Nasib Kesejahteraan Hakim
Oce Madril; Dosen
Fakultas Hukum UGM,
Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
SUMBER
: KORAN TEMPO, 03 Mei 2012
Dunia penegakan hukum dilanda masalah
kesejahteraan hakim. Hal pokok yang dituntut para hakim adalah adanya jaminan
kesejahteraan yang selama ini mereka rasa sangat kurang. Gaji yang diberikan
negara kepada profesi yang mulia tersebut dinilai tidak cukup. Tercatat sejak
empat tahun yang lalu tidak ada perubahan gaji dan tunjangan yang mereka
terima. Sementara itu, jika dibandingkan dengan pegawai negeri sipil atau
pejabat negara lainnya, seperti anggota DPR yang terhormat, gaji dan tunjangan
hakim sangatlah kecil.
Padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
telah menempatkan hakim sebagai pejabat negara. Setara dengan hakim Mahkamah
Konstitusi. Semestinya, hakim menikmati sejumlah fasilitas layaknya pejabat
negara, sebagaimana dijamin dalam Pasal 48 UU Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim
berhak atas kesejahteraan dan keamanan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman. Yang dimaksud jaminan kesejahteraan itu adalah meliputi
gaji pokok, tunjangan, biaya dinas dan pensiun, serta hak-hak lainnya. Dan
negara bertanggung jawab untuk memenuhinya.
Namun, kenyataannya, negara gagal memberikan
jaminan kesejahteraan bagi para hakim. Jangankan sejahtera dalam pengertian
sangat layak. Untuk memenuhi standar minimal kesejahteraan saja, negara telah
gagal. Buktinya, selama empat tahun, gaji pokok hakim tidak pernah dinaikkan.
Bahkan saat ini gaji pokok hakim lebih rendah dari gaji pegawai negeri sipil.
Tunjangan remunerasi pun tidak dibayarkan penuh, melainkan hanya 70 persen
saja. Entah apa alasan pemerintah, tunjangan remunerasi itu tak kunjung dibayar
penuh walaupun sudah berjalan selama 4 tahun.
Kondisi inilah yang dikeluhkan hakim. Bahwa
negara telah gagal menjalankan amanat undang-undang untuk memberikan jaminan
kesejahteraan bagi hakim. Akibatnya, banyak cerita pilu tentang kehidupan para
hakim, apalagi hakim yang bertugas di daerah-daerah yang jauh dari pusat
kekuasaan dan perekonomian. Keadaan demikian jelas berpengaruh pada
profesionalitas, integritas, dan kinerja hakim. Kinerja mereka bisa tidak
maksimal dan integritas bisa tergadaikan. Lebih jauh, persoalan kesejahteraan
ini bisa mengancam independensi hakim dan institusi peradilan.
Remunerasi Yudisial
Independensi peradilan bukanlah sesuatu hal
yang hanya berhubungan dengan sistem ketatanegaraan dan mekanisme checks and
balances. Faktor keuangan juga merupakan komponen penting dalam konsep
independensi peradilan. Sebagaimana dijelaskan Shimon Shetreet dalam Judicial
Independence in the Age of Democracy (2001), bahwa remunerasi yudisial
merupakan aspek yang terkait dengan independensi institusional sekaligus
independensi individu hakim yang harus dijamin negara.
Senada dengan Shetreet, P.H. Lane dalam Constitutional
Aspects of Judicial Independence (1999) menempatkan jaminan akan keuangan
ini sebagai salah satu aspek konstitusional dari independensi peradilan yang
harus dijamin negara. Lane lebih tegas menyatakan bahwa gaji hakim harus diatur
dalam konstitusi. Sebagaimana di beberapa negara seperti Amerika Serikat,
Jepang, dan Singapura, di mana konstitusinya mengatur bahwa gaji hakim
ditanggung negara dan tidak boleh dikurangi selama hakim tersebut menjabat.
Pengaturan ini dimaksudkan untuk melindungi independensi hakim dan lembaga
peradilan dari potensi intervensi pemerintah dan parlemen.
Rentannya hakim dan lembaga peradilan
terhadap intervensi lembaga lain terkait dengan masalah keuangan ini telah lama
dikhawatirkan oleh Alexander Hamilton. Dalam The Federalist Paper No. 78,
Hamilton mengungkapkan bahwa dalam konsep Trias Politica, lembaga yudikatif
merupakan yang paling lemah dibanding eksekutif dan legislatif.
Kelemahan itu
tidak hanya berhubungan dengan posisi lembaga yudikatif dalam sistem
ketatanegaraan, tapi juga lemah dari sisi keuangan. Sebab, pada umumnya,
lembaga eksekutif dan legislatiflah yang mempunyai kewenangan menetapkan
anggaran.
Sedangkan lembaga yudikatif tidak punya pengaruh apa-apa. Pada titik
inilah, masalah anggaran bisa menjadi alat intervensi terhadap badan peradilan.
Pemerintah berpotensi secara tidak langsung mempengaruhi independensi hakim
dalam menangani sebuah perkara melalui kebijakan anggaran ini.
Dalam konteks itulah kita melihat bahwa
persoalan kesejahteraan hakim ini tidak bisa dianggap sepele. Ada potensi
intervensi di situ. Faktor keuangan ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat
untuk mempengaruhi perkara yang sedang ditangani. Selain terkait dengan
independensi, absennya jaminan remunerasi yudisial ini menyebabkan hakim rentan
terhadap korupsi dan suap. Sebuah penelitian International Commission of
Justice (ICJ) yang berjudul “Reviewing
Measures to Prevent and Combat Judicial Corruption” (2010) memberi konfirmasi
bahwa salah satu penyebab korupsi peradilan adalah rendahnya remunerasi yang
diterima hakim. Karena itu, ICJ merekomendasikan agar kesejahteraan hakim
dijamin oleh negara, tidak dikurangi, dan aplikasinya harus dijauhkan dari
pengaruh politik.
Pemerintah sebagai pemegang kuasa anggaran
semestinya menyadari pentingnya masalah keuangan ini. Bahwa menyediakan
anggaran yang cukup bagi peradilan merupakan kewajiban konstitusional
pemerintah untuk menjaga independensi peradilan dan menjauhkan para hakim dari sikap
koruptif.
Secara hukum, sebenarnya jaminan
kesejahteraan itu sudah tertuang dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang disahkan
pada 2009, namun minim implementasi. Undang-undang mengamanatkan agar
kesejahteraan hakim sebagai pejabat negara itu diatur lebih lanjut. Tetapi
pemerintah tak kunjung menindaklanjutinya. Terakhir, aturan tentang gaji dan
tunjangan hakim dikeluarkan pada 2008, yakni Peraturan Presiden Nomor 15 dan
Nomor 19 tahun 2008. Hingga saat ini, aturan tersebut belum pernah direvisi dan
disesuaikan dengan amanat UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2009.
Protes hakim tidak akan muncul jika
pemerintah patuh menjalankan amanat UU Kekuasaan Kehakiman. Bahwa pemerintah
harus menerbitkan seperangkat aturan perihal status hakim sebagai pejabat
negara beserta hak dan fasilitas layaknya pejabat negara. Inilah yang harus
dikerjakan oleh pemerintah secara serius.
Kinerja Hakim
Jaminan finansial yang diberikan kepada hakim
tentu bukanlah cek kosong. Para hakim tersebut harus mengimbanginya dengan
kinerja yang profesional, berintegritas, dan memperhatikan rasa keadilan
masyarakat. Harus diakui bahwa saat ini pengadilan masih dipandang sebagai
institusi yang korup. Banyaknya putusan hakim yang memicu kontroversi, diikuti
dengan perilaku hakim yang tercela dan koruptif, telah menurunkan kepercayaan
publik pada institusi pengadilan.
Adanya peningkatan kesejahteraan hakim tentu
bertujuan agar hakim dapat bekerja lebih baik dan mempercepat proses reformasi
birokrasi di lembaga pengadilan. Yang pada gilirannya, hal itu menghindarkan
para ”wakil Tuhan” di muka bumi dari berperilaku atau berbuat menyimpang dan
para hakim dapat mengembalikan kewibawaan institusi peradilan. Dengan begitu,
rakyat sebagai pembayar pajak tidak merasa ”tertipu” untuk memberikan gaji dan
tunjangan yang pantas bagi hakim. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar