Memburu
“Godot” Lapindo
Sumaryoto
; Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
Sumber :
SUARA MERDEKA, 26 Juni 2012
ENTAH apa yang berkecamuk dalam benak Hari
Suwandi sehingga korban semburan lumpur Lapindo itu nekat berjalan kaki dari
Sidoarjo ke Jakarta demi bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di Gedung
DPRD Jateng dan kampus IAIN Walisongo Semarang (SM, 21/06/12), ia kembali
mengungkapkan tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban. Ganti untung bagi
sebagian korban semburan lumpur itu belum tuntas, termasuk dirinya yang masih
kurang 20%, kurang lebih Rp 90 juta dari seharusnya Rp 350 juta.
Menunggu realisasi ganti rugi yang dijanjikan
Lapindo, bagi Hari, sama halnya dengan menunggu Godot yang tak jelas kapan
datangnya, seperti kisah getir dalam ’’Waiting
for Godot’’ karya dramawan Inggris Samuel Becket (1906-1989). Hari pun
memburu ’’Godot’’ ke Jakarta.
“Saya akan menghadap Pak SBY. Saya akan terus
bertahan di istana hingga Presiden mau menemui,” kata warga RT 8 RW 8
Kedungbendo Kelurahan Tanggulangin, Sidoarjo, Jatim, yang selama perjalanan,
sejak 14 Juni 2012 sudah menghabiskan lima pasang sandal jepit.
Barangkali tak begitu penting apakah sesampai
di Jakarta ia berhasil menemui SBY atau tidak. Yang penting, ia telah
menunjukkan perlawanan. Ia telah melawan keputusasaan dalam dirinya dan dalam
jiwa setiap korban lumpur Lapindo, bukan dengan diam, dan dengan demikian ia
telah menunaikan tugasnya: merawat asa! Ia sadar, dirinya bukan siapa-siapa.
Jadi, berharap bertemu Presiden sama dengan mimpi di siang bolong.
Berharap bertemu Ical pun barangkali ibarat
mimpi. Simak saja pernyataan Ical pekan lalu ketika diminta komentar wartawan
soal aksi Hari Suwandi. ’’Capek deh,’’ kata Ical.
Hari sebenarnya sadar, bila mau Ical dan SBY
bisa saja menyelesaikan soal ganti rugi itu segera, tanpa harus menunggu ia
berjalan kaki ke Jakarta, yang mungkin akan disusul oleh korban lumpur Lapindo
lainnya.
Mengapa SBY tak mau cepat? Barangkali ia tak
mau terus-menerus memberikan talangan bagi Lapindo. ”Pemerintah tidak akan
menalangi,” kata Menko Kesra Agung Laksono.
PT Minarak Lapindo Jaya memang menunggak
pembayaran kepada korban lumpur. Minarak selaku juru bayar Lapindo sudah
membayar Rp2,91 triliun dari total Rp 3,830 triliun kewajiban mereka, sehingga
masih tersisa Rp 918 miliar untuk korban di empat desa, yaitu Siring, Jatirejo,
Kedungbendo, dan Renokenongo. Sisa itulah yang kini sedang ditagih Hari dan
kawan-kawan.
Amanat
Konstitusi
Semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo terjadi
sehari setelah bencana gempa bumi Yogyakarta, Sabtu Wage, 27 Mei 2006. Enam
tahun bukan waktu singkat bagi Hari dan korban lumpur Lapindo lainnya untuk
menunggu ganti rugi.
Ganti rugi bagi korban lumpur di wilayah peta
terdampak sebenarnya menjadi tanggung jawab Lapindo. Tapi mengingat konstitusi
mengamanatkan negara melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah
maka ketika itu penulis selaku pimpinan Komisi V DPR, menyetujui pemerintah
memberikan talangan bagi Lapindo.
Ternyata talangan itu keterusan. Bahkan
berdasarkan lobi-lobi politik, korban lumpur di luar peta terdampak, yang
semula menjadi tanggungan Lapindo, kini di-cover
Badan Penanggulangan Lumpur Si-doarjo (BPLS). Tahun ini, BPLS kembali
mengucurkan anggaran Rp 561 miliar lagi. Sejak 2007 hingga kini negara
mengeluarkan Rp 27,4 triliun untuk penanganan lumpur Lapindo, dan keluarga Ical
konon hanya Rp 3,4 triliun.
Kini, Hari memburu Godot ke Jakarta. Apakah
Ical, atau bahkan SBY berkenan menemui dan kemudian menghadirkan Godot ke depan
korban lumpur Lapindo? Kita tidak tahu. Yang jelas, kita mengetuk hati nurani
dan kearifan semua pihak, terutama Ical dan SBY. Bagi Ical, tak ada alasan
untuk terus menunda pembayaran sisa ganti rugi, bagaimanapun caranya. Bagi SBY
pun, mestinya bisa menekan Ical melalui koalisi partai di Setgab untuk segera
melunasi ganti rugi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar