Jakarta
untuk Manusia
Yonky Karman ; Pengajar di
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Sumber : KOMPAS,
23 Juni 2012
Alkisah, Ratu Negeri Syeba yang telah
mendengar tentang kehebatan hikmat Raja Sulaiman ingin mengujinya langsung
dengan berkunjung ke kerajaannya. Memang ternyata bagi Sulaiman tak ada
pertanyaan yang terlalu sulit untuk dijawab. Namun, yang lebih membuat ratu itu
kagum adalah hikmat Sulaiman yang terlihat dalam cara kerja para pegawainya,
baik di lingkungan istana maupun pelayanan publik.
Jika kita mengunjungi kota-kota dunia, tertib
lalu lintasnya berbanding lurus dengan tata kelola pemerintahan. Kota, apalagi
ibu kota, menjadi miniatur negara hukum. Kita pun menghubungkan tertib berkota
dengan hikmat kepemimpinan. Cara kerja birokrasi dan penegak hukum di Jakarta
adalah miniatur Indonesia.
Berkota itu Berhukum
Berbeda dari karakter desa yang homogen, kota
adalah tempat berbaur ragam kultur dan kepentingan. Kota bukan hanya sebuah
wilayah administratif, melainkan juga hasil imajinasi multikultural. Berkota
adalah meninggalkan karakter primordial dan hidup dalam komunitas
multikultural.
Jika di desa berlaku musyawarah dan hukum
adat, tata kota ditopang hukum positif yang tegak. Berkota adalah proses
memperlihatkan wajah negara hukum. Tidak hanya ada institusi penegak hukum dan
penegakan hukum, tetapi hukum juga dihormati dan tak mudah dilanggar. Suasana
batin berkota seperti itu amat terasa di negara yang penegakan hukumnya
konsisten. Tak cukup hukum yang maksudnya baik, tetapi juga kemampuan
pemerintah menegakkan hukum dengan konsisten.
Jangan hanya membuat hukum, lalu
pelanggarannya dianggap lumrah. Atau, ada satu dua kena sanksi karena
pelanggaran. Negara hukum jauh dari itu. Hukum membatin dalam perasaan dan
perilaku warga. Pisau moral warga terasah. Melanggar hukum adalah merugikan hak
orang lain untuk memperoleh kenyamanan dan kebaikan karena hukum ditaati.
Jakarta belum memberi pendidikan politik
berkota yang baik. Tak jelas dalam berhukum. Tak berdaya untuk bertindak tegas.
Taat hukum adalah ungkapan menghormati hak sesama, menaati perintah Tuhan untuk
mengasihi sesama dalam kerangka disiplin. Namun, kesemrawutan di Jakarta
menjadi pemandangan sehari-hari yang menjengkelkan dan merugikan pengguna jalan
yang taat aturan.
Jakarta belum membuat warga nyaman. Di jalan
raya, seharusnya hukum jadi panglima, terlebih karena rawan kecelakaan. Namun,
makin banyak pengemudi motor dan jalan dilalui dengan melawan arus. Pengemudi
mobil mulai nekat meski baru untuk jarak pendek. Pertambahan jumlah kendaraan
adalah sesuatu di luar jangkauan pemerintah, tetapi yang dalam jangkauan pun
tak serius dikerjakan. Penyebab kemacetan sering sepele. Seenaknya menyeberang,
parkir, atau menaikturunkan penumpang. Tokyo juga macet dan arus kendaraan
lambat pada jam-jam tertentu. Namun, kemacetan Jakarta tak terprediksi,
kendaraan bisa tak bergerak.
Kesemrawutan tata ruang kasatmata. Peruntukan
lahan dilanggar. Berkurang dan rusaknya daerah serapan membuat banjir dengan
leluasa merusak ekologi kota. Hak pejalan kaki diabaikan karena jalurnya
dipakai untuk berjualan atau dilalui sepeda motor. Tempat usaha dibuka di mana
saja, bahkan ketika perkembangan usaha itu menciptakan titik kemacetan baru.
Semua itu dibiarkan.
Begitu banyak rambu lalu lintas setiap hari
terang-terangan dilanggar. Mengapa rambu seperti itu tak diangkat saja?
Tidakkah pemerintah sedang melecehkan hukum yang dibuatnya sendiri? Mengapa
pembiaran seperti itu lazim terjadi? Karena kepala daerah tak rajin turun ke
lapangan dan menjalankan fungsi kontrol. Karena praktik pungutan liar yang
kemudian sebagian disetorkan kepada oknum.
Memberi layanan publik yang baik
diterjemahkan dengan komputerisasi tanpa mengubah mentalitas birokrasi. Hingga
kini, mengurus perpanjangan KTP yang seharusnya gratis saja masih dimintai
sejumlah uang. Atau dengan bahasa yang lebih halus, ”seikhlasnya”. Atasan
membiarkan praktik yang sudah lama itu sebab dianggap sudah jatah pegawai atau
petugas rendahan agar korupsi lebih besar oleh atasan tak dipersoalkan
bawahannya.
Tanpa Pesona Tua
Di usia ke-485, Jakarta sebuah kota tua
tetapi tanpa pesona tua. Jika kita berada di kota-kota tua Eropa, terasalah
betapa pemerintah di sana mampu memanjakan kekunoan sebagai jejak peradaban
yang tak ternilai. Berjalan di atas jalan kecil berbatu warisan masa silam
membuat pejalan kaki terhubung dengan masa lalu dan jadi bagian dari sejarah.
Kekunoan dan kemodernan berdampingan dengan percaya diri, dengan pesona
masing-masing. Kekunoan Jakarta tergilas pembangunan infrastruktur modern.
Pembangunan kotanya tanpa konsep dan tak taat asas tata ruang. Tiada ruang
cukup untuk warisan kultur dari masa lalu. Yang berkuasa kultur modern
materialistis. Pembangunan kota yang sarat kapital. Karena itu, pembangunan
manusia pun diukur dengan besaran alokasi dana, bukan dilihat dari warga yang
kian berbudaya.
Meski uang penggerak utama dinamika Jakarta,
restorasi film terbaik karya Ismail Marzuki dibiayai dua lembaga asing yang
bermarkas di Singapura dan Amerika Serikat. Padahal, nama Bapak Perfilman
Indonesia itu diabadikan sebagai pusat kesenian dan kebudayaan di Jakarta.
Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang merupakan warisan dokumentasi pribadi
sastrawan kita pun terancam tutup karena minim dukungan finansial pemerintah.
Wajah Jakarta paling banyak berubah di antara
kota-kota besar Indonesia. Ia ingin menjadi kota segala-galanya. Pusat
pemerintahan, perdagangan, keuangan, hiburan, pendidikan, dan pusat kebudayaan.
Pesonanya menarik orang datang. Namun, Jakarta berkembang tanpa konsep yang
jelas dan juga tercerabut dari akar sejarah. Wajahnya kotor karena sampah dan
polusi. Ketimpangan sosial terlalu lebar. Amat minim ruang terbuka hijau.
Ini gambaran kota yang sakit dengan warganya
yang mudah bertengkar untuk hal sepele, stres, dan bunuh diri. Semakin tinggi
tingkat kriminalitas dan kejahatan narkoba. Premanisme, berlatar primordial
ataupun tidak, berkembang dan dirangkul penegak hukum meski mengacaukan sistem
hukum. Di Jakarta, intimidasi kelompok dan korps melenggang tak tersentuh
hukum. Jakarta adalah kota untuk manusia, bukan manusia untuk kota. Pembalikan
Jakarta menjadi kota yang sehat masih dimungkinkan di bawah kepemimpinan
gubernur yang negarawan dan tak berorientasi kekuasaan. Sosok itu tidak bermain
mata dengan politik primordialisme dan tak berutang politik pada kekuatan
kapitalistis.
Pemilihan gubernur yang akan datang memang
dilakukan secara demokratis. Gubernur terpilih pun akan melakukan loncatan
klaim ontologis, merasa diri paling baik dan berkualitas. Namun, demokrasi
mayoritas sejak awal tak pernah menjanjikan bahwa suara mayoritas berarti
benar, baik, dan berkualitas (Erich
Fromm, The Sane Society, 295).
Suara mayoritas hanya alternatif suara
minoritas. Mayoritas harus menentukan. Masih lebih baik bebas memilih meski
salah pilih. Itulah realitas dan dilema demokrasi. Sudah banyak contoh pasangan
kepala daerah hasil pilihan mayoritas yang kinerjanya kemudian mengecewakan.
Dan, rakyatlah yang harus membayar mahal untuk lima tahun kepemimpinannya.
Semoga rasionalitas pemilih di Jakarta mampu melihat dan menimbang kualitas
calon untuk Jakarta yang lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar