Meningkatkan
Pendidikan Kaum Difabel
Siti
Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pasca
Sarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Universitas Negeri Yogyakarta
SUARA KARYA, 29 Juni 2012
Selama ini, pendidikan nasional kita masih belum banyak memberikan
perhatian serius kepada kaum difabel. Kaum difabel adalah mereka yang mempunyai
kemampuan berbeda, tidak seperti biasa. Sekali lagi, mereka bukanlah orang
cacat, melainkan berkemampuan berbeda. Sayang sekali, kemampuan mereka yang
berbeda ini kerap dianggap keganjilan, sehingga negara juga memberikan
pelayanan pendidikan yang masih ganjil.
Lihat saja berbagai fasilitas pendidikan di sekolah dan perguruan
tinggi kita. Kaum difabel belum banyak mendapatkan tempat dan fasilitas yang
layak. Belum banyak perguruan tinggi yang mau menerima kaum difabel. Ini jelas
mencederai UUD 1945 yang memberikan amanat kepada negara untuk memberikan
pelayanan pendidikan yang layak dan setara kepada semua warga negara.
Diskriminasi dalam pendidikan kaum difabel merupakan pelanggaran kepada
konstitusi kita.
Inilah yang mesti diluruskan bersama. Karena kalau dilihat dari
data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, dari 1.884.557 tuna netra di Indonesia,
yang belum bisa baca tulis braille diperkirakan mencapai 97 persen atau
1.828.220 jiwa. Jauh lebih besar dibanding tunanetra yang bisa baca-tulis braille. Lembaga yang menerbitkan buku braile di Indonesia adalah Balai
Penerbitan Braile Indonesia (BPBI).
Di bawah naungan Departemen Sosial, BPBI mencetak dan
mendistribusikan buku ke seluruh wilayah di Indonesia. Namun hingga 2006, BPBI
baru mencetak 35 judul buku baru. Plus 25 edisi kaset/talking book. Hasil terbitan BPBI antara lain adalah majalah, buku
sekolah untuk ebtanas, buku umum, keterampilan, dan komputer. Sedangkan
kaset-kaset rekaman adalah tentang psikologi dan cerita. Buku-buku dan kaset
itu didistribusikan ke 19 panti, 80 sekolah luar biasa (SLB), 132 sekolah dasar
luar biasa (SDLB), 85 yayasan/organisasi tunanetra, 636 perorangan, dan tiga
perpustakaan.
Untuk itu, persoalan mendasar yang harus kita selesaikan bersama
adalah menyediakan ruang publik yang mampu mengembangkan kemampuan intelektual
dan profesionalitas mereka. Tak lain dalam hal ini adalah perpustakaan dan
buku. Hampir seluruh perpustakaan umum di Indonesia belum menyediakan fasilitas
yang memadai bagi penyandang cacat, karena memang tidak ada anggaran khusus
yang diperuntukkan untuk pengadaannya. Distribusi buku dari BPBI belum memenuhi
standar publik.
Dalam konteks tersebut, ada beberapa catatan yang perlu
refleksikan. Pertama, membangun image publik bahwa penyandang cacat adalah
manusia sempurna, seorang manusia yang terlihat dari luarnya tidak sempurna
(cacat) bisa jadi sangat sempurna sebagai pribadi. Dengan image seperti ini, mereka akan merasa dimanusiakan, sehingga timbul
spirit dan optimisme baru mengarungi samudra kehidupan. Karena apapun yang
dilakukan pemerintah atau masyarakat tanpa spirit dan mentalitas diffable yang kuat, maka akan percuma,
sebagaimana dikatakan Tandon (1995), the
force of change is inside oneself; outsiders can only provide 'enabling
conditions'. No more. Artinya, penyandang cacat sendirilah yang harus
bangkit dan mempunyai keinginan kuat untuk berkembang; tidak hanya berdiam diri
menunggu bantuan. Di tengah keterbatasan fisik, ia bisa mencapai taraf hidup lebih
baik.
Kedua, setelah membangun mentalitas diffable, maka sudah saatnya masyarakat, khususnya yang bergerak
dalam bidang pendidikan untuk berkomitmen menyediakan buku dan fasilitas
perpustakaan yang layak dan memadai bagi diffable.
Dalam kontesk ini, menarik apa yang dilakukan Yayasan Mitra Netra Jakarta yang
meluncurkan program "1.000 buku untuk tuna netra". Program yang resmi
diluncurkan pada akhir Januari 2006 itu telah menarik minat masyarakat untuk
berpartisipasi. Program ini bertujuan untuk menyediakan alternatif buku bacaan
bagi para tuna netra dalam bentuk buku elektronik atau e-book. Saat ini buku
bacaan untuk mereka sangat masih minim karena hanya seputar buku pelajaran
saja, bukan buku-buku populer. Dengan program ini, Yayasan Mitra Netra berupaya
untuk menambah buku bacaan dengan cara melibatkan peran serta masyarakat.
Program "1000 buku untuk tuna netra" merupakan langkah
yang dilakukan untuk melakukan diversifikasi buku bacaan bagi penyandang cacat
khususnya tuna netra. Hingga kini, buku bacaan tersebut hanya tersedia dalam
bentuk buku braile, kaset hingga CD. Karena keterbatasan sistem, e-Book hanya
dapat dibaca di perpustakaan digital Mitra Netra yaitu Intranet. Namun
perpustakaan ini sudah terdapat di empat kota besar, yaitu Jakarta, Bandung,
Yogyakarta dan Makasar.
Kini, di belahan bumi Nusantara, penyandang cacat (diffable) telah menunggu kerja sosial
dalam memberdayakan potensi mereka. Peran perpustakaan daerah (Perpusda)
ditingkat lokal sangat besar.
Untuk itu, Perpusda perlu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak
dalam usaha menyediakan fasilitas buku bagi penyandang cacat (diffable). Kalau Yayasan Mitra Netra
mampu menggalang program "1000 buku untuk tuna netra", maka sangat
mungkin Perpusda bersama pemerintah daerah terkait menyelengarakan program
"2000 buku atau bahkan 10.000 buku untuk tuna netra." Dari pada uang
kas negara menjadi rebutan korupsi elite politik, alangkah lebih baik kalau
dana itu dialokasikan untuk penyediakan buku penyandang cacat (diffable). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar