Mendanai
Caleg
Muhammad Aziz Hakim ; Pengurus
Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
Sumber
: KOMPAS, 25 Juni 2012
Strategi Partai Nasdem yang akan mendanai
setiap calon anggota legislatif potensialnya sebesar Rp 5 miliar-Rp 10 miliar
sarat kontroversi.
Tak sedikit yang menganggap langkah itu tidak
etis, mendorong pada pragmatisme politik dan menyuburkan politik transaksional.
Terlepas dari beragam kontroversi ini, diakui atau tidak strategi tersebut
merupakan langkah cerdik Nasdem dalam menyiasati celah hukum yang terbuka dari
berbagai peraturan tentang partai politik maupun pemilu.
Tiga Celah Hukum
Setidaknya ada tiga celah hukum yang coba
dimanfaatkan Nasdem dalam konteks ini. Pertama, celah hukum terkait pendanaan
kampanye. Ketika strategi ini diapungkan Nasdem, sontak pandangan miring
mengarah kepada siapa penyandang dana itu. Telunjuk pun mengarah ke dua ”bos
besar” Nasdem, Surya Paloh dan Harry Tanoesoedibjo.
Pertanyaan selanjutnya, sebagai bos partai
dan sebagai anggota partai, bolehkah Surya Paloh dan Harry Tanoe
menggelontorkan dananya untuk partai secara tidak terbatas? UU No 2 Tahun 2008
jo UU No 2/2011 tentang Partai Politik dan UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
ternyata membolehkan. Artinya, berapa pun dana yang mereka gelontorkan atas
nama pribadi, sah secara hukum dan tidak ada aturan yang dilanggar.
Pasal 35 Ayat (1) Huruf (a) UU No 2 Tahun
2008 mengategorikan sumbangan perseorangan anggota partai termasuk dalam bagian
sumbangan yang sah menurut hukum yang pelaksanaannya diatur oleh AD/ART partai.
Tak ada ketentuan batasan sumbangan dalam pasal ini. Demikian pula soal
pendanaan kampanye legislatif, tak ada batasan berapa yang boleh digelontorkan
partai maupun yang keluar dari kocek pribadi calon.
Dengan demikian, strategi Nasdem ini jika dicermati
alurnya adalah Surya Paloh dan Harry Tanoe atas nama pribadi anggota partai
menyumbangkan dananya yang tak terbatas ke Nasdem. Selanjutnya, Nasdem
mendistribusikan dana itu kepada para caleg. Dalam alur ini tak ada ketentuan
hukum yang dilanggar. Jika dipandang tidak etis dan berpotensi menggiring pada
pragmatisme politik, maka yang keliru adalah peraturan perundang-undangannya
yang menyisakan celah untuk disiasati.
Kedua, celah hukum dalam upaya membajak caleg
potensial. Salah satu syarat mutlak untuk menjadi caleg dalam Pasal 51 UU No 8
Tahun 2012 tentang Pemilu adalah menjadi anggota parpol bersangkutan.
Sayangnya, tak ada batasan berapa lama caleg ini menjadi anggota partai
tersebut. Jadi, terbuka peluang munculnya caleg siluman yang mendadak menjadi
anggota partai hanya sekadar untuk menjadi caleg. Pun potensial memunculkan
caleg naturalisasi dan kutu loncat yang berpindah partai pada detik-detik akhir
pendaftaran caleg.
Rupanya, celah hukum ini dimanfaatkan dengan
baik oleh Nasdem. Dalam konteks inilah patut ditebak strategi Nasdem ini
sebagai upaya memancing caleg potensial, baik dari kalangan internal maupun
eksternal partai.
Dengan kata lain, upaya ini dalam rangka
membajak kader partai lain, terutama Partai Golkar, yang diyakini sebagai
”rumah lama” para kader Nasdem. Pun kader dari partai-partai menengah ke bawah
yang tak yakin terhadap performa partainya untuk lolos ambang batas parlemen.
Ketiga, partai sebagai penentu penggantian
antarwaktu. Sumbangan dana Nasdem tentu tidak gratis. Pasti ada konsesi dan
komitmen yang harus dijalankan caleg ketika sudah jadi anggota legislatif.
Konsesi ini dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 214 UU No
27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD, dan DPD.
Perlindungan itu dalam bentuk partai—selain Badan Kehormatan DPR—sebagai
institusi yang berhak mengusulkan penggantian antarwaktu anggota DPR dari
partainya.
Dengan perlindungan ini, Nasdem leluasa
membuat komitmen dengan para caleg terkait penggelontoran dana ini. Jika para
caleg nantinya melanggar komitmen, Nasdem dengan mudah melakukan penggantian
antarwaktu. Dengan situasi ini, para caleg tersebut sejatinya tersandera dengan
beragam komitmen itu. Tentu ini sangat menyiksa bagi para caleg idealis, tetapi
tidak bagi caleg yang pragmatis.
Membangun Sistem
Membaca strategi Nasdem ini, kita mendapat
gambaran bahwa masih banyak celah yang harus diperbaiki dalam membangun sistem
kepartaian dan pemilu di Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang harus
dibenahi. Pertama, mekanisme pendanaan partai dan sumbangan dana kampanye.
Sudah saatnya sumbangan atas nama anggota partai dibatasi.
Pembatasan sumbangan ini perlu supaya partai
tidak hanya dimiliki perseorangan dengan modal besar. Roh dari partai adalah
visi, misi, dan gagasan.
Kedua, syarat menjadi caleg. Tiadanya batasan
minimal berapa lama caleg menjadi anggota partai telah mengaburkan beberapa
hal: mengorbankan sistem kaderisasi, potensi memunculkan kader kutu loncat, dan
munculnya kader karbitan yang tidak paham partai. Sudah saatnya kita harus
memberikan batasan minimal sebagai anggota partai untuk menjadi caleg. Dengan
begitu, partai dipaksa untuk memunculkan caleg dari proses kaderisasinya
sendiri. Artinya, partai juga harus membenahi sistem kaderisasinya untuk
menghasilkan caleg-caleg berkualitas.
Ketiga, penggantian antarwaktu oleh
konstituen. Kita telah dua kali bereksperimentasi terkait penggantian
antarwaktu. Eksperimentasi pertama, dihilangkannya kewenangan partai melakukan
penggantian antarwaktu anggota legislatif. Imbasnya, partai tak bisa
mengendalikan kadernya di parlemen. Eksperimentasi kedua, dengan kembali
memberikan kewenangan kepada partai melakukan penggantian antarwaktu.
Eksperimentasi ini ternyata berdampak buruk berupa terkooptasinya anggota
legislatif oleh partai.
Setelah dua eksperimentasi itu, tidak ada
salahnya jika kita bereksperimentasi yang ketiga, berupa penggantian antarwaktu
oleh konstituen. Gagasan ini patut dipertimbangkan mengingat pemilihan anggota
legislatif saat ini berbasis pada perolehan suara terbanyak. Dengan ketentuan
ini, konsesi dan komitmen yang dibangun Nasdem menjadi kurang bermakna. Dan
pasti jika ada ketentuan ini, Nasdem pun sepertinya akan berpikir ulang untuk
menggelontorkan dananya. Wallahualam.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar