Miraj
dan Keagamaan Kita
Asep Salahudin ; Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya,
Tasikmalaya
Sumber : KOMPAS,
16 Juni 2012
Isra Miraj sebagai ritus yang selalu
diperingati umat Islam, interaksi simboliknya bukan hanya sebagai fragmen
religi kenangan tentang peristiwa kenabian masa silam. Isra Miraj juga punya
tautan makna dengan penghayatan keagamaan kita hari ini.
Relevansinya justru terletak ketika sejarah
pengalaman keberagamaan sekarang jauh panggang dari api dengan nilai-nilai
universal dan pesan substansial yang digemakan sang Nabi. Isra Miraj jadi
semacam interupsi dari sikap ”anomali” kita, dari perilaku keseharian yang kian
jauh dari khitah agama yang otentik.
Tentu saja khitah agama itu menanamkan
keinsafan tentang fitrah kemanusiaan untuk berserah diri secara total hanya
kepada Tuhan (transendensi), dan terlibat aktif membangun bumi manusia yang
santun berkeadaban (humanisasi).
Sejarah kelahiran agama selalu dimulai ketika
masyarakat sudah jatuh dalam kutub ekstrem pendewaan atas benda dan kuasa.
Agama (dengan para nabinya) lantang melakukan kritik sekaligus menawarkan hidup
yang berjangkar pada haluan moralitas agar kehidupan menemukan marwahnya.
Punahnya Daya Kritis
Mendiskusikan khitah agama hari ini justru
penting ketika agama sudah kehilangan daya kritisnya. Agama sudah makin
terpinggirkan dari kancah dinamika napas kemanusiaan.
Andai pun agama hadir, yang acap kali tampil
ke permukaan adalah agama yang sudah ”dibajak” oleh kepentingan golongan
(ormas), agama yang sudah tersandera oleh penafsiran yang serba tertutup,
eksklusif. Nyaris yang muncul bukan suara agama seperti digemakan sang Nabi.
Yang ada, lebih didominasi suara- suara yang sesungguhnya tak ada kaitannya
dengan otentisitas agama, kecuali sekadar hasrat meneguhkan keunggulan kelompok,
organisasi, dan laskarnya. Ya, agama yang sudah direduksi.
Hari ini, saya melihat agama tiba-tiba serupa
dengan partai politik. Yang dikedepankan adalah perburuan memperbanyak jemaah,
kegaduhan menyerang yang dianggap salah seperti perusakan rumah ibadah yang
sering terjadi akhir-akhir ini. Tak ubahnya parpol yang dibangun adalah
wajah-wajah militan, laskar berani mati, dan kecakapan mengorganisasikan diri.
Semakin militan, semakin dianggap religius, semakin berani ”menyerang” keluar,
kian dinobatkan sebagai pewaris para Nabi.
Tafsir yang direproduksi adalah citra Tuhan
yang maskulin. Mencuatlah, misalnya, pemaknaan jihad yang serampangan,
mengartikulasikan syariat secara dangkal. Padahal, dalam penelitian Sachiko
Murata dalam The Tao of Islam, citra
Tuhan yang feminin (maha pengasih, penyayang, pengampun) secara nominal jauh
lebih banyak daripada sisi atribut yang maskulin.
Jangan-jangan sikap agresif seperti ini
sebagai cermin ketidakpercayaan para pemeluk agama itu terhadap fungsi dan
peran agama dalam maknanya yang benar. ”Ketidakpercayaan” kemudian dipantulkan
dalam bentuk peneguhan agama dalam peran-peran yang tidak sesuai dengan etik
profetis agama dalam memperjuangkannya.
Persoalan internal sikap, serta, tafsir, dan
tindakan beragama belum terselesaikan di ranah bumi Nusantara yang plural,
tiba-tiba di sisi lain kita dihadapkan kepada fenomena globalisasi yang telah
menjadi bagian dari budaya dunia (world
culture) yang mengusung ”budaya pop”. Salah satu tawarannya yang tidak
kalah membahayakan dibandingkan dengan fundamentalisme fanatik dan bahaya laten
komunisme adalah ”agama pasar”.
Pesona Agama Pasar
Tentu agama pasar yang menjadi poros
kepercayaannya bukan lagi monoteisme dan kepasrahan kepada Sang Kuasa, tetapi
dengan sempurna berkiblat kepada daulat uang: ”moneytheisme”. Tema risalahnya tidak lagi alur cerita seputar
fitrah, ibadah, itikaf, kesederhanaan, dan akhirat, tetapi hal ihwal yang
berhubungan dengan bagaimana kita bisa menyalurkan hasrat kebendaan, ketamakan,
politik pragmatisme, dan gemuruh kebudayaan yang berujung pada hedonisme.
Dalam agama pasar yang dibincangkan bukan
lagi karisma Tuhan, apalagi kehadiran-Nya (presence)
yang ”mengawasi” kita, melainkan tubuh dengan segenap aksesorinya. Tempat
ibadahnya tentu bukan lagi di masjid, wihara, dan gereja, melainkan di mal,
supermarket, hipermarket, dan pasar swalayan lainnya.
Uang dipuja, kemegahan ditadaruskan, dan
manusia pun kemudian menjadi homo
consumers. Manusia tidak lagi memburu kesejatiannya dengan cara ”mengada”,
tetapi—meminjam tafsir Fromm—obsesi tidak
pernah henti untuk memiliki benda dan kuasa dengan agresif, penuh kedengkian
dan keserakahan. Ini wujud dari manusia yang tidak pernah puas, terus
mengakumulasi benda, walaupun harus dengan cara korupsi dan menghalalkan segala
cara.
Membeli bukan lagi karena nilai guna memenuhi
kebutuhan, melainkan karena keinginan meski tak paham untuk apa suatu barang
dibeli. Urusannya tak lagi untuk belanja, tapi lebih pada identifikasi diri
yang selalu berfantasi tentang simbol kekayaan.
Ia merasa terpuaskan kalau ”orang lain”
berdecak kagum tentang aksesori yang dipakainya. Ia akan bangga seandainya
orang lain menganggapnya berani berjihad ketika telah merusak tempat ibadah dan
sekian tempat yang dianggap sarang maksiat.
Di tengah manusia semacam ini jangan
mendiskusikan ihwal keutamaan akal (Descartes), keheningan roh (Hegel), Ada
transendental (Heidegger), kematangan iman (Kierkegaard), kedalaman cinta kasih
(Levinas), kebersamaan (Gabriel Marcel), kehendak menuju kuasa etis
(Nietzsche), kesunyataan (Ibnu Arabi), dan kemenyatuaan dengan Sang Kuasa
(Syekh Siti Jennar). Sebab, dalam konteks fenomena ”agama pasar” yang menjadi
tema bahtsul masa’il (kajian masalah)
adalah benda, target politik, dan kebencian kepada iman yang tidak sama.
Alhasil, di tengah fenomena keberagamaan kita
yang sedang dikepung pemahaman fanatik, tertutup, dan eksklusif—ditambah
kolonialisasi kultural dan tirani kognitif yang mengusung agama pasar—maka
merenungkan pesan-pesan rohaniah miraj menjadi amat penting disimak.
Miraj sejatinya menginjeksikan kepada kita
ihwal kesadaran bahwa menaikkan kualitas rohani jalannya tidak lain dengan
membangun harmoni dengan sesama. Inilah khitah agama. Ini pula pembuktian
kebenaran miraj seperti tecermin dalam sabdanya, ”Mereka yang mengharap kasih dari langit harus menebar damai di Bumi.”
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar