Muhammadiyah
Menapak Abad Ke-21
Fajar Riza Ul Haq ; Direktur
Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity
Sumber : KOMPAS,
23 Juni 2012
Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung,
menjadi saksi pembukaan perhelatan tanwir Muhammadiyah 2012 yang berlangsung
Kamis-Minggu (21-24/6/2012).
Forum tertinggi kedua setelah muktamar ini
mengusung tema ”Gerakan Pencerahan Solusi untuk Bangsa”. Secara organisatoris,
tanwir ini bersejarah karena bertepatan dengan satu abad Muhammadiyah yang akan
jatuh pada 12 November. Forum kali ini juga bernilai strategis dari perspektif
kebangsaan mengingat masih terkatung-katungnya sejumlah persoalan krusial yang
menyandera negeri ini, seperti kasus Bank Century, mafia pajak, dan lumpur
Lapindo.
Secara historis, keberadaan Muhammadiyah
bagian tak terpisahkan dari fenomena gerakan pembaruan awal abad ke-20 di Jawa.
Percaturan geopolitik di Benua Eropa yang jadi episentrum politik dunia saat
itu telah berpengaruh dalam kemunculan pelbagai organisasi dan gerakan antikolonial,
khususnya di Asia dan Afrika.
Namun, Laffan mengingatkan bahwa arus
nasionalisme di Asia Tenggara juga dikontribusikan oleh jaringan Timur Tengah,
utamanya Mesir. Majalah Al Munir yang terbit pada Maret 1912 sudah menyerukan
pembentukan pelbagai perkumpulan guna menyuarakan perjuangan bangsa sebagai
unsur penting peradaban dunia (Islamic
Nationhood and Colonial Indonesia, 2003: 165).
Sebagai fenomena gerakan sosial-keagamaan
abad ke-20, kiprah Muhammadiyah dalam upaya pencerdasan bangsa mustahil untuk dibantah.
Ribuan sekolah Muhammadiyah sudah lama hadir di pelosok Nusantara, termasuk di
daerah-daerah yang belum dijamah pemerintah. Infrastruktur pendidikan dan
sosial organisasi ini telah menjadi bagian dari modal sosial pemerintah dalam
membangun negeri ini selama 67 tahun.
Dalam konteks ini, masih relevan mengingat
kembali kritik Emha Ainun Nadjib satu dasawarsa lalu. Menurut dia, Muhammadiyah
terlalu larut merespons ombak, tetapi justru mengabaikan gelombang. Untuk
pandai menciptakan gelombang, organisasi ini harus memahami seluk-beluk
peradaban dan isu-isu kemanusiaan kontemporer. Menurut Emha, kritisisme
Muhammadiyah pada periode awal tidak dihayati secara simultan oleh
generasi-generasi berikutnya. Akibatnya, tidak ada ijtihad kolektif dan eksperimentasi
empiris dalam berkebudayaan (Inovasi, No
1 Th XII/2002).
Isu-isu Strategis
Membawa mentalitas dan budaya organisasi abad
ke-20 ke abad ke-21 adalah masalah besar ketika organisasi keagamaan ini
dihadapkan pada perubahan geopolitik dan kekuatan ekonomi global beserta dampak
negatif yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, perbincangan dalam forum-forum
strategis persyarikatan, seperti tanwir, harus mulai berani memasuki kerangka
berpikir dan isu-isu strategis pasca-abad ke-20. Inilah tantangan agenda
pembaruan Muhammadiyah kontemporer.
Dari perspektif perkembangan organisasi,
Muhammadiyah harus sudah mengembangkan orientasi gerakan dakwahnya: dari misi
keagamaan ke kemanusiaan. Menurut Peter Senge, pakar organisasi dari Massachusetts Institute of Technology,
ada tiga isu besar kemanusiaan saling berhubungan yang menjadi tantangan hari
ini: persoalan energi dan transportasi,
makanan dan air, serta konsekuensi ketidakseimbangan yang muncul dari
terkonsentrasinya penguasaan sumber daya pada segelintir orang. Aktor
negara tak bisa lagi sendirian bekerja menangani persoalan besar tersebut.
Komitmen dan kerja sama dari beragam aktor menjadi suatu keniscayaan.
Krisis global yang kini menghantui manusia
abad ke-21 itu menuntut Muhammadiyah memahami ulang orientasi gerakan
dakwahnya. Misalnya, bagaimana merekonstruksi semangat ”masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya” yang jadi tujuan bermuhammadiyah. Entitas masyarakat yang
ingin dituju tidaklah konstan, tetapi hendaknya bersifat interkoneksitas dengan
jejaring entitas lain dengan tujuan bersama, yakni menyelamatkan
keberlangsungan dan kesinambungan kehidupan manusia. Sudah sepantasnya
Muhammadiyah dikembangkan dengan etos inovasi daripada sebatas repetisi. Jika
tidak, persyarikatan akan terseok-seok di tengah serbuan ekspansi aktor-aktor
masyarakat sipil global ke Indonesia.
Prakarsa PP Muhammadiyah bersama sejumlah
kelompok sipil dan individu mengajukan uji materi UU No 22/2001 tentang Migas
ke Mahkamah Konstitusi, April lalu, bisa jadi momentum arah baru dakwah
Muhammadiyah di ranah kenegaraan. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin
menyebut langkah ini sebagai jihad konstitusi.
Keberanian Muhammadiyah melakukan dakwah afirmatif terhadap isu-isu publik
strategis, seperti sektor energi, patut diapresiasi, bahkan harus dilembagakan
dalam kerangka organisasionalnya. Contoh lain, keterlibatan Muhammadiyah
sebagai anggota International Contact
Group dalam proses perundingan perdamaian antara Pemerintah Filipina dan
MILF. Hal ini mengisyaratkan Muhammadiyah tidak bisa menutup mata terhadap
dinamika geopolitik dan tantangan konflik di tingkat regional.
Pada akhirnya, orientasi pembaruan
Muhammadiyah abad ke-21 seyogianya menyentuh isu-isu strategis kebangsaan yang
langsung terkait hajat rakyat. Dengan capaian usia 100 tahun, organisasi ini
sudah cukup punya sumber daya dan jaringan sebagai prasyarat kapasitas
melakukan transformasi gagasan dan arah gerakan pasca-abad ke-20.
Penajaman khitah sesuai persoalan sistemik
kebangsaan, restrukturisasi organisasi, dan perubahan strategi dakwah menjadi
tak terhindarkan. Hanya melalui proses inilah Muhammadiyah akan tetap mampu
melakukan pencerahan dan memberikan solusi: tidak hanya untuk bangsa, tetapi
juga kemanusiaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar