(Bukan)
Nasionalisme Musiman
Imam Cahyono ; Pegiat Lingkar Muda Indonesia
Sumber : KOMPAS,
16 Juni 2012
"History
is not determined by fate, or by religion, or geology, or hydrology, or
national culture. It is determined by people." (Alan
Beattie)
Pangkalan Brandan seolah pupus dari ingatan
dan proses keindonesiaan. Di tengah gonjang-ganjing harga minyak bumi yang
terus menghantui, kota kecil di wilayah Kabupaten Langkat di perbatasan
Provinsi Sumatera Utara dan Aceh ini seperti dilupakan. Padahal, Brandan adalah
saksi sejarah ketabahan pencarian emas hitam: bagaimana konsesi, eksploitasi,
denyut nadi kejayaan, hingga terpuruk kembali menjadi kota yang sepi.
Sebagai ladang minyak tertua di Nusantara,
perut bumi Brandan menghasilkan jutaan barrel minyak sejak ratusan tahun silam.
Peristiwa Brandan Bumi Hangus, 13 Agustus 1947—konon lebih besar daripada
peristiwa ”Bandung Lautan Api”—merupakan pekik nasionalis, bagaimana pejuang
republik mempertahankan kota minyak ini dengan darah agar tidak jatuh ke tangan
penjajah.
Pada pemerintahan Soekarno, Ibnu Sutowo
membangun kembali Brandan dari puing-puing reruntuhan. Pemerintah melakukan
nasionalisasi, membidani cikal bakal perusahaan minyak nasional yang sempat
berjaya menggenggam kedaulatan energi.
Pada masa Soeharto, Pertamina terempas
oleh berbagai skandal yang tak pernah tuntas.
”Dulu bisa masuk kompleks Pertamina saja
bangga. Sekarang, masuk ke sana, takut ada monyet dan macan berkeliaran,” tutur
mantan pejabat senior Pertamina sembari tersenyum getir.
Kompleks Pertamina di Brandan kini seperti
rongsokan besi tua berkarat, penuh rerimbun ilalang dan rumput liar.
Gedung-gedung lusuh telantar, kilang-kilang raksasa membisu.
Bukan Kutukan
Kekayaan geologi bukan takdir untuk miskin.
Melimpahnya sumber daya alam bukan kutukan! Norwegia, Kanada, dan Inggris
mengekstrak minyak dalam jumlah besar, toh tidak menderita. Nigeria, Meksiko,
Angola, Ekuador, Kazakhstan, Oman, dan Malaysia terhindar dari perang sipil,
dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan demokratis.
Negara-negara penghasil migas mengambil
kebijakan sesuai pilihan masing-masing, yang menentukan apakah ia sukses atau
gagal. Sejarah mereka ditentukan oleh manusianya (Beattie, 2009). Kegagalan
sering kali akibat keputusan jangka pendek yang didorong oleh kepentingan
kelompok berorientasi sempit.
Norwegia menempatkan pendapatan minyak dalam
sebuah tabungan raksasa berupa dana nasional stabilisasi minyak. Uang disimpan
dalam bentuk dollar AS untuk mencegah guncangan terhadap mata uangnya, krone, sembari membelanjakannya
berdasarkan prioritas negara. Cile, penghasil tembaga terbesar dunia,
menggunakan sistem yang sama. Dana cadangan disimpan, hanya dipakai bunganya.
Malaysia mengelola hasil pendapatan minyak mengacu pada rencana pembangunan
nasional, menggunakannya untuk redistribusi keadilan.
Nasionalisme ekonomi memang menjadi momok
bagi pihak asing. Sejumlah literatur Barat seolah berupaya meyakinkan bahwa
nasionalisasi migas merupakan barang haram yang justru memperburuk keadaan.
Michael L Ross, The Oil Curse: How Petroleum Wealth Shapes the Development of Nations
(Princeton University Press, 2012)
mengungkapkan, intervensi kekuatan asing terhadap negara penghasil minyak
dengan memanipulasi penguasa dan pengaruh raksasa multinasional yang
berorientasi profit tak lagi relevan. Menurut dia, peran dan pengaruh
perusahaan minyak multinasional menurun tajam dalam beberapa dekade terakhir.
Memang, raksasa ”Seven Sisters” yang
mengontrol minyak dunia pada 2010 melakukan konsolidasi jadi empat perusahaan (Exxon-Mobil, BP, Shell, Chevron Texaco),
tetapi mereka tetap memegang peringkat papan atas.
Faktanya, kekayaan migas di Indonesia
dikuasai perusahaan-perusahaan raksasa asing. Pertamina sebagai institusi pelat
merah hanya menguasai sekitar 16 persen ladang migas kita. Sisanya, Chevron
(AS) 44 persen, Total E&P (Perancis) 10 persen, ConocoPhillips (AS) 8
persen, dan China National Offshore Oil Corporation sebesar 5 persen.
Kontrak Bagi Hasil
Pertamina pernah menjadi tulang punggung
perekonomian nasional. Dari Pangkalan Brandan, perusahaan negara ini dibangun
dari titik 0, sisa-sisa bumi hangus, rongrongan pemberontak, keberanian
melakukan nasionalisasi British Petroleum
Maatschappij, hingga sejumlah megaproyek bermunculan, seperti armada tanker,
Krakatau Steel, dan Batam. Akan tetapi, pemimpin sekarang yang memiliki
kekuasaan dan punya uang justru kesulitan mempertahankan yang sudah ada.
Membangun dilakukan dengan susah payah, tetapi tidak ada yang menjaga.
Terlepas dari berbagai skandal yang
dituduhkan, Ibnu Sutowo berani membangun Pertamina dengan menentang dominasi
asing. Bung Karno melalui UU No 44/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi membekukan sistem konsesi diganti dengan kontrak bagi hasil (production sharing) sebagai wujud kedaulatan
negara atas kekayaan yang terdapat dalam bumi dan air Indonesia.
Negara memperoleh 85 persen bagian produksi,
dari perusahaan minyak 15 persen setelah dikurangi cost recovery. Ini berbeda dengan sistem konsesi atau kontrak karya
yang hanya menitikberatkan pengawasan atas kegiatan mitra asing sekaligus
sebagai pembayar pajak. Tentu jauh berbeda dengan UU No 22/2001 yang sangat
liberal.
Prinsip bagi hasil dalam mengelola minyak
pernah diterapkan Pertamina. Penguasaan hasil minyak bumi tidak lagi berada
pada pihak asing, tetapi ada pada pemilik. Manajemen pun ada di tangan pemilik.
Si pemilik mempunyai hak dan suara terbanyak untuk menentukan apa yang akan
dikerjakan dengan barang itu dan berapa harganya. Kontraktor asing hanya boleh
membawa minyaknya keluar setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Uniknya,
ketika itu, klausul ini bisa diterima kontraktor asing.
Petronas yang meniru sistem kontrak bagi
hasil semacam ini menjadi kebanggaan Malaysia. Dalam sebuah diskusi dengan
Petronas, muncul pertanyaan: mengapa
Petronas yang belajar dari Pertamina bisa maju? Jawabannya, ”Kami konsisten dengan apa yang diajarkan,
tetapi gurunya tidak!” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar