Lapuknya
Demokrasi Lokal
Robert
Endi Jaweng ; Direktur
Eksekutif KPPOD Jakarta
Sumber :
KOMPAS, 26 Juni 2012
Awal implementasi otonomi, khususnya
2001-2004, publik menjadi sering mendengar istilah raja-raja kecil di daerah.
Para bupati dan wali kota menjadi berkuasa dan euforia otonomi membuncah
sebagai ekspresi kebebasan baru pascarezim otokrasi-sentralistik Orde Baru.
Dampaknya, antara lain, berbagai peraturan
daerah (perda) yang mendistorsi iklim usaha dan diskriminatif secara sosial
ataupun praktik otonomi yang cenderung kebablasan.
Berbagai masalah tersebut ternyata masih
memenuhi lembaran otonomi hingga hari ini. Namun, istilah raja kecil mengalami
pemekaran makna, terutama setelah UU Pemda tahun 2004 mengubah sistem pemilihan
kepala daerah: dari dipilih DPRD ke pemilihan langsung oleh rakyat.
Memanfaatkan celah kebijakan dan perilaku
pemilih yang rentan, para kepala daerah membangun dinasti kekuasaan lokal
melalui pola sirkulasi dalam lingkaran privatnya: keluarga. Tabiat mereka bak
para raja: mewariskan takhta kepada anak, istri, dan kerabat.
Transisi Tidak Tuntas
Dinasti politik ini adalah bukti nyata
lapuknya politik lokal yang demokratis. Kalau demokrasi adalah soal terbukanya
struktur kesempatan bagi setiap warga untuk terlibat dalam berbagai pilihan
politik, dinasti jelas menghadang akses ke sana. Proses demokratisasi menjadi
tidak sehat dan terancam kandas.
Dalam konteks pilkada, arena permainan
menjadi tak adil karena privelese lalu direkayasa kepala daerah untuk
memuluskan langkah kerabatnya. Alokasi APBD dan program pemda lalu dipakai guna
mengarahkan dukungan publik bagi pewarisnya. Inilah pelanggaran hak asasi warga
yang banyak terjadi.
Maka, dalam RUU Pilkada yang saat ini sedang
dibahas di DPR, pemerintah menggagas opsi larangan bagi kerabat incumbent
mencalonkan diri dalam pilkada pada periode setelahnya. Sebagai ikhtiar
keadilan politik, ini adalah gagasan afirmasi bagi publik, sekaligus mencegah
favoritisme dan diskriminasi.
Namun, betapapun pentingnya gagasan ini,
sumbangannya dirasa masih parsial bagi penataan pilar demokrasi lokal kita.
Dinasti politik hanya puncak gunung es dari pelapukan politik lokal yang
berlangsung jauh lebih serius, bahkan sesudah kita berotonomi dewasa ini.
Pelapukan politik lokal itu patut dibaca
dalam konteks besar, yakni tak tuntasnya transisi rezim desentralisasi. Secara
historis, otonomi kita jelas lahir dalam kondisi krisis, tidak normal.
Munculnya eksperimen kebijakan yang beralaskan UU No 22/1999 adalah jawaban
atas krisis yang melilit tata kelola organisasi negara-bangsa saat itu.
Ironisnya, premis mayor yang mengisi kerangka legal dan kebijakan otonomi
justru dibangun di atas asumsi seolah kita berotonomi di masa normal sehingga
masalah transisi rezim tidak diwadahi pengelolaannya.
Oligarki Kekuasaan
Dinasti berkorelasi erat dengan oligarki
kekuasaan yang bersalin rupa di banyak daerah. Akarnya terletak pada power-relation yang timpang antara
lapisan kuasa-dominan dan sisanya. Bahkan, di internal partai—pranata yang
konon menjadi kawah kaderisasi pemimpin—pengisian posisi kunci memberat ke
dominasi elite.
Maka, mereka tidak resisten terhadap
perubahan kelembagaan, seperti pilkada langsung, tetapi justru menyambut
antusias ”tantangan” yang lahir dari proyek kaum institusionalis. Mereka paham
betul kalau komponen struktural kekuasaan utama tak banyak bergeser ke blok
demokrasi. Apalagi, pilkada berbiaya mahal sehingga politik konstituen hanya
mungkin bagi kaum plutokrasi yang mapan secara ekonomi.
Maka, momentum desentralisasi dibajak menjadi
ajang rekonsolidasi kekuatan lama, membuat mereka tetap bercokol sebagai aktor
dominan dalam lanskap yang terkesan berubah. Hasilnya, local capture semakin
menguat dalam kebijakan di daerah ataupun distribusi sumber daya politik,
ekonomi, dan fiskal (APBD). Maka, setelah 12 tahun desentralisasi, faedah
otonomi masih saja tak nyata bagi warga.
Langkah Sinergi
Saat RUU Pilkada berupaya memotong arisan
kekuasaan elite, langkah strategis lain mesti dilakukan, baik pada aras
instrumentasi kebijakan maupun kerja politik konkret. Semua itu didorong guna
menjamin keadilan politik lewat sistem demokratik untuk membuka segala sumbatan
agar akses kekuasaan terbuka dan menarik garis batas bagi elite dominan lama.
Maka, pertama, RUU pilkada perlu mengatur
pula mekanisme demokrasi internal partai dalam memutuskan calon yang akan maju
pilkada. Oligarki dalam partai adalah serius dan nyata, tetapi selalu dilihat
sebagai urusan internal partai. UU Parpol pun tak bisa menjangkau perkara ini.
Instrumen kendalinya adalah lewat RUU Pilkada dengan, antara lain,
memberlakukan model konvensi atau pemilihan internal yang diawasi KPUD
setempat.
Kedua, politik berbiaya mahal harus
dieliminasi dari sisi sumber sekaligus belanja pilkada karena tuntutan
transparansi pengelolaan dana kampanye jelas terasa absurd. Jenis-jenis
kegiatan yang selama ini selalu dimenangi kandidat bermodal besar (iklan,
kampanye) sebaiknya dikelola dan dibiayai KPUD.
Ketiga, publik yang gemar-kagum (idolaisme)
kepada pejabat/kerabatnya ataupun yang rentan politik uang merupakan basis
sosial rapuh bagi upaya pendalaman demokrasi. Di banyak daerah, pemilih
emosional dan pragmatis ini jelas jadi ladang subur kemenangan kandidat
bermodal jumbo.
Menjadi tantangan bagi elemen prodemokrasi di
media massa, kampus, dan LSM untuk membangun citizen politics dan warga yang semakin sadar harkat politik
demokrasi.
Dinasti politik dan pelapukan demokrasi lokal
jelas bukan hanya masalah pilkada, melainkan juga berpengaruh pada seluruh
agenda desentralisasi karena mereka memotong akses kesejahteraan dan membajak
nasib publik. Inilah tantangan berat bagi gerak otonomi hari ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar