Menyinergikan
KADIN dan UMKM
Anton
Prasetyo ; Pemerhati Sosial,
Kontributor Kamar Dagang dan
Bisnis (KADIN) DIY
SUARA KARYA, 29 Juni 2012
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia tidak
berbatas jumlahnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM,
jumlah aset dan omset yang dimiliki oleh sebuah usaha menjadi salah satu
kriteria yang dipergunakan untuk bisa mendefinisikan sektor tersebut.
Usaha Mikro adalah usaha yang memiliki pendapatan aset maksimal 50
juta dan omzet 300 juta. Pendapatan asset 50 - 500 juta dan omzet Rp 300 juta -
Rp 2,5 miliar untuk Usaha Kecil. Sementara Usaha Menengah adalah pendapatan
asset 500 juta 10 miliar dan omzet 2,5 miliar 50 miliar.
Melihat realitas di lapangan, mayoritas pengusaha di seluruh pelosok
Indonesia adalah pengusaha mikro. Asset mereka belum mencapai 50 juta dengan
omzet kurang dari 300 juta. Dalam pada itu mereka berhak untuk mendapatkan
fasilitas guna meningkatkan usaha. Peningkatan ini menjadi penting karena
selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga juga untuk memajukan bangsa.
Perdagangan bebas ha-nya akan dimanfaatkan oleh negara-negara
dengan daya saing tinggi. Sementara negara lemah hanya akan menjadi objek
sasaran yang selalu dirugikan. Dan di sinilah pengusaha adalah ujung tombak
dalam menghadapi perdagangan terbuka. Indonesia sendiri hingga saat ini masih
sangat lemah dalam mengembangkan usahanya. Terbukti pengusaha dengan omzet dan
asset rendah masih menjadi mayoritas. Bahkan tren untuk menjadi pengusaha di
Indonesia masih sangat lemah.
Dari 169,33 juta penduduk usia kerja di Indonesi, pengusaha atau
entrepreneur hanya 564 ribu atau sekitar 0,24 persen. Padahal negara sukses
ekonomi adalah negara yang memiliki prosentase pengusaha tinggi. Negara-negara
G-20 rata-rata 5 persen merupakan pengusaha. Kita bisa melihat betapa Amerika
Serikat (AS) pengusaha sekitar 11,5 hingga 12 persen, Siangapura sebesar 7
persen, Cina 10 persen, India 10 persen.
Gairah Entrepreneur
Hingga saat ini gairah warga negara Indonesia untuk menjadi entrepreneur
masih sangat lesu. Bahkan banyak dari sarjana kita yang memburu pekerjaan.
Menjadi buruh diyakini menjadi prestasi yang tiada tara. Apalagi saat menjadi
buruh negara (baca: PNS), sudah tiada duanya. Sementara entrepreneur yang
sejatinya bisa memajukan perekonomian diri dan negara malah ditinggalkan.
Di sini tentu tidak pantas saat warga menjadi objek kesalahan saat
tidak memilih menjadi pengusaha. Minimnya pengetahuan dan informasi menjadikan
mereka berfikir instan. Dalam benak mereka, menjadi buruh, apalagi menjadi PNS
yang gajinya tetap setiap bulan jauh lebih beruntung dari pada menjadi
pengusaha. Padahal, menjadi pengusaha sejatinya memiliki kesempatan lebih besar
untuk bisa mendapatkan penghasilan tinggi.
Berakar dari sinilah menjadi PR adalah menyadarkan masyarakat
bahwa pilihan menjadi pengusaha adalah pilihan yang sangat tepat. Di sinilah,
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang merupakan rumah bersama para pengusaha,
yang menaungi seluruh pelaku usaha (koperasi, swasta, BUMN/BUMD) dalam rangka
meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan ekonomi nasional dapat
menunjukkan kiprahnya dalam menyelesaikan permasalahan warga.
Dalam pada itu banyak perusahaan atau lembaga yang siap untuk
memfasilitasi penelitian, peningkatan kapasitas (pelatihan) dan juga pertukaran
informasi bagi pelaku usaha. Sebagaimana yang dilakukan BI (Bank Indonesia),
dalam rangka pengembangan UMKM, dirinya melakukan kerja sama dengan beberapa
kementerian dan pihak lainnya yang dituangkan dalam bentuk Kesepakatan Bersama (Nota
Kesepahaman). Melalui kerja sama dimaksud diharapkan dapat diperoleh sinergi
antara BI dengan kementerian/ pihak lainnya dalam rangka pengembangan UMKM.
Program-program dapat dijadikan program kerja KADIN dalam rangka
meningkatkan kualitas UMKM di seluruh pelosok Indonesia. Peran serta KADIN
sangat diperlukan karena hingga saat ini warga belum siap untuk mendapatkan
fasilitas-fasilitas tersebut. Mulai dari informasi, proses-proses yang meski
dilalui, hingga menjalankan usaha masih sangat minim.
Secara nyata KADIN di Indonesia, termasuk DIY meski masih minim
telah melaksanakan program-program tersebut. Sebagai misal pada KADIN DIY
memiliki beberapa desa binaan di wilayah Kota Yogyakarta, Kabupaten
Gunungkidul, Bantul, dan Kulonprogo. Kegiatan pembinaan ini dilakukan secara
intensif, mulai dari tahap awal hingga akhir. Dalam perjalanannya, KADIN mampu
membuka kesadaran warga binaannya sehingga sadar pentingnya usaha. Di samping
itu dengan adanya wacana-wacana yang baru dan ilmu-ilmu yang diberikan, mereka
lebih bisa maju dalam berfikir dalam bidang usaha.
Kendati demikian, menjadi catatan bersama adalah warga di pelosok
desa tidaklah sama dengan orang-orang yang telah mengenyam bangku perkuliahan.
Pikiran-pikiran mereka masih sangat sempit dan sederhana. Sosio kulturan mereka
juga tidak bisa disamakan dengan orang-orang yang berada di kota. Maka dari
sinilah KADIN, selaku pelayan informasi dan media untuk mewujudkan kehidupan
ekonomi dan dunia usaha yang sehat dan tertib, harus bisa menyelam, memahami warga.
Tanpa dengan kebisaan untuk bisa berbaur dengan warga, sebesar dan sedahsyat
apapun program yang ditawarkan, tidak akan bisa sesuai dengan target yang
diinginkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar