Kejahatan
Narkotika Berbalut Terorisme
Awaluddin
Abdussalam ; Epidemiologis dan Sanitarian,
Kabid
Bina Program RSUD Kabupaten Brebes
Sumber :
SUARA MERDEKA, 26 Juni 2012
"Saat
ini banyak sindikat memperdagangkan narkoba untuk membiayai kejahatan lainnya,
termasuk terorisme"
GRASI untuk Schapelle Leigh Corby, warga
negara Australia, terpidana 20 tahun kasus penyelundupan ganja di Bali, menjadi
preseden buruk, kontraproduktif dengan hasil spektakuler yang dicapai Badan
Narkotika Nasional (BNN). Padahal pada 12 Juni lalu di Bali BNN menjadi tuan
rumah Konferensi Internasional Penegakan Narkotika (International Drugs Enforcement Conference/IDEC).
Konferensi bertema ‘’Enhancing The Spirit of International Partnership to Achieve the
Greatest Succes on Fighting Drug Crime’’ itu dihadiri 305 penegak hukum
bidang pemberantasan kejahatan narkotika dari 79 negara.
Kejahatan narkotika merupakan transnational
crime dengan keterlibatan jaringan sindikat lintas negara, yang meliputi negara
produsen, negara transit, dan negara tujuan pemasaran. Jaringan ini
dikendalikan secara rahasia, melibatkan multikewarganegaraan, dan menggunakan
berbagai modus operandi. Karena itu, penanganannya memerlukan kerja sama
internasional.
BNN melaporkan bahwa ancaman narkoba dunia saat
ini menunjukkan peningkatan serius, dengan makin berkembangnya simbiosis
mutualisme antara satu kejahatan lintas negara dan kejahatan lintas negara
lainnya. Sebut saja misalnya penyelundupan orang dengan narkoba, penyelundupan
senjata dengan narkoba, dan terorisme dengan narkoba (narcoterrorism).
Jika dulu jaringan itu memproduksi dan
menjual narkoba dalam demi kepentingan ekonomi semata, kini paradigma mulai
berubah. Saat ini banyak sindikat memperdagangkan narkoba untuk membiayai
kejahatan lainnya, termasuk terorisme.
Sebagai
Korban
Indonesia menghadapi permasalahan sangat
kompleks. Di samping terus berpacu melawan sindikat narkoba, di sisi lain harus
mengurusi korban narkoba. Hasil penelitian BNN dengan UI (2011) menunjukkan
bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba mencapai 2,2% atau sekitar 4,7 juta
jiwa dari total penduduk usia 10-59 tahun. Diprediksi 2015 meningkat menjadi
2,8% atau sekitar 5,1 juta jiwa. Padahal pemerintah mencanangkan ‘’Indonesia
Bebas Narkoba 2015’’.
Pergeseran paradigma penanganan
ketergantungan narkotika dimungkinkan terjadi seiring mulai diperkenalkannya PP
Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
Kriminalisasi terhadap pemakai atau pengguna narkotika yang selama ini terjadi
akan ditoleransi.
Sebenarnya, sebagian besar pemakai atau
pecandu merupakan korban sehingga layak bila segera mendapat layanan kesehatan,
bukan dengan memenjarakan. Stigmatisasi dan marginalisasi akan menjadikan
mereka sulit dijangkau, bahkan merasa terbuang dalam keterasingan dan
ketakutan.
Jauh sebelum penerapan aturan ini, ada upaya
penanganan pemakai atau pengguna narkotika tidak lagi melalui pendekatan
kriminalisasi. Ada Surat Edaran Ketua MA Nomor 07 Tahun 2009 tentang
Menempatkan Pemakai Narkoba ke Panti Terapi dan Rehabilitasi yang ditujukan
kepada ketua Pengadilan Tinggi dan ketua Pengadilan Negeri.
Memenjarakan pemakai atau pengguna narkotika
bukan langkah tepat karena mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.
Belum lagi, kondisi LP saat ini tidak mendukung karena dampak negatif
keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat memperburuk kondisi
kejiwaan dan kesehatan napi narkotika dan psikotropika.
Karena itu, pemkab/ pemkot seharusnya
mengintegrasikan program penanggulangan narkotika di puskesmas atau rumah sakit
tertentu, seperti pengurangan dampak buruk, penyuntikan yang aman ataupun memberikan
kemungkinan substitusi terhadap jenis narkotika yang telah direkomendasikan ke
arah penyembuhan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar