Masalah
Perdesaan dan RUU Desa
Robert MZ Lawang ; Guru Besar Emeritus Sosiologi FISIP UI,
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Widuri Jakarta
Sumber : KOMPAS,
15 Juni 2012
Ada banyak masalah perdesaan yang
didiskusikan selama seminar sehari, 5 Mei 2012, di Kantor Perwakilan Kompas
Yogyakarta.
Salah satunya diangkat kembali di sini dengan
sedikit lebih sistematis. Pokok pikiran utamanya: masalah yang dihadapi orang
desa saat ini terlalu besar untuk hanya dapat ditangani dengan satu produk
hukum yang mungkin nanti bernama UU tentang Desa kalau sekiranya mendapat
persetujuan DPR. Wacana yang muncul, apa mungkin merancang suatu UU Pokok
tentang Desa?
Pandangan Negara
Untuk menyederhanakan, kita asumsikan saja
dulu bahwa yang dimaksudkan dengan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak
tradisionalnya itu adalah desa (atau nama lainnya). Penggunaan konsep desa
seperti itu di sini kadang-kadang ditukarbalikkan dengan konsep kesatuan
masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya. UUD 1945 menyebutkan negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat
dan prinsip NKRI yang diatur UU.
Kalimat ini mengandung tiga implikasi yang
dapat menghilangkan hakikat ”pengakuan dan penghormatan terhadap
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum dan hak-hak tradisionalnya” sehingga hampir
tak ada makna untuk eksistensi kesatuan masyarakat itu. Mengapa? Pertama,
”sepanjang masih hidup” merupakan pengakuan bersyarat yang paling optimal, atau
kesatuan masyarakat itu bukan elemen struktural esensial dari NKRI.
Dengan kata lain, Konstitusi mengakui dan
menerima untuk menolak NKRI, dan menolak prinsip dasar negara Bhinneka Tunggal
Ika, dan akhirnya menjadi tidak jelas. Saya sangat khawatir kalimat bersyarat
itulah yang digunakan sebagian orang yang tak bertanggung jawab untuk menafikan
eksistensi kesatuan masyarakat hukum itu, terutama di luar Pulau Jawa-Bali (inner islands). Lebih memprihatinkan
lagi kalau kenafian itu sudah dilegitimasi oleh UU sektoral yang simpang siur.
Kedua, ”perkembangan masyarakat” adalah
pengakuan dan penghormatan bersyarat kedua yang tak kalah tragis. Siapa yang
bertanggung jawab sehingga perkembangan masyarakat di Indonesia berjalan
timpang? Selain pemerintah, tentu saja masyarakat itu sendiri dan globalisasi
yang setiap saat memengaruhi desa, diminta atau tidak diminta, baik atau tidak
baik. Kalau globalisasi diwarnai kapitalisme dan diikuti pola penanaman modal
yang tak terkontrol karena simpang siurnya UU sektoral, kesatuan masyarakat
hukum adat itu pasti terancam musnah, yang memang dimungkinkan oleh konstitusi
negara kita.
Karena RUU tentang Desa memasukkan pengakuan
dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dalam ”Menimbang”,
saya khawatir dasar legitimasi untuk melecehkan dan akhirnya meniadakan
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum menjadi lebih kuat lagi dan menambah barisan
produk hukum yang antidesa.
Ketiga, sesuai ”prinsip NKRI” yang kalau tak
dikontrol akan jadi hubungan asimetris antara kesatuan masyarakat hukum adat
dan negara/pemerintah di mana kesatuan masyarakat hukum adat harus tunduk pada
negara/ pemerintah lebih daripada sebaliknya. Ini tentu saja berlawanan dengan
pengakuan dan penghormatan terhadap mereka. Orang kampung di desa bilang: ini
omong kosong. Dari ketiga argumentasi itu, jelas ada yang tak beres di negara
kita, terutama terkait masyarakat hukum adat (desa), konstitusi negara, produk hukum
mulai dari UU sampai dengan perda di tingkat kabupaten. Tesis tentang sepak
terjang kita bernegara yang anti- desa kembali muncul di sini dan jadi semakin
berbahaya.
Status Permanen Desa
Status permanen desa adalah antitesis dari
pengertian tentang desa menurut negara. Yang dimaksudkan dengan status desa
permanen adalah kepastian bahwa desa atau kesatuan masyarakat hukum adat itu
tak bisa diubah, apalagi dihilangkan. Kepastian ini penting karena di situlah
letak esensi NKRI itu.
Status permanen mempunyai dua dimensi statis
dan dinamis. Statis artinya kesatuan masyarakat hukum itu adalah komponen
struktural NKRI yang kalau dihilangkan sama dengan menghilangkan negara sebagai
keseluruhan. Sementara dinamis artinya kesatuan masyarakat hukum itu berkembang,
baik karena kemampuan yang ada pada masyarakat itu sendiri maupun karena
hubungan strukturalnya dengan negara yang memberinya arti baru yang harus lebih
baik.
Orang Papua, misalnya, harus menjadi lebih
mudah untuk memodernisasi diri karena dia komponen struktural negara. Hanya
dengan begitu Bhinneka Tunggal Ika dan negara kita bertahan.
Status permanen desa juga antitesis dari
kecenderungan arus utama sistem birokrasi, pendidikan, pembangunan, kesehatan,
dan institusi apa saja yang bias ibu kota. Hasilnya adalah penguasaan, tak
jarang eksploitasi oleh orang kota. Hubungan kota-desa berubah jadi penetrasi
kota yang menghilangkan hubungan antara orang desa dan kawasan sekitar. Alih
fungsi lahan contoh paling jelas dan menakutkan.
Status permanen desa juga antitesis dari
sistem ilmu pengetahuan yang berkembang di Indonesia yang tak mengakar pada
pengetahuan lokal. Desa sebagai tempat (dimensi statis) tidak menjadi ”kampus”
bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan ilmu. Sebaliknya ilmu tentang desa di
Indonesia lebih banyak dikuasai orang asing daripada ilmuwan kita sendiri.
Status permanen desa merupakan konsep
pembangunan (modernisasi) perdesaan dari dalam. Sejak penjajahan Belanda, desa
hanya merupakan hulu dari suatu sistem produksi, tepatnya sebagai penghasil
bahan mentah. Sementara hilir yang memiliki nilai tambah beratus-ratus kali
lebih besar dikuasai oleh orang luar desa, bisa kota, atau luar negeri. Sebagai
konsep pembangunan, proses hilirisasi sistem produksi sedapat mungkin ditahan
di kawasan perdesaan.
Dengan permasalahan desa seperti itu dan
gagasan untuk memastikan status permanen desa, desa harus dilihat sebagai desa,
bukan yang berevolusi ke kelurahan seperti yang muncul dalam salah satu pasal
RUU tentang Desa. Desa adalah desa yang lama-kelamaan jadi desa modern.
Pertanyaannya: UU seperti apa yang dapat menjamin kepastian status permanen
desa?
Dengan analogi UU Pokok Agraria tahun 1960,
tampaknya perlu menggagas sebuah UU Pokok tentang Desa yang menjadi dasar bagi
semua UU sektoral lain terkait desa. Orang yang pernah membaca kajian tentang
disharmoni hukum di Indonesia akan sampai pada kesimpulan, desa sudah berada di
ambang kerumitan luar biasa sehingga benar kata perwakilan pemerintah dalam
seminar itu, desa sudah tak punya apa-apa lagi.
Rupanya dalam proses perjalanan bernegara
selama ini, itulah hasilnya. Untuk menyusun suatu UU Pokok tentang Desa, perlu
keberanian besar, terutama untuk menata kembali produk hukum yang telanjur
menjadi dasar kebijakan pembangunan desa yang kurang mendukung usaha
peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Di balik itu tentu saja ada
kepentingan-kepentingan ekonomi-politik yang jarang memihak pada orang desa.
Karena itu, banyak peserta seminar pesimistis dengan gagasan ini, tak sedikit
juga yang merasa kalau RUU itu menjadi UU, besar kemungkinan tidak efektif.
Buat apa membuat UU kalau tak efektif? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar