Memimpin
Perubahan Mengubah Kepemimpinan
Ari Harsono ; Mahasiswa S-3 Filsafat UI; Menulis Buku ‘Pemimpin itu
Pendapat’
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 2 Juni 2012
PERUBAHAN
menjadi kebutuhan mendesak umat manusia manaka la eksistensi kehidupan bersama
dirasakan kian jauh dari yang dicita-citakan. Akan tetapi, betapapun mendesak,
perubahan hampir selalu memperhadapkan para pendukung dan penolak mereka
sehingga tidak mudah diwujudkan. Di sinilah perubahan menjelma sebagai tegangan
kekuasaan dan lalu seakan-akan menunggu tibanya momen keterlepasan yang
terarah.
Bagi
bangsa kita, pengalaman perubahan paling monumental tentulah momen kemerdekaan,
keterlepasan dari kekuasaan penjajah. Saat itulah potensi, daya, dan kinerja
terbaik dari anak bangsa bersinergi menghasilkan kemerdekaan, lengkap dengan
perangkat dasar dan perangkat konstitutif negarabangsa yang berwawasan jauh ke
depan.
Namun,
perjalanan negarabangsa kita hingga sejauh ini masih banyak ditandai dengan
ketidakpuasan mendalam yang tak pelak menuntut perubahan-perubahan mendasar,
bahkan menyeluruh.
Gaya Kepemimpinan
Ketidakpuasan
mendalam dan luas yang kita rasakan saat ini ialah kinerja pemerintahan dalam
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Gaya kepemimpinannya dinilai tidak tegas, lambat, ragu-ragu, maju-mundur, dan lebih mematut diri dengan citra keberhasilan. Di satu sisi, tampak demikian adanya. Namun di sisi lain, kepemimpinan SBY terlihat dengan jelas menekankan kebersamaan, kesemuaan, dan kebersatuan anggota koalisi partai, bahkan DPR dalam membuat keputusan. SBY sering menyampaikan ajakan dan imbauan, bukan memberi instruksi atau perintah. Bagaimana memahami hal itu?
Gaya kepemimpinannya dinilai tidak tegas, lambat, ragu-ragu, maju-mundur, dan lebih mematut diri dengan citra keberhasilan. Di satu sisi, tampak demikian adanya. Namun di sisi lain, kepemimpinan SBY terlihat dengan jelas menekankan kebersamaan, kesemuaan, dan kebersatuan anggota koalisi partai, bahkan DPR dalam membuat keputusan. SBY sering menyampaikan ajakan dan imbauan, bukan memberi instruksi atau perintah. Bagaimana memahami hal itu?
Apakah
itu berarti SBY tidak memahami bahwa sistem pemerintahan yang tersurat dalam
konstitusi adalah presidensial?
Menurut
hemat saya, hal yang terakhir dapat kita coba cermati lebih saksama. SBY memang
pernah berkarier di dunia militer, tetapi ia lebih merupakan militer pemikir.
Sudah sejak sebelum SBY menjabat Kasospol ABRI (1998), publik mengenalnya
sebagai perwira tinggi yang tangkas dan suka berargumentasi. Ia salah satu
perumus back to basic ABRI (1997) dan dosen Seskoad (19891992). Pada 2004 SBY
menyele saikan program S-3 Ekonomi Pertanian IPB. Lalu dalam era reformasi, ia
mendirikan Partai Demokrat.
Nama
partainya itu tentu bukan ditetapkan secara kebetulan. Kata demokrat tentu pula
bukan dimaknai ala kadarnya, melainkan diupayakan menjadi suatu status dan
identitas bagi seluruh warga partai, terutama diri SBY sendiri sebagai salah
satu pendiri dan penggagasnya. Karena menyadari pentingnya status tersebut, SBY
tentu juga berkemauan dikenali dan mengenalkan diri sebagai pemimpin yang
demokratis.
Perilaku
pemimpin yang de mokratis berbeda secara jelas dari yang otoriter. Kalau yang
otoriter membuat keputusan `sendirian' dengan lebih bersandar pada otoritas,
pemimpin demokratis membuat keputusan dengan mengajak bersama sebanyak mungkin
anggota, warga, dan wakilnya. SBY tampak sering melakukan hal yang kedua ini.
Sayangnya, setelah bermusyawarah, SBY tidak segera membuat pilihan yang tegas.
Seolah-olah ia ingin keputusan atau pilihan itu merupakan tindakan bersama,
bukan tindakannya seorang diri dan ia hanya memfasilitasi.
Tampaknya
tanpa banyak disadari, SBY telah mencoba berusaha menjembatani atau membaurkan
`paradigma kepemimpinan ketua' yang memosisikan dirinya sebagai penentu akhir
suatu keputusan dengan `kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan'
yang lebih demokratis seturut Pancasila. Akan tetapi, karena hampir semua orang
Indonesia--agak mungkin juga SBY sendiri--masih menafsirkan sila ke-4 Pancasila
menurut rezim `paradigma kepemimpinan ketua', dalam arti praksis maupun
teoretis atau faktual maupun perseptual terjadilah kepemimpinan yang tidak
menentu dalam banyak hal.
Fasilitator Bangsa
Sila
ke-4 Pancasila mestinya kita indahkan sebagai pedoman dalam berdemokrasi untuk
membuat keputusan, terutama keputusan-keputusan ke negara-bangsaan. Sayang
sekali, amat sedikit yang menggali kembali apa semangat dan maksud semula sila
itu. Uraian yang sangat mirip dengan bunyi sila tersebut ternyata tersurat
dalam pidato M Yamin, 29 Mei 1945.
“Menurut
peradaban Indonesia, maka permusyawaratan dan perwakilan itu adalah di bawah
pimpinan hikmah-kebijaksanaan yang bermusyawarah atau berkumpul dalam
persidangan (Yamin, 1959: 97).“
Hasil
penggalian sila ke-4 Pancasila itu ternyata sangat mendukung apa yang disebut
sebagai `paradigma kepemimpinan pendapat' (opinion
leadership paradigm) yang mengoreksi `paradigma kepemimpinan ketua' yang
memiliki 20 kelemahan. `Paradigma kepemimpinan ketua' memiliki kelemahan inti,
yakni orang yang menjadi ketua belum tentu selalu logis, paling jujur, paling
adil, paling pandai, paling bijak di antara semua warga, tetapi telanjur
diteorikan selalu menjadi penentu terakhir sebuah keputusan. Padahal, semua
warga negara-bangsa menghendaki keputusan yang dibuat selalu logis, jujur,
adil, dst.
Menurut
`paradigma kepemimpinan pendapat', ke pemimpinan ialah fasilitasi pembuatan
keputusan secara bersama melalui uji logika dan uji kejujuran atas setiap
pendapat (argumen) yang dikemukakan siapa pun. Dalam hal pembuatan keputusan
yang menyangkut masalah negara-bangsa, fasilitasi dilakukan `fasilitator
bangsa' (presiden; fasilitator universitas = rektor). Sekalipun ia juga berhak
mengajukan pendapat (argumen), fasilitator bangsa tidak mengetuai, tetapi
memfasilitasi proses itu yang melibatkan beberapa ahli logika yang membantu
fasilitator. Pendapat yang tidak logis tidak dapat divoting, sedangkan yang logis disahkan menjadi keputusan bersama.
Karena
keputusan itu hasil bersama, tanggung jawab atas keberhasilan ataupun
kegagalannya juga milik bersama. Inilah konsekuensi kebersamaan musyawarah yang
sesuai dengan gotong royong Pancasila sekaligus lebih demokratis, bukan yang
oligarkis ataupun elitis--bahkan individualistis karena sang ketua seorang
diri-seperti praktik selama ini yang jelas-jelas tidak sesuai dengan Pancasila.
Dengan
demikian, tibalah kini momentum bagi para petinggi negara untuk kembali setia
kepada Pancasila, khususnya sila ke-4. Maknailah `memimpin perubahan mengubah
kepemimpinan' dengan `memfasilitasi perubahan mengubah kepemimpinan ketua
menjadi kepemimpinan pendapat'.
Bapak
SBY, terutama, yang pernah menyebut kata Pancasila sembilan kali dalam pidato
kenegaraan 16 Agustus 2007 di DPR, kini mempunyai kesempatan emas untuk
menorehkan tinta emas dalam sejarah bangsa Indonesia, keemasan yang
menyemburatkan cahaya gemilang hari depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar