Indonesia
Menyongsong Rio+120
Posman Sibuea ; Guru Besar di Departemen Teknologi Hasil
Pertanian,
Universitas Katolik Santo
Thomas, Medan
Sumber : SINAR
HARAPAN, 14 Juni 2012
Bagaimana kesiapan
pemerintah Indonesia menyambut UN
Conference on Sustainable Development, Rio+20, di Rio de Janeiro, Brasil,
13-22 Juni 2012. Konferensi yang merupakan lanjutan KTT Bumi setelah 20 tahun
lalu di tempat yang sama mengusung tema ”The
Future We Want”.
Penetapan tema ini amat penting dimaknai ketika sejumlah negara di seluruh dunia masih dibayangi ancaman krisis finansial global. Krisis ini bertambah berat karena diikuti persoalan serius terkait dengan degradasi sumber daya alam, energi, lingkungan, dan pangan.
Di Indonesia
tantangannya lebih berat lagi di tengah model pembangunan ekonomi yang
dikembangkan cenderung bersifat ekstraktif terhadap sumber daya alam dan
berjangka pendek. Upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber
daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.
Pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup rakyat namun tidak diimbangi upaya konservasi tampak mulai menampilkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Fenomena pemanasan
global merupakan isu lingkungan yang demikian pelik untuk diperhatikan yang
tidak hanya bersifat lokal, tetapi global. Pemanasan global telah menjadi
monster yang setiap saat dapat mendatangkan bencana bagi hidup dan kehidupan
manusia.
Kerusakan Lingkungan
Kerusakan Lingkungan
Pemahaman terhadap perusakan lingkungan hidup sudah dimulai sejak 1960-an dan 1972, PBB menyelenggarakan konferensi tentang lingkungan hidup (United Nation Conference on the Human Environment) di Stokholm; mengangkat isu kerusakan lingkungan hidup.
Pembicaraan global tentang pembangunan berkelanjutan semakin kuat diperdengarkan pascakonferensi Stokholm, yang mendorong diadakan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg dan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim 2007 di Bali. Sayangnya, pasca-KTT, kerusakan lingkungan hidup bukan berkurang, namun bertambah-tambah. Dampak negatifnya sudah dapat dirasakan masyarakat.
Para petani di sejumlah daerah di Indonesia gagal panen karena musim kemarau lebih lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Petani di Thailand harus menghadapi banjir berkepanjangan selama beberapa bulan sehingga produksi pangan mereka terbengkalai.
Australia mati-matian
mengatasi banjir yang menghanyutkan peternakan sapi dan ribuan penduduk
kehilangan tempat tinggal. Masyarakat AS mengalami badai dahsyat beberapa tahun
belakangan ini, yang tidak pernah mereka alami selama100 tahun terakhir.
Berbagai bencana lingkungan semacam ini kian kerap terjadi dan seolah-olah menjadi sebuah siklus yang harus dihadapi manusia. Perubahan iklim memang sudah terjadi karena suhu permukaan laut naik secara bermakna. Secara hipotetis semakin tinggi suhu permukaan laut – yang diakibatkan tingginya kadar CO2 di selubung atmosfer – akan diikuti semakin sering terjadi angin topan.
Konsekuensi tingginya kadar CO2 di atmosfer adalah terbentuknya selimut rumah kaca yang menghalangi pantulan panas matahari. Yang seharusnya dipantulkan ke angkasa tertahan karena lapisan CO2 yang kian tebal.
Penelitian
menunjukkan selama 650.000 tahun kadar CO2 di atmosfer tidak pernah menyentuh
level melebihi 300 ppm (part per million).
Namun, saat ini sudah mencapai 400 ppm dan akan terus membuih mencapai 1.000
ppm apabila tidak dilakukan mitigasi. Meningkatnya kadar CO2 mendorong suhu
udara global kian meningkat.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, suhu rata-rata Bumi selama 100 tahun terakhir naik 0,74 derajat Celsius.
Kenaikan itu cukup
untuk memicu lebih banyak badai di Atlantik Utara, mencairnya sungai es di muka
Bumi, perubahan pola cuaca yang memengaruhi curah hujan – hujan terlalu banyak
atau terlalu sedikit sama buruknya untuk manusia – dan muka air laut
rata-rata naik 3,1 cm selama 1993-2003.
Perubahan iklim yang terjadi tidak bisa dipungkiri disebabkan aktivitas manusia. Sejumlah inisiatif telah diusulkan pemerintah Indonesia dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim 2007 di Nusa Dua, Bali untuk membantu mengatasi perubahan iklim.
Salah satunya adalah
program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (Reduced Emisions from Deforestation and Degradation/REDD).
Deforestasi merupakan penyebab munculnya pemanasan global yang menyebabkan
terjadinya perubahan iklim.
Seiring dengan itu, program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi bisa terlaksana jika dua syarat bisa dipenuhi. Pertama, harus meningkatkan potensi produksi dengan cara yang ramah lingkungan hidup.
Kedua, menjamin
terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Dalam
perkembangannya maka kini dikenal istilah green
economy atau ekonomi hijau khususnya dalam dunia bisnis.
Tanpa Merusak
Tanpa Merusak
Ekonomi hijau (green economy) masih belum populer di Indonesia. Di sejumlah negara maju yang telah menerapkan ekonomi hijau telah memberikan inovasi terdepan. Bukan hanya dari sisi teknologi, namun juga dari sisi penghematan energi dan kelestarian lingkungan.
Program model ekonomi hijau yang sedang diterapkan di Indonesia dalam bingkai pembangunan berkelanjutan adalah Reducing Emission from Deforestation and Degradation. Program REDD diharapkan menjadi “jembatan” bagi Indonesia untuk masuk dalam ruang ekonomi hijau yang menjanjikan pembangunan yang lebih rendah karbon.
Program pemerintah yang mengajak seluruh rakyat melakukan gaya hidup “hemat energi”, Indonesia membutuhkan pembangunan ekonomi yang tidak business as usual, namun lebih pada green economy demi kemakmuran dan kesejahteraan, tanpa memperbesar risiko kerusakan lingkungan. Pembangunan ekonomi yang berkeadilan sama pentingnya dengan meminimalkan kerusakan lingkungan.
Perubahan iklim sudah terjadi dan manusia harus mengubah gaya hidupnya bila ingin selamat. Gaya hidup manusia yang boros energi ke perilaku hemat energi akan menyelamatkan lingkungan hidup.
Konsumsi energi
berlebihan mendorong eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi konsumsi yang
diciptakan, bukan konsumsi yang lahir karena kebutuhan dasar. Untuk memenuhi
konsumsi itu, bahan bakar fosil dieksploitasi dan tanah untuk pertanian
dirambah.
Pembangunan yang hanya business as usual telah mengakibatkan biaya lingkungan yang cukup mahal. Inisiatif ekonomi hijau yang mulai ada di Indonesia masih diadang sejumlah tantangan dalam penerapannya. Proses produksi dan produk-produknya belum memiliki ciri-ciri ramah lingkungan dan menjadikan ”hijau” sebagai salah satu kriteria utama kemampuan daya saing bisnis.
Salah satu konsepsi ekonomi hijau dapat dilihat dari sistem biodigester yang menghasilkan biogas. Limbah kotoran ternak yang semula tidak memiliki nilai ekonomi bisa bermetamorfosis menjadi energi ramah lingkungan dan mendatangkan penghasilan serta lapangan kerja.
Permasalahan
lingkungan apabila dikelola dengan pendekatan ekonomi hijau akan meraih manfaat
ekonomi dan juga sosial.
Ekonomi hijau menekankan aspek pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi secara bersamaan. Program ini dapat menjadi desain penyelesaian dan keberlangsungan pembangunan yang berkelanjutan sekaligus menjadi solusi pengurangan dampak perubahan iklim.
Oleh karena itu, setiap kegiatan pembangunan dalam bingkai ekonomi hijau harus memiliki kriteria daya saing yang menempatkan prinsip kelestarian lingkungan dalam setiap keputusan bisnisnya.
Daya saing ini tidak
hanya sebatas pada ketersediaan sumber daya alam, kapital dan kemajuan
teknologi, namun juga modal sumber daya manusia. Ke depan, ekonomi hijau akan
menjadi pilihan terbaik bagi Indonesia, dalam rangka pembangunan yang pro-poor dan pro-growth tanpa merusak lingkungan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar