Pemerataan
Korupsi dan Lubang Buaya
Misranto
; Guru Besar dan Rektor Universitas
Merdeka Pasuruan
SUMBER
: MEDIA
INDONESIA, 25 Mei 2012
TIDAK
ada elemen korupsi atau gerombolan koruptor yang diam menerima diseret aparat
penegak hukum ke meja hijau dan berujung mendapatkan vonis yang memberatkannya.
Para penjahat itu tentu berupaya sekuat tenaga untuk melakukan berbagai bentuk
perlawanan. Kata Abdillah Toha (2011), mereka akan terus memproduksi jurus yang
dinilai tercanggih dan terkontemporer untuk memenangkan dirinya. Jurus yang
digunakan itu ibarat senjata yang bisa mengantarkan mereka menuai kepuasan.
Pada
saat diendus, ditangkap, atau ditahan, para koruptor itu tentulah meramu jurus
yang dianggap ampuh, yang salah satunya bertajuk politik ‘pemerataan korupsi’
ke semua elemen strategis bernama pilar-pilar negara. Siapa pun yang jadi
elemen negara ditargetkan bisa terjangkit penyakit penyalahgunaan uang negara
atau kehilangan komitmen pada tugas dan kewenangannya. Keberhasilan politik
pemerataan korupsi ini dapat terbaca setidaknya pada kasus semakin meratanya
penyalahgunaan uang negara di departemen atau kementerian.
Institusi
penegakan hukum merupakan salah satu institusi yang sangat diinginkan terkena
limbah korupsi. Kalau sampai bisa terjangkit pemerataan penyakit penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power), institusi
tersebut tidak akan lagi bisa diharapkan atau dijadikan sandaran publik sebagai
pendekar-pendekar antikorupsi. Mereka bahkan bisa menyulap peran bukan sebagai
penegak dan penjerat korupsi, melainkan sebagai pelicin jalan dan pencipta
bungker bagi para koruptor.
Salah
satu institusi yang sangat diharapkan bisa sama jeleknya dengan sejumlah
departemen bermasalah adalah KPK. Institusi ini dijadikan target utama oleh
para koruptor untuk dilemahkan atau direduksi keberdayaannya secara
berkelanjutan. Para kriminal elitis tidak menginginkan KPK mampu menunjukkan
kekuatan dalam melawan segala bentuk korupsi. Kalau koruptor sampai mampu
menjerumuskan KPK, itu menandakan koruptor sukses menyiapkan ‘lubang buaya’
bagi elemen penegak hukum (KPK).
Perlu
dipahami, adagium yang menyebut corruptio
optimi pesima, yang terjemahan bebasnya ‘pembusukan moral dari orang yang
kedudukannya tertinggi’, merupakan perbuatan yang paling jelek. Memahami
adagium tersebut menunjukkan bahwa kebejatan, kejahatan, dan pembusukan
nilai-nilai (values decay) yang
dilakukan golongan elite kekuasaan dapat berpengaruh besar terhadap kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Semakin banyak komunitas elite kekuasaan yang
‘mandi basah’ dengan penyimpangan moral dan hukum, masyarakat pun semakin
mengidap penyakit komplikasi yang sulit disembuhkan.
Komplikasi
dalam stadium tersebut sarat virus yang dengan mudah menular kepada segmen
kekuasaan lain. Pejabat berpangkat rendah akan menjadikan pejabat level atas
sebagai guru yang model perilaku tidak terpujinya bisa diadopsi dan
diadaptasikan dengan mudah. Dalam urusan kebobrokan tersebut, model peniruan
jauh lebih gampang daripada soal kebaikan, kebenaran, dan kejujuran (J
Kristiadi, 2007).
Ketika
sosiolog kenamaan asal UGM masih hidup, dalam suatu seminar ia pun bersuara
lantang di hadapan peserta, “Selamat datang di republik drakula (republic of vampire).” Di sebuah
republik drakula, pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi berperan mengisap
pejabat di bawahnya dan seterusnya. Di Republik ini, mereka punya kegemaran saling
mengisap sampai masing-masing kehabisan darah segar, atau ada sebagian elite
pejabat dan konco-konconya yang lebih gemuk jika dibandingkan dengan lainnya
karena sudah lebih banyak ‘mengisap’ dan lihai memonopoli serta menyedot
sumber-sumber kekayaan negara.
Kegemaran
mengisap itu layaknya watak drakula, yang memang selalu haus akan darah segar
yang digunakan untuk memenuhi hajatnya. Drakula tak memandang status darah yang
diisap, tetapi hanya mempertimbangkan apakah dahaga dan kelaparannya bisa
terpenuhi apa tidak. Yang penting bukan semata kepuasannya bisa terpenuhi,
target mencari korban-korban lain pun dicegah dari kemungkinan gagal. Kalaupun
ada yang mencoba melakukan perlawan an, sedini mungkin itu bisa dipatahkan.
Begitu
pula dengan para koruptor. Watak mereka diibaratkan sebagai pemain brilian dan
‘drakula’ yang punya ke gemaran mengisap kekayaan negara demi memperkaya diri
sendiri, keluarga, kroni, partai, dan korporasi-korporasi mereka. Mereka
mengisap dan selalu mengisap untuk memenuhi keserakahan yang tak kenal titik
nadir.
Koruptor
di negeri ini telah ‘berjasa’ mengantarkan Indonesia menjadi republik drakula.
Rakyat sampai kesulitan mencari dan menemukan pejabat yang benar-benar tidak
sedang menjadi drakula. Tiap lembaga-lembaga yang memberikan layanan publik,
misalnya, sepertinya tidak sepi dari oknum-oknum yang berhasil mengubah
peran-peran mereka menjadi drakula.
Mereka
itu terbukti ‘sibuk’ mencari dan memburu mangsa yang bisa memuaskan
ambisi-ambisi atau keserakahan. Mereka seperti tidak pernah kenyang untuk
menggaruk kekayaan negara (rakyat). Untuk mengamankan perbuatan busuk itu,
mereka pun berusaha merusak sistem mapan atau memproduksi sistem labil, yang
mengakibatkan politik penanggulangan korupsi bisa diseret ke sana-kemari.
Kalau
semula hanya lingkaran eksekutif yang ditu di ng sebagai institusi tempat
mangkal dan mengagregasinya koruptor menjalankan aksi, belakangan ini berbagai
lembaga strategis yang semula dianggap steril ternyata juga tidak lepas dari
‘gigitan’ para produsen penyakit menular. Itu semua dapat dibaca sebagai modus
akselerasi kriminalisasi atau perluasan stigma ‘sama-sama tidak bersih’, atau
memang senyatanya sedang terjerumus dalam berbagai bentuk kriminalisasi
kekuasaan.
Meski
harus atau terpaksa banyak elite yang antre diseret dalam proses hukum yang
boleh jadi pengadilan dan tahanan akan sesak tersangka/ terdakwa korupsi,
seperti kata adagium ‘meski langit runtuh hukum harus tetap ditegakkan’, atau
siapa pun dan apa pun yang menghalangi politik penjeratan koruptor, hukum harus
tetap diimplementasikan dan diberdayakan sebagai instrumen yang menjaring
mereka secara egaliter.
Siapa
pun yang diduga menyelewengkan uang negara wajib dijerat dan
dipertanggungjawabkan secara yuridis atau dijatuhi sanksi hukuman berkadar
pemberatan dan membuat jera, bukan jenis sanksi meringankan dan menyenangkan.
Mereka tidak boleh didiamkan dan menjadi kebal hukum, sebab jika itu terjadi,
korupsi akan benar-benar jadi jawara selamanya.
Mereka
bisa jadi jawara juga tidak lepas dari dukungan aparat penegak hukum yang
bersimbiosis mutualisme. Tanpa keterlibatan oknum aparat yang memberikan ‘ruang
berkelit’ atau berbarter kepentingan, mereka (barisan koruptor) tidak akan
jemawa dan jadi jawara.
Untuk
membuktikan bahwa aparat penegak hukum, termasuk KPK, sungguh-sungguh
mengobsesikan terwujudnya negeri yang kuat, setiap gerakan penegakan hukum
haruslah terbuka untuk diawasi lembaga-lembaga strategis di masyarakat.
Pengawasan itu merupakan wujud kebulatan tekad dan sikap yang bertemakan
menempatkan koruptor sebagai musuh bersama (common
enemy).
Pengawasan
yang dilakukan lembaga-lembaga sosial seperti ornop, pers, ormas, dan LSM
terhadap program pemberantasan ‘drakula’ merupakan bagian dari gerakan
fundamental yang sejatinya mendukung gerakan supremasi hukum secara egaliter.
Jika ini tidak kita gencarkan, dikhawatirkan yang akan jadi pemenang adalah
penjahatpenjahat berdasi itu. Kalau para penjarah atau pengisap uang rakyat itu
yang jadi pemenang, bukan tak mungkin status negeri ini akan mencapai tataran
absolutisme negeri terkorup di dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar