Gramatika
Bahasa Indonesia Unas
Fathurrofiq ; Pendidik
Bahasa dan Sastra Indonesia
SUMBER : JAWA POS,
1 Juni 2012
HASIL Unas 2012 masih mengabarkan
bahwa perolehan nilai pelajaran bahasa Indonesia lebih rendah jika dibandingkan
dengan nilai pelajaran unas yang lain. Bahkan, lebih rendah jika dibandingkan
dengan nilai pelajaran bahasa Inggris atau matematika (Jawa Pos,
29/5/2012).
Keprihatinan terhadap penguasaan dan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan warga muda pun segera merebak: Mengapa hasil unas untuk pelajaran bahasa Indonesia justru rendah, bukankah bahasa Indonesia adalah bahasa kesatuan, bahasa yang dikomunikasikan sehari-hari, baik lisan maupun tulisan? Adakah memang tingkat penguasaan bahasa Indonesia warga muda Indonesia yang rendah ataukah pembelajarannya yang kurang bermutu atau soal-soal unas bahasa Indonesia sengaja dipersulit?
Tiga Gramatika
Untuk menjelaskan bagaimana bahasa Indonesia dipraktikkan sehari-hari dan yang dipelajari di sekolah untuk unas, sebaiknya dipahami dahulu tiga macam gramatika berbahasa: 1) mental grammar, 2) descriptive grammar, dan 3) prescriptive grammar.
Mental grammar adalah kemampuan berbahasa yang terbiasakan sehari-hari. Secara alamiah, anak-anak yang mampu berbicara dan menulis bahasa Indonesia terbentuk karena pembiasaan di lingkungan kehidupan mereka. Penutur asli semua bahasa memiliki apa yang disebut mental grammar itu. Noam Chomsky menyebutnya dengan LAD (language acquisition device). Anak-anak Indonesia memiliki mental grammar bahasa Indonesia sebagaimana anak-anak Tiongkok memilikinya dalam bahasa nasional mereka.
Descriptive grammar adalah kaidah-kaidah tata bahasa yang secara objektif dijelaskan oleh para ahli bahasa (linguis) tentang suatu bahasa. Misalnya, relasi kelompok kata (frasa) dalam bahasa Indonesia adalah diterangkan-menerangkan: anak baik. Dalam bahasa Inggris, relasinya adalah menerangkan-diterangkan: good boy. Penjelasan semacam itu termasuk descriptive grammar. Teori-teori suatu bahasa yang diperoleh dari descriptive grammar itulah yang kemudian diformulasikan menjadi pola-pola dan kaidah bahasa.
Prescriptive grammar tidak kalah penting dengan dua gramatika sebelumnya, menerangkan bahasa apa dan mana yang harus dijadikan bahasa standar masyarakat. Ragam atau model bahasa yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan dan harus dipelajari anak-anak termasuk kategori prescriptive grammar.
Bahasa Indonesia yang dipelajari di sekolah tentu berbeda dengan bahasa yang dipraktikkan anak-anak dalam komunikasi sehari-hari di keluarga, di lingkungan pergaulan. Bahasa Indonesia sehari-hari di keluarga, di pasar, dan di pergaulan lazim disebut bahasa nonformal atau tidak baku. Bahasa yang diajarkan di sekolah lazim disebut bahasa formal atau bahasa baku. Bahasa Indonesia yang formal dan baku itulah yang masuk kategori prescriptive grammar.
Bahasa Indonesia yang diunaskan termasuk kategori prescriptive grammar. Materi-materinya merupakan hasil perumusan ahli bahasa, sastrawan, ahli pembelajaran bahasa, dan ahli kurikulum yang difasilitasi pemerintah. Hasilnya adalah SKL (standar kompetensi lulusan). Sementara para pembuat soal mendesain soal-soal unas berdasar SKL, para guru di seantero Indonesia berdasar SKL pula mengajarkan materi kepada peserta didik untuk unas. Dengan demikian, untuk menguasai bahasa Indonesia sesuai dengan standar, anak-anak harus belajar, guru harus tetap membelajarkan.
Jarak Bahasa
Menggantungkan semata pada kompetensi berbahasa yang sehari-hari telah dikuasai (mental grammar) untuk persiapan unas bukanlah sebuah cara yang tepat. Sebab, apa yang ada dalam prescriptive grammar (dalam konteks ini unas) memiliki tuntutan yang berbeda dari kemampuan bahasa sehari-hari (mental grammar).
Apa yang diidealkan dalam prescriptive grammar berbeda dengan apa yang secara riil dikuasai anak-anak dalam mental grammar mereka. Ada jarak di antara bahasa Indonesia sehari-hari dan bahasa Indonesia di unas. Meskipun, dari aspek kemampuan berbahasa, anak-anak Indonesia telah memiliki kemampuan dasar berbahasa Indonesia sehingga untuk memahami soal-soal bahasa Indonesia seharusnya tidak sesulit bahasa Inggris.
Dari segi soal-soal bacaan atau teks, jarak antara keduanya bisa semakin sulit didekati, mengingat banyak soal unas bahasa Indonesia yang bersifat interpretatif -dibandingkan dengan menghitung rumus matematika, misalnya. Menjawab soal tentang suasana batin puisi tentu sangat jauh berbeda dengan menjawab soal tentang luas lingkaran. Di dalam matematika, jawaban 2 + 2 pasti 4, tidak ada yang lain.
Tetapi, dalam interpretasi teks, 4 tidak selalu hasil dari 2 + 2, tetapi bisa dari 4 + 0 atau 3 + 1 dan seterusnya. Maka, dalam pilihan jawaban (option) pada pilihan ganda soal-soal wacana, bisa jadi tidak ada jawaban yang benar secara mutlak, terlebih jika pengecohnya (destructor) bekerja dengan baik dan sangat mirip. Kebenaran jawaban selalu bisa diperdebatkan dan dirasionalisasi.
Jadi, kemampuan mengerjakan unas pelajaran bahasa Indonesia adalah persoalan kompetensi berbahasa sesuai dengan prescriptive grammar. Nilai tinggi tentu sangat baik. Tetapi, menghakimi bahwa mereka yang memperoleh nilai rendah berarti meminggirkan bahasa Indonesia adalah prematur. Sebab, soal-soal unas tidak didesain untuk mengukur perilaku atau sikap berbahasa yang cinta atau tidak cinta serta bangga atau tidak bangga terhadap bahasa kesatuan Indonesia: bahasa Indonesia. ●
Keprihatinan terhadap penguasaan dan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan warga muda pun segera merebak: Mengapa hasil unas untuk pelajaran bahasa Indonesia justru rendah, bukankah bahasa Indonesia adalah bahasa kesatuan, bahasa yang dikomunikasikan sehari-hari, baik lisan maupun tulisan? Adakah memang tingkat penguasaan bahasa Indonesia warga muda Indonesia yang rendah ataukah pembelajarannya yang kurang bermutu atau soal-soal unas bahasa Indonesia sengaja dipersulit?
Tiga Gramatika
Untuk menjelaskan bagaimana bahasa Indonesia dipraktikkan sehari-hari dan yang dipelajari di sekolah untuk unas, sebaiknya dipahami dahulu tiga macam gramatika berbahasa: 1) mental grammar, 2) descriptive grammar, dan 3) prescriptive grammar.
Mental grammar adalah kemampuan berbahasa yang terbiasakan sehari-hari. Secara alamiah, anak-anak yang mampu berbicara dan menulis bahasa Indonesia terbentuk karena pembiasaan di lingkungan kehidupan mereka. Penutur asli semua bahasa memiliki apa yang disebut mental grammar itu. Noam Chomsky menyebutnya dengan LAD (language acquisition device). Anak-anak Indonesia memiliki mental grammar bahasa Indonesia sebagaimana anak-anak Tiongkok memilikinya dalam bahasa nasional mereka.
Descriptive grammar adalah kaidah-kaidah tata bahasa yang secara objektif dijelaskan oleh para ahli bahasa (linguis) tentang suatu bahasa. Misalnya, relasi kelompok kata (frasa) dalam bahasa Indonesia adalah diterangkan-menerangkan: anak baik. Dalam bahasa Inggris, relasinya adalah menerangkan-diterangkan: good boy. Penjelasan semacam itu termasuk descriptive grammar. Teori-teori suatu bahasa yang diperoleh dari descriptive grammar itulah yang kemudian diformulasikan menjadi pola-pola dan kaidah bahasa.
Prescriptive grammar tidak kalah penting dengan dua gramatika sebelumnya, menerangkan bahasa apa dan mana yang harus dijadikan bahasa standar masyarakat. Ragam atau model bahasa yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan dan harus dipelajari anak-anak termasuk kategori prescriptive grammar.
Bahasa Indonesia yang dipelajari di sekolah tentu berbeda dengan bahasa yang dipraktikkan anak-anak dalam komunikasi sehari-hari di keluarga, di lingkungan pergaulan. Bahasa Indonesia sehari-hari di keluarga, di pasar, dan di pergaulan lazim disebut bahasa nonformal atau tidak baku. Bahasa yang diajarkan di sekolah lazim disebut bahasa formal atau bahasa baku. Bahasa Indonesia yang formal dan baku itulah yang masuk kategori prescriptive grammar.
Bahasa Indonesia yang diunaskan termasuk kategori prescriptive grammar. Materi-materinya merupakan hasil perumusan ahli bahasa, sastrawan, ahli pembelajaran bahasa, dan ahli kurikulum yang difasilitasi pemerintah. Hasilnya adalah SKL (standar kompetensi lulusan). Sementara para pembuat soal mendesain soal-soal unas berdasar SKL, para guru di seantero Indonesia berdasar SKL pula mengajarkan materi kepada peserta didik untuk unas. Dengan demikian, untuk menguasai bahasa Indonesia sesuai dengan standar, anak-anak harus belajar, guru harus tetap membelajarkan.
Jarak Bahasa
Menggantungkan semata pada kompetensi berbahasa yang sehari-hari telah dikuasai (mental grammar) untuk persiapan unas bukanlah sebuah cara yang tepat. Sebab, apa yang ada dalam prescriptive grammar (dalam konteks ini unas) memiliki tuntutan yang berbeda dari kemampuan bahasa sehari-hari (mental grammar).
Apa yang diidealkan dalam prescriptive grammar berbeda dengan apa yang secara riil dikuasai anak-anak dalam mental grammar mereka. Ada jarak di antara bahasa Indonesia sehari-hari dan bahasa Indonesia di unas. Meskipun, dari aspek kemampuan berbahasa, anak-anak Indonesia telah memiliki kemampuan dasar berbahasa Indonesia sehingga untuk memahami soal-soal bahasa Indonesia seharusnya tidak sesulit bahasa Inggris.
Dari segi soal-soal bacaan atau teks, jarak antara keduanya bisa semakin sulit didekati, mengingat banyak soal unas bahasa Indonesia yang bersifat interpretatif -dibandingkan dengan menghitung rumus matematika, misalnya. Menjawab soal tentang suasana batin puisi tentu sangat jauh berbeda dengan menjawab soal tentang luas lingkaran. Di dalam matematika, jawaban 2 + 2 pasti 4, tidak ada yang lain.
Tetapi, dalam interpretasi teks, 4 tidak selalu hasil dari 2 + 2, tetapi bisa dari 4 + 0 atau 3 + 1 dan seterusnya. Maka, dalam pilihan jawaban (option) pada pilihan ganda soal-soal wacana, bisa jadi tidak ada jawaban yang benar secara mutlak, terlebih jika pengecohnya (destructor) bekerja dengan baik dan sangat mirip. Kebenaran jawaban selalu bisa diperdebatkan dan dirasionalisasi.
Jadi, kemampuan mengerjakan unas pelajaran bahasa Indonesia adalah persoalan kompetensi berbahasa sesuai dengan prescriptive grammar. Nilai tinggi tentu sangat baik. Tetapi, menghakimi bahwa mereka yang memperoleh nilai rendah berarti meminggirkan bahasa Indonesia adalah prematur. Sebab, soal-soal unas tidak didesain untuk mengukur perilaku atau sikap berbahasa yang cinta atau tidak cinta serta bangga atau tidak bangga terhadap bahasa kesatuan Indonesia: bahasa Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar