Arus
Tafsir Pancasila
Bandung Mawardi ; Pengelola
Jagat Abjad Solo
SUMBER : JAWA POS,
1 Juni 2012
ALKISAH, 1 Juni 1945,
Soekarno memberi pidato menggebu, serbuan kata untuk mengenalkan Pancasila.
Seruan Soekarno mengena dan impresif. Hadirin terkesima, takzim menerima
untaian penjelasan. Hari itu, sejarah Indonesia terbentuk oleh olah gagasan
idealitas. Konsensus bergerak, menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Lima
sila di-jlentreh-kan dengan memakai referensi sejarah, politik, kearifan
lokal, agama, ekonomi, dan situasi global.
Nostalgia atas peristiwa tersebut membekas saat Soekarno mengucap: "... di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi." Konon, usai itu hadirin di sidang BPUPKI memberikan tepuk tangan riuh. Sejarah dibentuk oleh Soekarno dan tepuk tangan untuk idealitas Indonesia. Sejak itulah, penguasa memerlukan pengesahan dan sebaran nilai-nilai Pancasila melalui pelbagai perangkat dan niat.
Pancasila intensif ditafsirkan dan mengalami pembakuan menurut kemauan rezim. Rakyat hidup dalam belaian dan buaian Pancasila. Kita mengenangkan eksistensi Pancasila melalui buku, pidato, kursus, mata pelajaran, lagu, seni pertunjukan. Setelah kejatuhan Orde Lama, Soeharto pun membuat sakralitas Pancasila melalui penataran P-4 secara sistematis dan kontrol politik.
Tafsir Longgar
Soeharto memberi aksentuasi perbedaan atas Pancasila dengan "menjauhkan" Pancasila dari sosok dan gagasan Soekarno. Tafsiran Pancasila ada di tepian sejarah karena tendensi manipulasi dan politik ilusif. Proyek politik Soeharto atas Pancasila terdokumentasikan dalam buku Pandangan Soeharto tentang Pancasila (1976). Soeharto menjelaskan, "Pancasila bagi kita adalah masalah hidup matinya bangsa Indonesia. Retorika puitis, tapi membuat Indonesia bergerak dengan nalar politik kepatuhan dan represi ideologis".
Segala imperatif dan kontrol diacukan atas nama Pancasila. Kita pun bisa mengerti maksud Soeharto, "Kita tidak akan memerosotkan Pancasila hanya menjadi semboyan kosong atau bahan propaganda murah." Sejarah membuktikan bahwa Pancasila justru mengasingkan kita dan membuat kebosanan tak reda oleh indoktrinasi tiap detik demi kelanggengan rezim Orde Baru.
Situasi represif itu menjadi parodi dalam biografi politik seorang tapol di Buru: Supardjo. Lelaki itu suka memelesetkan lagu-lagu dengan pamrih politis. Represi Orde Baru diladeni dengan subversi agar diri tidak mampus oleh indoktrinasi. Sosok Supardjo meninggalkan kesan mendalam untuk Hersri Setiawan dalam pengisahan di Memoar Pulau Buru (2004). Penghormatan atas Supardjo dan kisah para tapol dituliskan dalam puisi kritis, satire atas sakralitas Pancasila, tapi asing di mata rakyat. Puisi ini mengisahkan tradisi upacara bendera bagi para tapol di Pulau Buru sebagai strategi mencipta kepatuhan dan indoktrinasi.
Ada nukilan mengejutkan untuk pengandaian adegan mendengarkan pembacaan teks Pancasila. Hersri Setiawan menulis: pancasila!/ satu: ketuhanan yang berbintang/ dua: kemanusiaan yang dirante/ tiga: persatuan di bawah beringin/ empat: kerakyatan yang dipimpin oleh kerbau/ lima: keadilan sosial di kuburan. Puisi ini tafsiran menjauh dari uraian P-4 ala Orde Baru, tapi mengajak pembaca untuk mengimajinasikan-memvisualkan Pancasila di tubuh lambang garuda. Puisi ini representasi nasib Pancasila oleh ulah politik tanpa memberi kebebasan tafsir bagi rakyat. Soeharto menghendaki tafsir tunggal dan ketat. Pancasila jadi gaung politik Orde Baru.
Hari ini Pancasila disuarakan ulang oleh kaum politisi, intelektual, seniman, dan ulama. Kondisi bangsa tampak rapuh dalam basis karakter, kepribadian, etika politik, kemanusiaan, adab, toleransi. Korupsi, radikalisme, kriminalitas, terorisme, dan kapitalisasi pendidikan jadi momok untuk ambisi memartabatkan bangsa. Segala krisis memberikan sengatan.
Pancasila hampir terlupakan, terkuburkan, dan terasingkan dari biografi Indonesia mutakhir. Situasi ini membuat kita mesti mengingat ulang babak-babak historis kelahiran dan indoktrinasi Pancasila. Kita juga mesti membuka diri untuk tafsir inklusif dan kritis. Arief Budiman (2002) mengingatkan, "Pancasila itu pakaian longgar sekali untuk bisa dipakai siapa saja".
Ilham di Bawah Pohon
Ingatlah kita tentang pengakuan Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966) susunan Cindy Adams. Soekarno mengalami situasi mistis, "Di Pulau Bunga yang sepi tak berkawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenung di bawah pohon. Ketika itulah, datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah." Pancasila adalah "ilham" dan "mutiara indah", tetapi para penguasa kerap mengartikan sebagai "senjata" mencipta ketertiban, kepatuhan, dan homogenisasi atas nama pragmatisme rezim politik.
Kita mesti mengenangkan itu sebagai momentum mengangankan dan menggerakkan Indonesia. Optimisme ada, tapi bergantung pemaknaan atas Pancasila secara produktif. Pancasila digunakan untuk acuan realisasi kerukunan, perdamaian, kesejahteraan, demokrasi, penghormatan hak asasi manusia, dan manifestasi religiusitas. Makna-makna pokok ini justru kerap dibelokkan oleh oportunisme politik dan sengketa kekuasaan.
Kita mesti merefleksikan ulang tafsir Pancasila dan mencari titik temu historis melalui alur sejarah Indonesia. Tafsir diaktualisasikan untuk mendefinisikan Indonesia mutakhir dalam selebrasi idealitas dan realitas. Yudi Latif dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011) juga mengingatkan tentang membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama. Pancasila mesti hidup dalam realitas, tidak sekadar menjadi retorika atau verbalisme di pentas politik. Sejarah sebaran dan penanaman nilai-nilai Pancasila pada masa silam mungkin telah usang, menjelma memori muram. Sekarang ikhtiar untuk menyemai Pancasila bisa diniatkan sebagai penyadaran dan pencerahan. ●
Nostalgia atas peristiwa tersebut membekas saat Soekarno mengucap: "... di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi." Konon, usai itu hadirin di sidang BPUPKI memberikan tepuk tangan riuh. Sejarah dibentuk oleh Soekarno dan tepuk tangan untuk idealitas Indonesia. Sejak itulah, penguasa memerlukan pengesahan dan sebaran nilai-nilai Pancasila melalui pelbagai perangkat dan niat.
Pancasila intensif ditafsirkan dan mengalami pembakuan menurut kemauan rezim. Rakyat hidup dalam belaian dan buaian Pancasila. Kita mengenangkan eksistensi Pancasila melalui buku, pidato, kursus, mata pelajaran, lagu, seni pertunjukan. Setelah kejatuhan Orde Lama, Soeharto pun membuat sakralitas Pancasila melalui penataran P-4 secara sistematis dan kontrol politik.
Tafsir Longgar
Soeharto memberi aksentuasi perbedaan atas Pancasila dengan "menjauhkan" Pancasila dari sosok dan gagasan Soekarno. Tafsiran Pancasila ada di tepian sejarah karena tendensi manipulasi dan politik ilusif. Proyek politik Soeharto atas Pancasila terdokumentasikan dalam buku Pandangan Soeharto tentang Pancasila (1976). Soeharto menjelaskan, "Pancasila bagi kita adalah masalah hidup matinya bangsa Indonesia. Retorika puitis, tapi membuat Indonesia bergerak dengan nalar politik kepatuhan dan represi ideologis".
Segala imperatif dan kontrol diacukan atas nama Pancasila. Kita pun bisa mengerti maksud Soeharto, "Kita tidak akan memerosotkan Pancasila hanya menjadi semboyan kosong atau bahan propaganda murah." Sejarah membuktikan bahwa Pancasila justru mengasingkan kita dan membuat kebosanan tak reda oleh indoktrinasi tiap detik demi kelanggengan rezim Orde Baru.
Situasi represif itu menjadi parodi dalam biografi politik seorang tapol di Buru: Supardjo. Lelaki itu suka memelesetkan lagu-lagu dengan pamrih politis. Represi Orde Baru diladeni dengan subversi agar diri tidak mampus oleh indoktrinasi. Sosok Supardjo meninggalkan kesan mendalam untuk Hersri Setiawan dalam pengisahan di Memoar Pulau Buru (2004). Penghormatan atas Supardjo dan kisah para tapol dituliskan dalam puisi kritis, satire atas sakralitas Pancasila, tapi asing di mata rakyat. Puisi ini mengisahkan tradisi upacara bendera bagi para tapol di Pulau Buru sebagai strategi mencipta kepatuhan dan indoktrinasi.
Ada nukilan mengejutkan untuk pengandaian adegan mendengarkan pembacaan teks Pancasila. Hersri Setiawan menulis: pancasila!/ satu: ketuhanan yang berbintang/ dua: kemanusiaan yang dirante/ tiga: persatuan di bawah beringin/ empat: kerakyatan yang dipimpin oleh kerbau/ lima: keadilan sosial di kuburan. Puisi ini tafsiran menjauh dari uraian P-4 ala Orde Baru, tapi mengajak pembaca untuk mengimajinasikan-memvisualkan Pancasila di tubuh lambang garuda. Puisi ini representasi nasib Pancasila oleh ulah politik tanpa memberi kebebasan tafsir bagi rakyat. Soeharto menghendaki tafsir tunggal dan ketat. Pancasila jadi gaung politik Orde Baru.
Hari ini Pancasila disuarakan ulang oleh kaum politisi, intelektual, seniman, dan ulama. Kondisi bangsa tampak rapuh dalam basis karakter, kepribadian, etika politik, kemanusiaan, adab, toleransi. Korupsi, radikalisme, kriminalitas, terorisme, dan kapitalisasi pendidikan jadi momok untuk ambisi memartabatkan bangsa. Segala krisis memberikan sengatan.
Pancasila hampir terlupakan, terkuburkan, dan terasingkan dari biografi Indonesia mutakhir. Situasi ini membuat kita mesti mengingat ulang babak-babak historis kelahiran dan indoktrinasi Pancasila. Kita juga mesti membuka diri untuk tafsir inklusif dan kritis. Arief Budiman (2002) mengingatkan, "Pancasila itu pakaian longgar sekali untuk bisa dipakai siapa saja".
Ilham di Bawah Pohon
Ingatlah kita tentang pengakuan Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966) susunan Cindy Adams. Soekarno mengalami situasi mistis, "Di Pulau Bunga yang sepi tak berkawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenung di bawah pohon. Ketika itulah, datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah." Pancasila adalah "ilham" dan "mutiara indah", tetapi para penguasa kerap mengartikan sebagai "senjata" mencipta ketertiban, kepatuhan, dan homogenisasi atas nama pragmatisme rezim politik.
Kita mesti mengenangkan itu sebagai momentum mengangankan dan menggerakkan Indonesia. Optimisme ada, tapi bergantung pemaknaan atas Pancasila secara produktif. Pancasila digunakan untuk acuan realisasi kerukunan, perdamaian, kesejahteraan, demokrasi, penghormatan hak asasi manusia, dan manifestasi religiusitas. Makna-makna pokok ini justru kerap dibelokkan oleh oportunisme politik dan sengketa kekuasaan.
Kita mesti merefleksikan ulang tafsir Pancasila dan mencari titik temu historis melalui alur sejarah Indonesia. Tafsir diaktualisasikan untuk mendefinisikan Indonesia mutakhir dalam selebrasi idealitas dan realitas. Yudi Latif dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011) juga mengingatkan tentang membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama. Pancasila mesti hidup dalam realitas, tidak sekadar menjadi retorika atau verbalisme di pentas politik. Sejarah sebaran dan penanaman nilai-nilai Pancasila pada masa silam mungkin telah usang, menjelma memori muram. Sekarang ikhtiar untuk menyemai Pancasila bisa diniatkan sebagai penyadaran dan pencerahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar