Dialog
sebagai Upaya Membangun Perdamaian di Papua
( Wawancara )
Neles Kebadabi Tebay Pr ; Pastor
dari Keuskupan Jayapura
Sumber
: KOMPAS, 25 Juni 2012
Tak bisa dimungkiri, Indonesia adalah
realitas kemajemukan dari sisi suku, ras, serta agama. Karena itu, dialog menjadi
sebuah keniscayaan dalam membangun kehidupan berbangsa.
Keyakinan inilah yang mendorong Neles
Kebadabi Tebay Pr untuk terus-menerus menulis tema-tema dialog sebagai upaya
mengurai konflik di tanah Papua. Pastor dari Keuskupan Jayapura ini sangat yakin,
dialog antara pemerintah dan masyarakat Papua atau dialog Jakarta-Papua adalah
cara modern, demokratis, dan beradab untuk mencari solusi terbaik bagi
permasalahan Papua.
Bagi Neles Tebay, kekerasan dengan motivasi
dan tujuan apa pun tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua. Cara-cara itu
justru semakin merendahkan martabat manusia dan menginjak-injak nilai
perdamaian yang diperjuangkan.
Pada dasarnya manusia diciptakan dengan akal
sehat, kehendak, perasaan, dan hati nurani. Karena itu, siapa pun pasti
memiliki kemampuan berkomunikasi dan berdialog dengan orang lain, termasuk
pemerintah dan masyarakat Papua.
Dorongan untuk dialog demi terwujudnya
perdamaian di Papua terus-menerus disampaikan Neles Tebay lewat tulisannya.
Mengurai gagasannya, berikut wawancara dengan Neles Tebay di Yogyakarta,
beberapa waktu lalu.
Sejak sepuluh tahun lalu, Anda mengamati dan
menulis upaya dialog di Papua.
Menurut
Anda, bagaimana kondisi Papua sampai saat ini?
Secara umum, kondisi di Papua saat ini, orang
tidak merasa nyaman dan aman. Ketidaknyamanan dan ketidakamanan ini tidak hanya
dirasakan masyarakat asli Papua, tetapi juga siapa pun yang kini tinggal di
Papua. Kekerasan muncul bagaikan asap.
Dia bukan masalah, melainkan akibat. Asap
pasti muncul karena ada api. Selama faktor penyebabnya belum ditemukan, selama
itu pula kekerasan-kekerasan akan terus terjadi dan mengganggu pembangunan dan
kedamaian di Papua.
Apa
penyebab kekerasan yang selama ini terjadi di Papua?
Menurut saya, penyebab utama kekerasan di
Papua adalah munculnya dua paradigma yang berbeda dan bertentangan antara
pemerintah dan masyarakat Papua. Di satu pihak pemerintah mempunyai paradigma
separatisme. Mereka melihat dan mencurigai masyarakat Papua sebagai menyiapkan
gerakan separatis. Setiap kegiatan budaya di Papua dicap separatis, setiap
suara yang memperjuangkan hukum dan perdamaian juga dicap separatis.
Seperti halnya orang memakai kacamata hitam,
segala hal yang dipandang akan hitam, segala yang dilihat adalah separatisme.
Sebagai contoh, pembentukan Majelis Rakyat Papua pada dasarnya merupakan amanat
undang-undang. Namun, Majelis Rakyat Papua baru terbentuk belakangan karena
pemerintah masih terbelenggu paradigma separatisme.
Di sisi lain, masyarakat Papua juga punya
paradigma sendiri, yaitu kolonialisme. Pemerintah dianggap sebagai penjajah.
Karena dianggap penjajah, menurut mereka tidak mungkin pemerintah membangun
Papua.
Bagaimana
kemudian mempertemukan dua kutub yang berbeda ini?
Sekarang persoalannya bagaimana dua paradigma
ini bisa didamaikan. Kedua belah pihak harus keluar dari paradigma
masing-masing dan mencari titik temu untuk mengambil paradigma baru. Inilah
yang perlu dicari dalam dialog.
Dialog dilakukan secara bertingkat dan
bertahap. Suku-suku di Papua berdialog terlebih dulu. Lalu, dialog mereka
digelar lagi di tingkat kabupaten. Tak hanya itu, orang Papua di hutan yang
menjadi gerilyawan dan orang Papua di luar negeri juga harus dipertemukan untuk
berdialog.
Pada waktu yang sama, pemerintah pusat di
Jakarta perlu melakukan konsultasi publik, berdialog dengan semua pemangku
kepentingan di Papua. Tak lupa, pandangan politik para pendatang di Papua turut
diakomodasi. Sementara itu, pemerintah daerah harus aktif berdialog dengan
aparat-aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan yang berada di Papua untuk
menyamakan persepsi.
Yang terakhir, perlu ada konferensi tingkat
nasional untuk mengidentifikasi masalah dan mencari solusi yang realistis.
Mekanisme
pelaksanaan dialog kira-kira seperti apa?
Presiden bisa membentuk tim dialog paling
banyak empat orang. Tim ini yang akan mengatur mekanisme dialog sehingga
prosesnya bisa lebih inklusif dan partisipatoris. Tim ini pula yang akan
mewakili pemerintah untuk bekerja sama dengan masyarakat Papua dalam mengatur
proses dialog.
Kira-kira
siapa yang layak menjadi anggota tim dialog?
Tim dialog harus terdiri atas orang-orang
yang memiliki reputasi dan integritas serta diakui secara nasional dan
internasional, termasuk tentu saja oleh masyarakat Papua sendiri. Merekalah
yang akan berpikir bagaimana menyusun mekanisme dialog.
Jika tim ini tidak ada, dialog tetap akan
menjadi wacana. Aksi konkret untuk menyelesaikan permasalahan Papua tidak akan
muncul.
Sekarang, semestinya kita tidak lagi
berbicara tentang perlu tidaknya dialog. Tetapi, kita harus masuk pada tahapan
berikutnya, yaitu adanya kesamaan persepsi, format dialog, dan tujuan dialog.
Karena itu, dibutuhkan fasilitator dialog
antara Jakarta dan Papua. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku
Buwono X adalah salah seorang tokoh masyarakat yang sudah membuka diri dan siap
menjadi fasilitator atau mediator dialog jika diminta kedua belah pihak.
Menurut
Anda, sebesar apakah harapan untuk perdamaian bagi masyarakat Papua?
Dahulu, istilah dialog dalam kaitannya dengan
Papua selalu dicurigai pemerintah dan aparat keamanan karena kata dialog sempat
muncul dalam Kongres Papua II sebagai sarana untuk mencari solusi terbaik
penyelesaian masalah Papua. Orang takut berdialog karena khawatir dicap sebagai
anggota atau bagian dari gerakan separatis. Akhirnya, dialog dijadikan sebagai
istilah tabu dan dipandang sebagai ekspresi separatisme Papua.
Namun, sekarang, orang Papua tak lagi tabu
bicara tentang dialog. Begitu pecah kekerasan, dialog selalu didahulukan untuk
menyelesaikan persoalan. Ke depan, dialog yang semakin intensif harus
terus-menerus dilakukan.
Bahasa kekerasan bukanlah jalan terakhir.
Masih ada bahasa dialog yang menjunjung tinggi martabat manusia dan menciptakan
perdamaian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar