota yang tidak terencana makin memperburuk
kualitas udara di Jakarta. Tidak menjamin keselamatan pengguna jalan sebab
masih tingginya angka kecelakaan, baik transportasi jalan maupun kereta api, akibat
minimnya fasilitas infrastruktur yang tersedia.
Kedua,
borosnya konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta juga menggambarkan adanya
ketidakadilan antardaerah. Besarnya konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta tentu
saja akan menimbulkan masalah di dalam pengalokasian BBM ber subsidi
antardaerah secara nasional.
Secara
logika lonjakan konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta harus dikompensasi dengan
penurunan alokasi BBM subsidi untuk daerah lainnya jika memang kuota BBM
bersubsidi sebesar 40 juta kiloliter tidak dapat diubah.
Hal
ini dirasakan cukup sulit meng ingat secara nasional sebetulnya sudah dihitung
besaran kebutuhan BBM ber subsidi antardaerah. Transfer alokasi subsidi
antardaerah juga cukup riskan ka rena dapat menimbulkan gejolak dalam pasokan
subsidi BBM bersubsidi.
Satu-satunya
cara yang mungkin di tempuh oleh pemerintah adalah mengajukan penambahan kuota
BBM ber subsidi kepada DPR.
Pengajuan
penambahan kuota juga bukan perkara gampang, khususnya terkait dengan mekanisme
di dalam pe nyusunan APBN serta fluktuasi harga minyak internasional. Ketika
Pemerintah mengajukan APBN-P 2012, total belanja subsidi di dalam postur APBN
sudah mengalami koreksi dari Rp 123,599 tri liun menjadi Rp 137,379 triliun,
dengan asumsi koreksi harga minyak Indonesia dari 90 dolar menjadi 105 dolar
AS.
Pilihan
kedua ini pun dirasakan bukan pilihan yang bijaksana mengingat penambahan total
belanja subsidi tentu akan menambah Belanja Pemerintah Pusat dan berpotensi
menambah defisit APBN. Penambahan defisit APBN memiliki konsekuensi penambahan
kebutuhan sumber-sumber pembiayaan, baik dari domestik maupun internasional.
Terlepas
dari apa pun kebijakan yang nantinya akan diambil oleh pemerintah, berkaca dari
kondisi di Jakarta, sudah selayaknya kita berpikir secara lebih komprehensif.
Ketika kemudian muncul wacana gerakan penghematan energi nasional, selama masih
bersifat parsial tanpa terkoordinasi dengan kebijakan lainnya, kebijakan
tersebut hanya dianggap basa-basi dan bersifat populis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar