Ketika
Rasa Keadilan Terusik
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 1 Juni 2012
KINI
giliran Kalimantan menyatakan keberatan terhadap kebijakan yang dirasa tidak
adil bagi wilayah mereka. Alasannya, kelangkaan BBM bersubsidi. Apa pun yang
mendasari rencana ancaman blokade total jalur yang sedianya digunakan untuk
menyalurkan batu bara ke Jawa, itu rasanya bukan pertimbangan ekonomi semata.
Mungkin semula ada anggapan telah terjadi pengabaian oleh pusat terhadap
kepentingan pulau terbesar di Nusantara itu. Syukur masalah tersebut akan
teratasi.
Berkaitan
dengan rasa ketidakadilan, letupan-letupan konflik yang terjadi di Indonesia
sejak proklamasi kemerdekaan disinggung sepintas oleh Bapak Jusuf Kalla (JK)
dalam dialog di ASEAN Foundation awal
pekan ini. Dia memberikan keynote address
yang bertema Refleksi tentang berdirinya
Institut untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi ASEAN dan bagaimana lembaga itu
bisa membantu menjaga perdamaian. Intinya, negarawan asal Sulawesi itu
berpendapat tiap konflik harus diteliti benar apa yang menjadi akar
permasalahannya.
Tak
lama setelah kemerdekaan memang ada gerakan politik yang menghendaki berdirinya
negara Islam. Itu berawal di Jawa Barat dan meluas ke perbatasan Jawa Tengah,
kemudian ke Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan akhirnya ke Sulawesi. Gerakan
politik itu disebut Darul Islam (DI), yang artinya Rumah Islam. Pada 1962-1965,
gerakan yang juga dikenal sebagai DI/TII itu melemah dan akhirnya tumpas dengan
tewasnya Kahar Muzakar dalam baku tembak di Sulawesi Selatan.
Konflik
Aceh yang terakhir, yang berlangsung selama tiga dasawarsa lebih, sering
ditafsirkan sebagai keinginan rakyat Aceh untuk menegakkan syariat Islam di
wilayah tersebut. Akan tetapi menurut JK, akar permasalahannya lebih pada rasa
keadilan yang terusik. Pembagian kekayaan negara pada kenyataannya memang tidak
merata. Itu dirasakan rakyat Aceh sejak penjajahan Belanda sampai pemerintahan
NKRI. Hasil bumi yang melimpah hanya sebagian kecil sampai ke tangan rakyat
Aceh.
Margaret
Thatcher dalam buku Statecraft (2002)
menyebutkan ancaman terbesar bagi Indonesia saat ini ialah masalah
disintegrasi, bukan ideologi. Faktanya, kasus Papua masih menjadi ganjalan
sampai sekarang, antara lain karena belum seluruh rakyat Papua merasa bagian
dari NKRI. Untuk itu, perlu dialog yang terus-menerus.
Ketimpangan Distribusi
Bila
mengkaji rasa ketidakpuasan masyarakat daerah ataupun konflik-konflik
horizontal dan vertikal yang akhir-akhir ini sering terjadi, ada satu benang
merah yang menggarisbawahi keresahan mereka, yakni ketimpangan distribusi.
Rakyat di seluruh Nusantara dalam hati kecil tentu bertanya-tanya mengapa
kelompok elite begitu gampang bicara tentang dana miliaran atau triliunan rupiah;
baik yang terkait proyek atau korupsi. Rakyat membayangkan itu pun tidak mampu.
Jumlah
kekayaan yang tersedia untuk suatu kelompok masyarakat selalu terbatas, sebab
baik sumber alam maupun kemampuan produksi, energi, dan waktu yang dimiliki
manusia pun terbatas. Dengan demikian, jumlah kekayaan yang bisa dimiliki
seseorang atau suatu kelompok seharusnya dibatasi kebutuhan individu dan
kelompok lainnya. Juga, pada kreativitas dan teknologi yang tersedia.
Karena
kekayaan dan kekuasaan selalu terbatas, demikian pula prestise yang tumbuh
sebagai akibatnya. Maka, seluruh masyarakat perlu punya aturan-aturan tentang
cara mendistribusikannya. Bila ini diabaikan, keresahan dan ketidakpuasan akan
terus ada, apalagi bila setiap orang merasa bebas mengambil sebanyak yang
memuaskan hatinya tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang dirasakan lain-lainnya.
Bahkan bila kekayaan, kekuasaan, dan prestise berlimpah, toh masih diperlukan
aturan-aturan pendistribusiannya karena ada saja yang ingin mendapat lebih
sehingga merongrong hak yang lain-lain.
Ada
yang mengatakan persediaan yang terbatas selalu menimbulkan ketimpangan
distribusi. Kebenaran tersebut masih diragukan. Ketimpangan dan pemerataan
bukan ditentukan berlimpah atau tidaknya persediaan. Bahkan gejalanya, jika persediaan
berlimpah, ketimpangan distribusi akan semakin besar.
Sekadar
contoh, pada awal Orde Baru (1966), ketika kita sama-sama melarat, dengan GDP
per kapita $70 per tahun, rasanya kita tidak menghebohkan ketimpangan
distribusi. Dalam waktu 30 tahun, GDP naik 100 kali lipat. Ketimpangan
distribusi makin terasa.
Peran dan Pesona Parpol
Tak
pelak, yang menentukan apakah akan terjadi ketimpangan distribusi/ pemerataan
ialah sejumlah aturan, juga kemampuan suatu kelompok atau lainnya untuk
mengumpulkan cukup kekuatan dan kekuasaan sehingga menjamin aturan-aturan
tersebut bisa diterapkan. Di sinilah partai-partai politik bisa berperan
positif, sebab mereka dianggap sarana penting untuk suatu pemerintahan
demokratis yang diharapkan mau dan mampu mengusung keadilan demi kepentingan
rakyat.
Itu
yang menyebabkan partai-partai politik bersaing untuk mendapat kekuasaan, sebab
kekuasaan diperlukan demi terwujudnya program partai.
Fakta
itulah yang membuat sarjana-sarjana sosial beranggapan menjadi kewajiban kita
bersama untuk menyimak keadaan partai-partai politik yang ada: bagaimana
pengorganisasian dan dari mana dana mereka. Bagaimana mereka menjalankan fungsi
masingmasing. Bagaimana perekrutan para kader mereka. Begitu juga kecenderungan
mereka dalam soal kemanusiaan, etika, dan ekonomi. Jangan sampai kita terjebak
dalam pesona partai politik yang tidak peduli kepada program-program yang
mengusung kepentingan dan rasa keadilan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar