Strategi Memajukan TVRI
Sabam Leo Batubara; Mantan
Wakil Ketua Dewan Pers
SUMBER
: KORAN TEMPO, 03 Mei 2012
Kenapa lembaga penyiaran swasta (LPS),
khususnya 10 televisi komersial Jakarta, menjadi pilihan sebagian besar
masyarakat Indonesia? Kenapa bukan lembaga penyiaran publik (LPP) TVRI?
Padahal, lewat UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran, DPR dan pemerintah telah
mendesain LPP TVRI-lah yang menjadi pilihan utama pemirsa televisi, dan
LPS/komersial sebagai pilihan kedua. Keberpihakan negara kepada LPP, baik TVRI
maupun RRI, jelas diamanatkan oleh Pasal 31 UU Penyiaran. Ayat (2)
menyebut: “Lembaga penyiaran publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem
stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia.”
Ayat (3): “Lembaga penyiaran swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui
sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.”
Undang-Undang Penyiaran tersebut sepertinya
memberi perintah, TVRI dipersilakan menjangkau seluruh wilayah
Indonesia, tapi jangkauan wilayah LPS komersial dibatasi. Analisis terhadap
rumusan Pasal 31 tersebut menunjukkan sebenarnya DPR dan pemerintah telah
bersikap visioner bahwa bangun penyelenggaraan penyiaran nasional mengarah
bukan ke model Amerika Serikat, melainkan ke model Eropa Barat. Dalam
tulisannya (Koran Tempo, 23 April 2012), Amir Effendi Siregar, Ketua SPS
Pusat, Pemimpin Umum Majalah Warta Ekonomi dan dosen komunikasi
Universitas Islam Indonesia, mengemukakan, di Amerika Serikat televisi
komersiallah yang mendominasi, sementara program dan isi public broadcasting
service (PBS) banyak yang bersifat pendidikan dan menjadi alternatif
televisi komersial. Di negara demokrasi Eropa Barat, justru yang dominan adalah
lembaga penyiaran publik.
TVRI Tertinggal
Kenapa 10 televisi komersial Jakarta semakin
maju pesat, dan kenapa TVRI tertinggal? LPS taat asas atas
keberadaannya, yakni membidik masyarakat utamanya yang telah berkategori pasar.
Pasar itu mencakup masyarakat menengah ke atas--jumlahnya sekitar 32 persen
dari 230 juta penduduk--yang berkemampuan sebagai pembeli barang dan jasa.
Pasar juga mencakup pengiklan. Supaya barang dan jasa yang tersedia dibeli oleh
pembelanja potensial, pengiklan menyiapkan belanja iklan sekitar Rp 74 triliun
(Media Scene 2010/2011).
Untuk memenangkan pasar tersebut, 10 televisi
komersial Jakarta, dari kurang-lebih 400 televisi komersial, tampil
profesional. Anggaran belanja triliunan rupiah disediakan. SDM yang kompeten
direkrut dan digaji besar. Peralatan yang paling modern dioperasikan. Dibantu
oleh hasil survei, LPS tersebut memasok aneka ragam program untuk memenuhi
keinginan dan kebutuhan pasar yang disasar. Tidak mengherankan, dari kue iklan
sebesar Rp 74 triliun, 61,5 persen adalah pangsa pasar LPS. Dan 98 persen dari
jumlah itu diraih oleh 10 televisi komersial Jakarta.
Siapa penanggung jawab kegagalan LPP TVRI?
Jawabnya: DPR, pemerintah, Dewan Pengawas, dan Dewan Direksi. DPR dan
pemerintah penanggung jawab pertama, karena mereka gagal menangkap pesan yang
disampaikan oleh Pasal 31 UU Penyiaran.
Bahwasanya, keberadaan TVRI
adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sebagian besar rakyat dari Sabang
ke Merauke. Merekalah yang disebut publik, utamanya warga yang paling
membutuhkan pencerahan dan pencerdasan. Bagaimana sacred mission TVRI
itu mungkin terwujud, jika DPR dan pemerintah yang memiliki otoritas penentu
anggaran hanya mengalokasikan anggaran jauh dari yang dibutuhkan TVRI?
Beberapa tahun lalu, ketika anggaran belanja tiga market leaders
televisi komersial masing-masing di atas sekitar Rp 1 triliun, TVRI
hanya diberi sekitar Rp 400 miliar per tahun. Ketika pada 2011 dan 2012
anggaran market leader televisi komersial sebesar kurang-lebih Rp 2
triliun per tahun, anggaran belanja TVRI hanya Rp 650-850 miliar. Dengan
jumlah anggaran sebesar itu, sangat muskil bagi TVRI memasok aneka ragam
program yang atraktif bagi publik di seluruh wilayah Nusantara.
DPR memilih Dewan Pengawas. Dewan Pengawas
memilih Dewan Direksi TVRI. Laku paradoksnya, selama 10 tahun ini Dewan
Pengawas dan Dewan Direksi TVRI yang terpilih tidak pernah tertantang
dan diberi target untuk memberdayakan TVRI menjadi pilihan sebagian
besar rakyat. Informasi yang terungkap, Dewan Pengawas dan Dewan Direksi tidak
jarang dipusingkan oleh tekanan berbagai fraksi di DPR.
Dewan Pengawas dan Dewan Direksi selama ini
hanya berkinerja sekadar sebagai pegawai yang tunduk kepada kehendak DPR dan
pemerintah. Mereka melakukan pembiaran dan tidak pernah risau TVRI
semakin ditinggalkan oleh pemirsanya. Pada Maret 2012, terdengar tokoh
reformasi dan pemilik integritas Parni Hadi mencalonkan diri menjadi anggota
Dewan Direksi TVRI. Di kalangan pencinta LPP TVRI, muncul
harapan. Jika terpilih menjadi direktur utama, dia pasti akan berjuang untuk
membawa LPP TVRI sesuai dengan yang diinginkan Pasal 31 UU Penyiaran.
Namun menjadi anggota Dewan Direksi saja dia ditolak.
Memajukan TVRI
Apakah masih mungkin, penyelenggaraan
penyiaran nasional dibangun ke arah model Eropa Barat: LPP TVRI yang
dominan, dan LPS menjadi pilihan kedua? Untuk semakin memajukan bangsanya yang
sudah cerdas, negara Inggris, Jerman, Korea Selatan, Jepang, Australia
mendukung LPP-nya menjadi pilihan pertama warganya. Paradoksnya, selama 10
tahun ini DPR dan pemerintah membiarkan TVRI semakin tertinggal. Karena
tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanah konstitusi, semestinya
DPR, pemerintah, Dewan Pengawas, dan Dewan Direksi LPP TVRI memiliki
kesatuan tekad membangun TVRI menjadi kebutuhan dan keinginan sebagian
besar warga.
Untuk itu, di masa mendatang, DPR,
pemerintah, dan pimpinan TVRI tidak salah mengikuti strategi industri
penyiaran nasional, yakni menyediakan anggaran yang cukup, merekrut kru yang
kompeten, dan memilih pimpinan TVRI yang paham konsep LPP serta mampu
mengakselerasi kemajuan TVRI, dan taat asas terhadap arah dan tujuan
keberadaan LPP tersebut.
Apakah DPR dan pemerintah serius ingin
memajukan LPP TVRI? Jika ya, anggaran TV publik tidak lagi lebih kecil
dibanding anggaran belanja market leader televisi komersial, yakni
sekitar Rp 2 triliun. DPR dan pemerintah dapat memilih salah satu dari tiga
sumber pembiayaan berikut. Jerman dan Korea Selatan membebankan sumber
pembiayaan LPP-nya dari iuran pemilik pesawat TV dan radio, Australia dari
APBN, dan Thailand dari sin tax, diambil dari cukai rokok dan pajak
minuman keras.
Untuk merekrut SDM yang kompeten, patut
dipertimbangkan agar 6.000 dari 7.000 kru TVRI dialihtugaskan keluar
dari TVRI, dan kekurangannya kurang-lebih 1.000 awak baru direkrut dari
pasar kerja berlandaskan standar kompetensi. LPP TVRI cukup dengan 2.000
awak dengan penggajian tidak kalah dari market leader TV komersial.
Fit and proper test
untuk memilih pimpinan TVRI dilakukan oleh tim seleksi profesional yang
paham konsep LPP, independen, dan memiliki integritas. Hasilnya di-endorse
oleh DPR, kecuali bagi calon yang bercacat hukum sesuai dengan temuan DPR.
Dengan bantuan konsultansi lembaga berpengalaman, misalnya Lembaga Pendidikan
dan Pembinaan Manajemen (LPPM), LPP TVRI mendatang dapat merumuskan
lebih tepat program-program yang berorientasi kebutuhan dan keinginan publik.
Dari uraian di atas, tersimpul strategi
memajukan LPP TVRI dengan mengintegrasikan, pertama, tujuan (aims)
adalah TVRI menjadi pilihan pertama sebagian besar masyarakat. Kedua,
tersedianya dana yang cukup, peralatan yang diperlukan, awak yang kompeten, dan
pimpinan yang paham konsep LPP serta efektif (means). Ketiga, memasok
konten siaran bukan untuk melayani selera DPR, pemerintah, dan pimpinan TVRI,
melainkan menyajikan aneka ragam program yang berkelanjutan dan atraktif, yang
memenuhi kebutuhan dan keinginan publik Indonesia (ways). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar