Bencana
Demokrasi Kita
(
Wawancara )
Asep Warlan Yusuf ; Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung
Sumber : KOMPAS,
16 Juni 2012
Demokrasi seperti menjadi bencana saat ini
ketika korupsi dipakai untuk membiayai ongkos politik. Sejumlah kasus korupsi
yang melibatkan para politikus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi
menegaskan hadirnya bencana ini.
Keprihatinan ini menjadi keprihatinan Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Prof Dr Asep Warlan
Yusuf, SH MH. ”Ini bencana demokrasi.
Keprihatinan kita menjadi amat sempurna karena kondisi itu diperparah bencana
hukum,” ujarnya.
Bukti hadirnya bencana itu adalah
menyedihkannya penyelesaian kasus korupsi. Meskipun upaya yang dilakukan adalah
untuk memberantas korupsi, optimisme tidak tampak di situ.
Kegagalan atau ketidakmampuan aparatur
penegak hukum memberantas korupsi bukan karena kurang pengetahuan atau
pengalaman, melainkan karena tidak serius dan tidak berani.
Apa
akibatnya jika situasi ini berlangsung terus?
Lemahnya penegakan hukum dalam pemberantasan
korupsi telah berimbas pada lemahnya akses masyarakat pada keadilan, terutama
masyarakat miskin. Tidak tegaknya hukum merupakan ciri dari proses krisis
kewibawaan. Krisis ini berdampak multidimensi dan pada ujungnya erosi
kepercayaan yang mendorong anarki.
Anarki yang sering terjadi mendorong
munculnya keinginan penguasa bertangan besi. Dalam suasana chaotic ini,
persatuan dan kesatuan terancam. Lalu ada yang ingin memperbaiki perilaku
demokratik. Ada pula yang mengharapkan jalan pintas (hadirnya pemimpin yang
tegas, keras atau otoriter untuk menormalisasi situasi).
Bagaimana
upaya memberantas KKN?
Tidak ada lain kecuali penegakan hukum yang
tegas dan konsisten dengan sanksi berat kepada pelaku korupsi. Selain
pemiskinan, perlu dilakukan perluasan tanggung jawab pidana, tidak hanya kepada
pelaku korupsi, tetapi juga kepada mereka yang ikut menikmati hasil korupsi.
Yakni kerluarganya, teman, atau kroninya.
Bersamaan dengan itu, tata kembali
organisasi, memperjelas atau mempertegas visi, misi, tugas dan fungsi yang
diemban setiap instansi.
Kenapa
muncul bencana demokrasi dan hukum?
Muncul karena pada diri para pemimpin,
penyelenggara negara, serta aparatur penegak hukum telah terjadi kebangkrutan
moral. Nilai-nilai moral dan kebaikan hidup yang diajarkan agama, adat, ataupun
budaya sudah tidak memiliki daya ikat dan daya paksa lagi ketika kekuasaan ada
dalam genggaman.
Bekal ajaran moral, etika, dan kebajikan
terkikis nyaris habis karena materi, kesenangan dunia, popularitas, dan status
sosial yang menjadi orientasi hidup. Perilaku aji mumpung, mengambil kesempatan
dalam kesempitan, pola kolusi tahu sama tahu, berburu rente, asal bapak senang,
jilat ke atasan menginjak bawahan, dan sebagainya merupakan potret dalam
kehidupan suprastruktur politik ataupun di infrastruktur kita.
Jika hukum sudah diperdagangkan, tingkat
kepercayaan terhadap hukum dan penegakan hukum akan runtuh. Ini musibah
terbesar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Efeknya ketika hukum dan keadilan absen atau
menghilang di tengah-tengah para pencari keadilan, maka terjadilah apa yang
disebut Thomas Hobbes dengan bellum
omnium contra omnes (perang semua lawan semua). Neobarbarian, menghalalkan segala cara, main hakim sendiri, siapa
kuat menang, pengadilan jalanan, peradilan sesat, dan mimpi buruk lainnya.
Beranikah
pemimpin memberhentikan aparaturnya yang bangkrut moralnya?
Jika tidak dilakukan, rakyat akan
memberhentikannya dengan caranya sendiri karena terjadi pembiaran. Jangan
sampai hal ini terjadi. Pasalnya, akan terjadi krisis politik dan hukum yang
sangat berbahaya dan berujung instabilitas keamanan negara. Akhirnya rakyat
juga yang menanggung akibatnya.
Apa
yang harus dilakukan para pemimpin?
Para pemimpin harus menjunjung moral rasional
guna mengatur kehidupan demokrasi besendikan nilai-nlai keadaban. Moral
merupakan penopang utama pembangunan masyarakat yang bermartabat dan memiliki
harga diri. Suatu keniscayaan bahwa negeri ini akan tegak mandiri, maju, dan
sejahtera bila moral para pemimpinnya baik.
Pemimpin yang bermoral akan senantiasa
membangun perilaku manusia yang dipimpinnya taat dan patuh. Moralitas pemimpin
memiliki posisi dan otoritas yang kuat dalam menanamkan kebaikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar