Hegemoni
Pasar Keuangan
Ali Rama ; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
SUMBER : REPUBLIKA,
2 Juni 2012
Berita
akan keluarnya Yunani dari zona euro membuat para pelaku pasar panik yang
kemudian memberikan sentimen negatif di pasar keuangan. Misalnya terlihat pada
pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan fluktuasi indeks saham di
Bursa Efek Indonesia (BEI).
Selama
sepekan kemarin, nilai tukar rupiah mengalami tekanan. Pada penutupan hari
perdagangan (25/5), rupiah melemah pada level Rp 9.310 per dolar AS dari
sebelumnya di level Rp 9.275 per dolar AS. Hal yang sama terjadi pa da Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) turun ke level 3.902,51, semakin menjauh dari level
4.000.
Pemerintah
optimistis jika virus krisis utang Yunani tidak akan berdampak serius pada
perekonomian nasional di karenakan fundamental ekonomi Indonesia masih cukup
kuat yang tecermin dari defisit neraca perdagangan yang masih tipis, cadangan
devisa yang besar (sekitar Rp 122 triliun). Apalagi gejolak nilai tukar yang
terjadi di pasar uang masih bisa dikendalikan pihak otoritas melalui intervensi
kebijakan.
Pertanyaannya,
apakah Indonesia tidak akan terkena virus krisis Eropa di tengah-tengah sistem
keuangan saat ini yang semakin terbuka, terkoneksi, saling tergantung, dan
terintegrasi? Dampak krisis Eropa sudah terlihat pada penurunan volume ekspor
nonmigas yang turun dari 4,9 miliar dolar pada 2011 ke 4,6 miliar dolar pada
Januari-Maret 2012 (BPS).
Menurut
Prasetyantoko (2008), gejolak keuangan yang sering terjadi di pasar keuangan
(pasar modal, uang, dan obligasi) adalah fenomena biasa yang sering terjadi
dalam perekonomian, apalagi di sektor finansial. Fluktuasi yang terlalu besar
dan terus-menerus akan berdampak pada instabilitas ke uangan. Jika instabilitas
ini tidak tertangani dengan baik bisa berkembang menjadi krisis keuangan.
Jika
krisis ini menular dan mengganggu sektor-sektor ekonomi lainnya, maka akan
bermetamorfosis menjadi krisis ekonomi. Sumber krisis memang tidak selalu
datang dari sektor keuangan, tetapi sektor keuangan adalah transmisi paling
efektif dalam menciptakan benihbenih krisis. Semakin tinggi sektor keuangan,
semakin besar risiko terjadinya krisis.
Di
abad ke-21 ini, dunia semakin ren tan terhadap krisis ekonomi. Setidaknya dalam
kurun 10 tahun terakhir telah terjadi tiga krisis besar yang memorak-porandakan
perekonomian suatu negara. Yakni, krisis keuangan Asia 1997-1998, krisis
ekonomi global 20082009, dan krisis utang zona euro yang muncul sejak 2009 dan
memuncak pada 2012 ini.
Dalam
waktu sekejap, krisis Asia 1997-1990 telah menyulap negara-nega ra Asia yang
tadinya dikagumi sebagai Asian Miracle (keajaiban Asia) tiba-ti ba menjadi
Asian Mirage (nestapa Asia). Sementara itu, krisis ekonomi global 2008-09
berawal dari gagal bayar kredit perumahan (mortgage)
berkualitas rendah yang terjadi di AS.
Krisis
tersebut kemudian membangkrutkan lembaga raksasa keuangan dunia seperti Lehman
Brother, Bear Stears, AIG (American
International Group), dan Merrill Lynch. Krisis ini ke mudian menyebar ke
negara-negara Eropa dan Jepang serta negara-negara mitra perdagangan AS.
Krisis
yang masih terus terjadi dan menghantui negara-negara Eropa saat ini adalah
krisis utang Eropa 20092012. Negara yang paling meradang akibat krisis utang
ini adalah Yunani, bahkan ada keinginan untuk menendangnya dari Uni Eropa
supaya tidak berdampak domino terhadap ekonomi negara Eropa lainnya. Krisis
inilah yang membuat kepanikan di pasar keuangan belakangan ini. Krisis ini
dianggap sebagai kiamat bagi sistem kapitalisme yang telah menjadi simbol
kejayaannya di negara-negara Eropa.
Berkaca
dari tiga peristiwa di atas, sesungguhnya krisis selalu berawal dari krisis di
sebuah negara dan kemudian menjalar ke negara-negara lainnya. Selanjutnya,
krisis yang muncul belakang an ini berasal dari sektor keuangan yang ditandai
perubahan drastis atas harga-harga aset keuangan.
Krisis
yang terjadi di sektor keuangan tidak hanya berdampak pada pelakupelaku di
sektor tersebut tetapi juga berdampak pada perekonomian dan kehidupan
masyarakat banyak, apalagi jika bertransmisi ke sektor ekonomi lainnya.
Sektor
keuangan sebagai faktor utama munculnya gejolak keuangan yang bisa berkembang
menjadi krisis tidak terlepas dari fenomena hegemoni keuangan saat ini.
Investasi keuangan le bih dominan dibandingkan dengan investasi riil (fisik).
Penelitian
Agustianto (2007) menemukan bahwa transaksi maya keuangan mencapai lebih dari
95 persen dari keseluruhan transaksi dunia, hanya sekitar lima persen transaksi
riil di sektor perdagangan barang dan jasa. Volume transaksi di pasar uang
dunia mencapai 1,5 triliun dolar AS dalam sehari, sedangkan volume transaksi
perdagangan riil hanya enam triliun setiap tahun. Celakanya lagi, hanya sekitar
45 persen yang on the spot sisinya
forward, future, dan options.
Artinya,
sektor keuangan tidak berfungsi sepenuhnya lagi sebagai lembaga intermediasi
sektor ekonomi riil atau sebagai derivasi sektor riil. Sektor ini menjadi sektor
yang tidak terkoneksi dengan sektor ekonomi riil, bahkan menjadi lumbung untuk
meraup keuntungan yang besar di era perekonomian modern ini melalui variasi
produk keuangan yang serbacanggih.
Dominasi
investasi di sektor keuang an saat ini tidak terlepas dari tiga hal, yakni
liberalisasi sektor finansial di tingkat global, deregulasi di tingkat
nasional, dan inovasi produk-produk ke uangan (Prasetyantoko, 2008). Perekonomian
global yang semakin terkoneksi dan perkembangan sektor keuangan yang semakin
dominan membuat dunia ini berlangganan dengan yang namanya krisis dalam
berbagai bentuknya.
Oleh
karenanya, perlu dikembalikan fungsi lembaga keuangan sebagai derivasi dari
sektor ekonomi riil. Sektor keuangan hanya berkembang jika sektor ekonomi riil
juga berkembang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar