Fenomena
Lady Gaga
Toeti
Prahas Adhitama; Anggota Dewan Redaksi Media Group
SUMBER
: MEDIA
INDONESIA, 25 Mei 2012
SIAPA
yang bertentangan dengan moral bangsa: Lady Gaga atau radikalisme dengan
kekerasan? Untuk tidak menambah kontroversi, jawabnya terpulang pada kita
masing-masing. Namun, kita menghormati pesan Menko Polhukam Djoko Suyanto. Dia
mencoba mencari jalan agar tercapai kesepakatan. Masih satu minggu lagi
menjelang D-Day.
Untuk
tidak membesar-besarkan persoalan, Lady Gaga rasanya hanyalah sebuah fenomena
yang tidak akan lama bertahan di dunia pertunjukan; apalagi untuk khalayak
Indonesia. Kita ingat apa jadinya dengan Inul yang pernah menjadi perkara di
negeri ini.
Lagi pula sikap kita seputar masalah seperti ini tidak konsisten:
sampai sekarang pun panggung-panggung dangdut masih mempertontonkan gadis-gadis
bercelana pendek bergoyang pinggul mengikuti irama Melayu, dengan napas
terengah dan ayunan dada bergerak seiring goyangan pinggul. Ketika gelombang
penonton bersorak-sorai, kita lupa akan keberatan bahwa tontonan sensual
katanya bisa merusak moral bangsa. Terkait dengan tontonan semacam ini bisa
mengganggu ketertiban, itu memang sering terjadi. Siapa yang bertanggung jawab
atas masalah ketertiban dan keamanannya? Siapa lagi kalau bukan Pak Polisi.
Introspeksi
Dalam
dunia yang aktivitasnya makin menyatu, dengan batas-batas wilayah yang tidak
terlalu keras dan ketat seperti dulu, ketersinggungan antarmasyarakat berbagai
negara tidak bisa dihindari. Kebijakan pasar bebas membuka jalur lalu-lalang
manusia, barang, jasa, dan produk-produk budaya. Tidak jarang kita mendengar
tindakan-tindakan saling balas baik untuk urusan politik maupun perdagangan.
Kita
memang jarang mendengar urusan produk-produk budaya bisa menjadi perkara.
Misalnya, bagaimana sikap rakyat kita seandainya mendengar ada rombongan
pertunjukan budaya/panggung kita diancam dengan kekerasan oleh penduduk negara
lain? Bukankah mencari titik temu merupakan jalan paling bijak? Tentu kita
tidak mau menang sendiri. TKI mendapat perlakuan buruk pun kita toh mampu
mengekang emosi, sekalipun dibarengi rasa berang.
Idealnya,
dalam hal Lady Gaga, alangkah bijaknya bila perempuan muda yang sedang
digandrungi orang-orang muda dunia itu membawakan diri dengan empati. Tentu
tidak mudah bagi penari/penyanyi yang mengenal dunia `burlesque' di Amerika,
yang biasa memperagakan tarian dan tampilan sensual--dan menjadi sangat populer
oleh karenanya--terpaksa mengubah jati diri agar sesuai dengan budaya
penontonnya. Lebih-lebih bila perempuan itu terlalu percaya diri dengan
keyakinannya bahwa seniman harus mendengarkan suara batinnya. Kita tunggu
apakah sikapnya yang keras bisa melunak.
Ada Apa Dengan Budaya Kita?
Banyak
yang kecewa menyaksikan gejala-gejala yang terjadi di dunia budaya kita; khususnya
generasi lama. Banjir hiburan televisi berbagai ragam dari dunia luar,
khususnya dari negara adidaya, mau tidak mau memengaruhi perkembangan jiwa kaum
muda kita. Tanpa kita sadari, mereka bergerak menjauh dari produk-produk budaya
lokal yang dulunya merupakan satu-satunya sumber hiburan rakyat.
Untuk
orang Jawa/Bali, misalnya, dulu irama gamelan bisa membangkitkan berbagai rasa
keindahan. Bayanganbayangan bisa datang dari dunia pewayangan, dari panggung
wayang orang, atau sekadar klenengan di pendopo kerajaan yang diikuti tarian
para putri istana. Untuk orang Sumatra, irama Melayu mengenangkan mereka pada
tarian-tarian anggun zaman Sriwijaya, atau sekadar tari pergaulan yang populer
di kalangan orang-orang muda. Dari yang lama-lama itu, apakah ada yang bisa
menggoda selera orang muda?
Ketika
pemuda-pemuda cilik dari Korea membuat gadis-gadis kita histeris, timbul
pertanyaan, mengapa para koreografer kita tidak mampu menghasilkan produkproduk
yang menggelitik remaja-rema ja kita? Berwacana bahwa kita bangsa yang
berbudaya tinggi tidak akan membawa kita kepada persaingan dunia masa kini bila
kita terjebak menjadi masyarakat penerima saja, bukan masyarakat pemberi.
Adat
percaturan dan persaingan politik/ekonomi dan budaya masyarakat dunia tidak
hanya mengandalkan kemampuan berbudaya cara lama, tetapi juga kemampuan
berpikir lugas dan pragmatis mengikuti gerak zaman; namun tanpa mengorbankan
ciri-ciri budaya sendiri. Banyak negara dari dunia Timur mampu bersaing tanpa
mengabaikan budaya mereka.
Bila
kita bicara tentang budaya masyarakat dunia yang heterogenitasnya demikian
tinggi, tentu tidak mungkin membuat keseragaman dalam nalar dan selera. Maka
wajar bila sebuah kelompok suatu kali menolak kultur kelompok lain, sekalipun
nanti mereka bisa seragam dalam hal lain lagi. Begitu seterusnya sehingga
berdebat tentang siapa yang benar dan siapa yang keliru tidak akan ada gunanya;
sebab kultur menyangkut nilai, norma, keyakinan, dan ideologi.
Kita
bicara tentang ‘nilai’ yang terekspresikan dalam pilihan kita dan yang
bernuansa moral. Kita bicara soal ‘keyakinan’ bila kita membuat
pernyataan-pernyataan eksistensial tentang dunia fi sik dan sosial. Kita bicara
soal ‘norma’ bila hal itu menyangkut preskripsi atau proskripsi sikap kita
dalam situasi tertentu. Ideologi merupakan penafsiran umum tentang suatu
realitas. Founding fathers memilih
Pancasila sebagai ideologi kita; dipetik dari puncak-puncak unsur-unsur budaya
kita. Akan tetapi, ideologi ini terkesan dan terasa makin diabaikan. Nalar
ekonomi mendominasi. Keresahan dalam kehidupan sosial-politik menjadi bukti.
Jadi,
bagaimana dengan perkara Lady Gaga? Dia sekadar fenomena yang lewat sepintas;
tidak pantas untuk dirusuhkan di luar batas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar